3.
Tata Cara Berdoa
Ada adab-adab dan syarat-syarat yang telah digariskan untuk berdoa. Siapa bisa memenuhi semua syaratnya, sempurnalah doanya. Siapa mengikuti adab-adabnya, ia sudah dekat dengan terkabulnya apa yang ia minta. Dan siapa tak mengindahkan adab-adab dalam berdoa, ia bisa mendapat tiga macam keburukan, yaitu kebencian dari Allah, jauh dari Allah, dan tak terkabul doanya.
1
Di antara adab berdoa adalah mengikuti teladan para nabi, rasul, wali dan orang shalih. Sebelum memohon kepada Tuhan, mereka terlebih dahulu bersimpuh di hadapan Tuhan, menata kaki, menengadahkan telapak tangan, meneteskan air mata, lalu memulai dengan bertobat atas maksiat dan pelanggaran yang telah diperbuat, menancapkan kekhusyukan di hati terdalam, dan memasrahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Jika engkau bersimpuh di hadapan Allah, jadilah seolah-olah seperti orang yang berdosa karena telah membunuh penduduk langit dan bumi.
Setelah itu, para nabi dan rasūl mulai memuji Tuhan mereka, mengquduskan-Nya, menyucikan-Nya, mengagungkan-Nya, dan memuji-Nya, baru kemudian menghaturkan doa kepada-Nya.
Teladanilah, misalnya, Nabi Ibrāhīm ketika berdoa kepada Allah agar semua kebutuhannya terpenuhi, ia lebih dulu memuji-Nya sebelum memohon sesuatu kepada-Nya. Ia mulai memuji-Nya dalam hal penciptaan dan hidayah. “Yang telah menciptakan aku. Dia yang memberi petunjuk kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku; dan Yang akan mematikan aku , kemudian akan menghidupkanku kembali, dan yang sangat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.” (asy-Syu‘arā’ [26]: 78-82).
Di sini, Nabi Ibrāhīm memuji Allah dengan lima pujian: sebagai Sang Khāliq dan Pemberi Penyembuh penyakit, Sang Pemberi makan dan minum, Sang Penyembuh penyakit. Sang Pemberi kehidupan dan kematian, dan Sang Pengampun. Nabi Ibrāhīm kemudian memohon lima jenis kebutuhan: ilmu pengetahuan dan hikmah, keshalihan, keteladanan bagi umat-umat setelahnya, ampunan bagi ayahnya, dan kebaikan di akhirat. Nabi Ibrāhīm pun berdoa:
رَبِّ هَبْ لِيْ حُكْمًا وَ أَلْحِقْنِيْ بِالصَّالِحِيْنَ. وَ اجْعَلْ لِّيْ لِسَانَ صِدْقٍ فِي الْآخِرِيْنَ. وَ اجْعَلْنِيْ مِنْ وَ رَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيْمِ. وَ اغْفِرْ لِأَبِيْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّيْنَ. وَ لَا تُخْزِنِيْ يَوْمَ يُبْعَثُوْنَ
“Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalih, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh keni‘matan, dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat, dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan” (asy-Syu‘arā’ [26]: 83-87).
Allah mengabulkan empat permintaan Nabi Ibrāhīm, tapi menolak satu permintaan lainnya. Mengenai permintaannya yang pertama, Allah berfirman: “Sungguh, Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrāhīm.” (an-Nisā’ [4]: 54). Lalu, mengenai permintaannya agar ia dimasukkan dalam golongan orang shalih, Allah berfirman: “Dan sesungguhnya di akhirat ia termasuk orang yang shalih.” (al-Baqarah [2]: 130). Lalu, mengenai permintaan Ibrāhīm agar umat-umat sesudahnya memujinya, Allah berfirman: “Dan Kami abadikan untuk Ibrāhīm (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (ash-Shāffāt [37]: 108). Lalu, mengenai permintaannya agar menjadi penghuni surga, Allah berfirman: “(Itu adalah) rahmat dan berkah Allah yang dicurahkan kepada kamu, wahai ahl-ul-bait.” (Hūd [11]: 73).
Namun mengenai permintaan Nabi Ibrāhīm agar ayahnya diampuni, Allah menolak mengabulkan dan berfirman: “Ketika jelas bagi Ibrāhīm bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrāhīm berlepas diri darinya.” (at-Taubah [9]: 114).
Allah telah memuliakan umat ini dengan doa serupa dengan menurunkan ke tengah-tengah kita surah al-Fātiḥah, yang paruh awalnya adalah pujian dan pengagungan, dan separuh sisanya adalah doa. Kita berharap bisa mendapatkan apa yang didapatkan oleh Nabi Ibrāhīm, mendapat ampunan dari Allah sebagaimana dia mendapat ampunan-Nya.
Lihatlah Nabi Mūsā. Sebelum menghaturkan permohonannya, ia terlebih dulu melimpahkan pujian kepada Allah: “Engkaulah pemimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat.” (al-A‘rāf [7]: 155).
Al-Bukhārī meriwayatkan sebuah hadits tentang syafaat, bahwa umat manusia akan memohon syafaat kepada para nabi pada hari kiamat kelak. Namun, setiap nabi menyebutkan dosanya masing-masing, lalu berkata kepada mereka: “Pergilah ke nabi lain selain diriku.” Aku (Muḥammad) berkata: “Aku memiliki syafaat. Aku telah meminta idzin kepada Tuhanku. Saat aku melihat-Nya, aku langsung bersujud. Lalu, dikatakan kepadaku: “Angkatlah kepalamu, mintalah maka engkau akan diberi, berkatalah maka engkau akan didengar, dan berikanlah syafaat maka engkau akan diberi syafaat.” Tuhanku kemudian mewahyukan kepadaku tentang pujian-pujian yang akan aku gunakan untuk memuji-Nya. Aku pun memuji-Nya dengan pujian-pujian itu.”
Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd (juga at-Tirmidzī) dari Fadhālah ibn ‘Ubaid bahwa Rasūlullāh s.a.w. mendengar seorang laki-laki tengah berdoa namun tanpa menghaturkan pujian kepada Allah dan bershalawat atas nabi-Nya. Beliau kemudian bersabda: “Ini buru-buru.” Beliau lalu memanggil laki-laki itu dan berkata kepadanya dan orang selainnya: “Apabila salah seorang dari kalian tengah berdoa, hendaknya ia memulai dengan mengagungkan dan memuliakan Tuhannya, lalu memuji-Nya dan mengucapkan shalawat atas nabi-Nya, kemudian berdoa dengan doa apa saja yang dimaui (dikehendaki).” (ḥasan shaḥīḥ menurut at-Tirmidzī).
2
Di antara adab berdoa adalah menampakkan rasa berharap, kepatuhan, kerendahan diri dan kekhusyukan. Allah berfirman: “Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyu‘ kepada Kami.” (al-Anbiyā’ [21]: 90).
3
Di antara adab berdoa lainnya adalah seperti disinggung dalam riwayat berikut ini. Seseorang berkata pada Ja‘far ash-Shādiq (80-148 H.): “Ajarkanlah padaku sebuah doa yang kuharap bisa terkabul.” Ja‘far ash-Shādiq lalu menjawab: “Perbanyaklah memuji Allah, lalu berdoalah kepada-Nya apa saja yang kamu mau.” Laki-laki itu berkata: “Apa hebatnya pujian di dalam doa?” Ja‘far ash-Shādiq menjawab: “Sesungguhnya semua orang muslim di muka bumi ini berdoa sepanjang malam dan siang agar Allah mengabulkan orang-orang yang memuji-Nya. Menurutmu bagaimana Allah akan memperlakukan orang yang mendapat dukungan dari semua orang muslim?” Laki-laki itu berkata: “Bagaimana itu bisa terjadi?” Ja‘far ash-Shādiq menjawab: “Bukankah di setiap rakaat mereka selalu mengatakan, sami‘a Allāhu li man ḥamidah. (Allah mendengar siapa yang memuji-Nya)? Jadi, engkau harus memuji Allah ‘azza wa jalla, niscaya Allah menjawab doamu.”
4
Di antara adab berdoa lainnya adalah engkau memohon dengan tekad bulat, sungguh-sungguh dan penuh harap. Mālik meriwayatkan dalam kitab al-Muwaththa’ (juga Muslim dalam Shaḥīḥ-nya) bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Orang yang berdoa hendaklah jangan mengatakan dalam doanya: “Ya Allah, rahmatilah aku jika Engkau berkenan.” Hendaknya ia memohon dengan penuh harap karena Allah tak benci untuk memberi.”
5
Di antara adab berdoa adalah engkau hendaknya menguatkan harapanmu kepada-Nya dan jangan pernah merasa putus asa dari rahmat-Nya, meskipun doamu belum jua dikabulkan. Jadi, jangan pernah mengendurkan apa yang engkau minta. Sebab, segala sesuatu pasti ada waktunya, dan doa tak akan bisa mendahului apa yang sudah ditentukan oleh Allah sebelumnya.
Al-Bukhārī dan Abū Dāwūd meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Akan dikabulkan doa salah seorang dari kalian selama dirinya tidak tergesa-gesa (minta dikabulkan), lalu sampai mengatakan: “Aku sudah berdoa, tapi kenapa belum juga dikabulkan”.”
6
Adab berdoa lainnya adalah mengikutsertakan dan mendoakan orang-orang mu’min dalam doamu. Allah berfirman: “Mohonlah ampunan atas dosamu dan dosa orang-orang mu’min, laki-laki maupun perempuan.” (Muḥammad [47]: 19).
7
Adab berdoa lainnya adalah memulai dengan menauhidkan Allah terlebih dulu seperti yang dicontohkan oleh Nabi Yūnus a.s.: “Dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap: Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang yang zhalim.” (al-Anbiyā’ [21]: 87). Nabi Yūnus pertama-tama menyeru Allah dengan tauhid, lalu bertasbih menyucikan-Nya dari segala kekurangan dan kezhaliman, lalu dengan sepenuh hati mengakui diri sendiri sebagai orang yang zhalim. Terkait doa ini, Allah berfirman: “Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan.” (al-Anbiyā’ [21]: 88).