Tasbih – Al-Ma’tsurat (2/3)

Al-Ma’tsūrāt
Kitab Doa Tertua

Diterjemahkan dari: Ad-Du‘ā-ul-Ma’tsūru wa Ādābuhu wa Mā Yajibu ‘alad-Dā’i Ittibā‘uhu
Karya: Abū Bakr ath-Thurthūsyī al-Andalūsī
 
Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Doa-doa Nabi - Al-Ma’tsurat

Barangkali ada yang bertanya tentang ma‘na dari firman Allah s.w.t.: “Tetapi kamu tidak mengerti tasbīḥ mereka.” (al-Isrā’ [17]: 22). Pertanyaan ini bisa dijawab dengan dua jawaban. Pertama, engkau tidak mengerti tasbīḥ selain tasbīḥ yang diucapkan dengan bahasa dan lisanmu. Kedua, penggalan ayat di atas ditujukan kepada orang-orang kafir. Artinya, mereka tidak mau mengambil pelajaran dari semua ciptaan untuk meyakini Sang Penciptanya. Bisa jadi, maksudnya adalah bahwa orang-orang kafir tidak bisa mendengar tasbīḥ mereka.

Abul-Khaththāb berkata: “Kami pernah menyantap makanan bersama-sama Yazīd ar-Raqāsyī dan al-Ḥasan al-Bashrī. Setelah hidangan disiapkan di atas meja makan, Yazīd berkata: “Wahai Abū Sa‘īd, apakah meja makan ini bertasbīḥ?” Abū Sa‘īd pun menjawab: “Ya, ia pernah bertasbīḥ, tetapi sekarang tidak.” (1791).

Nabi s.a.w. bersabda: “Tidaklah sebuah pohon besar ditebang kecuali ketika pohon itu berhenti bertasbīḥ.

(*Missing 1802).

Wahb ibn Munabbih (1813) berkata: “Tidaklah sebuah rumah dibangun menjadi masjid kecuali rumah itu telah mengucapkan tasbīḥ kepada Allah s.w.t. selama tiga ratus tahun.”

Al-Miqdām ibn Ma‘dī Karib (1824) berkata: “Sesungguhnya debu itu bertasbīḥ selama tidak basah, dan apabila basah maka ia berhenti bertasbīḥ; sesungguhnya lobak itu bertasbīḥ selama tidak dicabut dari tempatnya, dan apabila dicabut maka ia berhenti bertasbīḥ; sesungguhnya daun itu bertasbīḥ selama masih di pohon, dan apabila rontok jatuh ke tanah maka ia berhenti bertasbīḥ; sesungguhnya air itu bertasbīḥ selama mengalir, dan apabila berhenti mengalir maka ia berhenti bertasbīḥ; sesungguhnya baju itu bertasbīḥ selama masih baru (bersih), dan apabila kotor maka ia berhenti bertasbīḥ; dan sesungguhnya baju itu akan berkata di awal siang: “Ya Allah, ampunilah dosa orang yang membersihkan aku.”

Diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah berjalan melewati dua makam (maqam/kubur). Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya kedua penghuninya tengah mendapat siksa (kubur), dan itu bukan karena keduanya melakukan dosa besar. Yang satunya tidak menyucikan diri setelah kencing, dan yang satu lagi gemar menggunjing.” Nabi s.a.w. kemudian mengambil selembar daun yang masih basah, lalu menyobeknya menjadi dua dan menaruhnya di atas dua makam tersebut, lalu bersabda: “Semoga ini bisa meringankan siksa keduanya selama belum kering.”

Artinya, selama kedua lembar daun ini masih basah maka keduanya akan terus bertasbīḥ kepada Allah s.w.t.

Di bab ini, kami sengaja menyebutkan sejumlah pernyataan ‘ulamā’ generasi terdahulu agar supaya diketahui bahwa mereka menyepakati satu hal, yaitu bertasbīḥnya benda mati (al-jamādāt) dalam arti yang sesungguhnya (benar-benar mengucapkan kalimat tasbīḥ). Demikian itu karena semua benda mati memiliki kehidupan, akal, dan ucapan.

Ketahuilah bahwa di dalam firman Allah s.w.t.: “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbīḥ kepada Allah.” (al-Isrā’ [17]: 44) ini terdapat perbedaan antara langit dan bumi dengan penduduknya, selain tasbīḥnya benda-benda mati, meskipun teks tidak menyebutkannya secara eksplisit.

Artinya, yang dimaksudkan dengan langit dan bumi di dalam penggalan ayat tersebut bukanlah penduduknya, mengingat penduduknya disebutkan secara terpisah oleh teks al-Qur’ān. Ini berbeda dengan firman Allah s.w.t. lanjutannya: “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbīḥ dengan memuji-Nya.” (al-Isrā’ [17]: 44), yang meliputi semua makhluq hidup secara keseluruhan. Di sini, penyucian dzāt Allah s.w.t. dari segala kekurangan (tanzīh) dibuktikan melalui penciptaan-Nya atas semua makhluq hidup, sebagaimana penciptaan-Nya atas semua benda mati. Oleh sebab itu, ketika ditanyakan kepada orang-orang terdahulu: “Apa yang bisa menunjukkan eksistensi Sang Pencipta?” maka mereka menjawab: “Tak ada sesuatu pun yang bisa menunjukkan eksistensi-Nya.” Abul-‘Athāhiyyah menuturkan ini dalam sebuah syairnya:

Sungguh aneh, bagaimana mungkin Tuhan dimaksiati

Bagaimana mungkin Dia diingkari oleh orang yang mengingkari

Allah ada di semua ketenangan (diam)

Dan di dalam semua pergerakan terdapat saksi

Dan di dalam segala sesuatu terdapat tanda

Yang menunjukkan bahwa Dia Esa.

Dari semua pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa langit, bumi, dan semua benda mati lainnya benar-benar mengucapkan tasbīḥ dalam arti yang sesungguhnya. Tentu merupakan sesuatu yang boleh dan sah (jā’iz) apabila Allah s.w.t. menciptakan kehidupan, ucapan (perkataan), dan kemampuan bisa membedakan (akal) di dalam benda-benda mati.

Dengan ma‘na dan pengertian seperti inilah semua firman Allah s.w.t. di bawah ini ditafsirkan.

Allah s.w.t. berfirman: “Padahal dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar darinya. Ada pula yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya. Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah.” (al-Baqarah [2]: 74). Di ayat ini, batu digambarkan takut kepada Allah s.w.t. dan meluncur jatuh karena takut kepada-Nya. Takut kepada Allah s.w.t. mengandaikan adanya kehidupan, akal, dan permohonan ampun.

Allah s.w.t. berfirman: “Sekiranya Kami turunkan al-Qur’ān ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Alalh.” (al-Ḥasyr [59]: 21). “Bintang dan pohon sama-sama bersujud.” (ar-Raḥmān [55]: 6) “Ingatlah pada hari (ketika) Kami bertanya kepada Jahannam: “Apakah kamu sudah penuh?” Ia menjawab: “Masih adakah tambahan?”.” (Qāf [50]: 30). “Apabila ia (neraka) melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar suaranya yang gemuruh karena marahnya.” (al-Furqān [25]: 12).

Artinya, Allah s.w.t. menciptakan itu semua dalam keadaan hidup, bisa berbicara, berpikir, dan melihat. Hal yang sama juga terjadi pada kulit manusia dan semua anggota tubuh mereka yang bisa berbicara pada hari kiamat kelak: “Yang menjadikan kami dapat berbicara adalah Allah, yang (juga) menjadikan segala sesuatu dapat berbicara.” (Fushshilat [41]: 21). Jadi, kulit dan anggota tubuh manusia diciptakan Allah s.w.t. dalam keadaan memiliki akal dan bisa berbicara.

Ma‘na serupa juga bisa dilihat pada sabda Nabi s.a.w.: “Neraka mengeluh kepada Tuhannya, dan Allah s.w.t. pun mengidzinkannya untuk dua kali bernapas; satu kali napas di musim dingin dan satu kali napas di musim panas. Pada saat itulah Allah s.w.t. menciptakan kehidupan, ucapan (perkataan), dan istirahat bagi semua yang ada di dalamnya.” (1835).

Adapun kelompok Qadariyyah yang mensyaratkan adanya ucapan, kelembapan, dan kebasahan bagi sebuah kehidupan, menolak mentah-mentah pendapat di atas (benda mati (jamādāt) memiliki kehidupan dan bisa berbicara). Menurut mereka, ayat-ayat tersebut mengandung ma‘na metaforis (majaz, kiasan). Bagi mereka, firman Allah s.w.t.: “Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah.” (al-Baqarah [2]: 74) mengandung pengertian bahwa ketika sebuah batu takut kepada Allah s.w.t. karena gempa, guntur, halilintar dan semisalnya, maka batu itu akan menampakkan reaksi seolah-olah ia hidup, yaitu tunduk dan patuh kepada pencipta gempa, guntur, dan halilintar tersebut – ya‘ni dengan cara runtuh dan jatuh ke tanah.

Firman Allah s.w.t.: “Dinding rumah yang hampir roboh.” (al-Kahfi [17]: 77) dima‘nai mereka bahwa dinding ini condong, dan seandainya dinding ini benar-benar hidup maka pastilah ia akan mengatakan bahwa ia akan roboh.

Penafsiran yang dikemukankan oleh kelompok Qadariyyah ini batil (keliru) karena bertentangan dengan redaksi (zhāhir) dan isi (bāthin) ayat, serta dengan dinisbatkannya rasa takut kepada Allah s.w.t. atas batu tersebut.

Menurut mereka (Qadariyyah), yang dimaksudkan dengan tasbīḥ, sujūd dan khusyū‘ adalah ketundukan dan kepatuhan. Alasannya, semua benda mati (yang disebutkan oleh ayat-ayat di awal) itu adalah diciptakan dan tidak bisa menolak apa yang diinginkan oleh pencipta-Nya. Atas dasar itu, mereka mengatakan: “Setiap yang diam itu berbicara.”

Ibn-us-Sikkīt mengatakan: “Orang ‘Arab berkata: “Sebuah pohon berteriak di tanah Fulan.” Ma‘na “berteriak” di sini adalah berbatang panjang dan menjulang tinggi. Seolah-olah pohon ini ingin menunjukkan bahwa ia panjang dan menjulang tinggi. Sebab, orang yang berteriak ingin menunjukkan tentang keberadaan dirinya melalui suaranya.” (1846).

Al-‘Ajjāj menuturkan:

Seperti buah anggur ketika memanggil dari pohon kamper.

Penyair lain menuturkan:

Engkau melihat bukit bersujud kepada kuku binatang. (1857).

Orang ‘Arab dikenal berani berbicara dan percaya atas kemampuan lawan bicaranya dalam memahami apa yang diucapkannya. Oleh sebab itu, mereka biasa berperibahasa, menyembunyikan maksud dari ucapannya, dan membuang bagian-bagian tertentu dari keseluruhan ucapannya.

Sebagian kalangan Qadariyyah membaca “batu” di dalam ayat di atas (al-Baqarah [2]: 74) dengan ma‘na lain. Apabila “batu” menunjukkan pada eksistensi Sang Pencipta dan pada perenungan semua makhluq terhadap penciptaannya maka itu akan mendorong semua makhluq untuk takut kepada Allah s.w.t. dan mengucapkan subḥānallāh.

Orang ‘Arab mengatakan: “Harta yang berbicara.” Ma‘nanya, orang-orang akan berbicara ketika merasa heran saat melihat harta tersebut, yaitu dengan mengucapkan subḥānallāh.

Orang ‘Arab mengatakan: “Unta yang pedagang.” Ma‘nanya, unta ini membuat dirinya laris-manis ditawar orang karena kualitas dan keelokan fisiknya. (1868). Oleh karena itu, orang ‘Arab menyebut ad-daraydiyyah dengan nama al-mukhziyah karena lafal yang terakhir ini lebih disukai oleh pendengar.

Masih menurut kalangan Qadariyyah, “jahannam” yang bisa berbicara sebagaimana terdapat di ayat di awal (Qāf [50]: 30) juga merupakan kiasan. Seandainya jahannam benar-benar bisa berbicara seperti layaknya orang, tentu ia akan mengeluhkan panas yang dideritanya.

Semua yang dikemukakan oleh kalangan Qadariyyah ini adalah majaz atau kiasan. Mereka sebenarnya hanya ingin lari dari pendapat yang menyatakan bahwa benda mati (jamādāt) memiliki kehidupan dan akal. Bagi mereka, sebuah kehidupan menuntut kebasahan dan kelembaban (nadāwah, ruthūbah). Oleh karena itu, mereka mengingkari adanya kehidupan dan akal pada benda mati. Dalam hal ini, mereka mengikuti pendapat aliran kaum filsuf, satu aliran yang keliru dan tidak memiliki dalil.

Catatan:

  1. 179). Tafsīr-uth-Thabarī, XV/65.
  2. 180). Ibrāhīm ibn Mālik an-Nakha‘ī, panglima perang pemberani pengikut Mush‘ab ibn-iz-Zubayr, yang terbunuh di peperangan ‘Abd-ul-Mālik ibn Marwān. (71 H.).
  3. 181). Wahb ibn Munabbih ash-Sha‘ānī (24-114 H.), seorang sejawan dan termasuk generasi tabi‘in.
  4. 182). Al-Miqdām ibn Ma‘dī Karib ibn ‘Amr al-Kindī, salah seorang sahabat terkemuka Nabi s.a.w., tinggal di Syam dan wafat pada tahun 87 H. di usia 91 tahun.
  5. 183). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, (hadits no. 3260); Shaḥīḥu Muslim, (hadits no. 617); dan Sunan-ut-Tirmidzī, (hadits no. 2592).
  6. 184). Ini disebutkan oleh Ibnu Qutaybah dalam Ta’wīlu Musykil-il-Qur’ān, hlm. 133-134.
  7. 185). Ibid., hlm. 417.
  8. 186). Ash-Shaḥḥāh, II/600.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *