Tasbih – Al-Ma’tsurat (1/3)

Al-Ma’tsūrāt
Kitab Doa Tertua

Diterjemahkan dari: Ad-Du‘ā-ul-Ma’tsūru wa Ādābuhu wa Mā Yajibu ‘alad-Dā’i Ittibā‘uhu
Karya: Abū Bakr ath-Thurthūsyī al-Andalūsī
 
Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Doa-doa Nabi - Al-Ma’tsurat

Tasbīḥ

Tasbīḥ mengandung arti penyucian (tanzīh), yaitu menafikan semua ketidaksempurnaan dari Allah s.w.t. Abū ‘Ubayd al-Lughawī berkata: “Pada dasarnya, subḥānallāh berarti barā’atullāh (keterbebasan Allah s.w.t. dari semua sifat kekurangan).”

Jadi, subḥāna berarti barā’ah. Allah s.w.t. berfirman: “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (al-A‘lā [87]: 1). Artinya, sucikanlah Tuhanmu dari sifat-sifat yang hina. Di sini, “nama” (ism) berarti yang diberi nama (al-musammā). Alasannya, ism, nafs, dan dzāt digunakan untuk mengungkapkkan eksistensi (wujūd) dan penetapan (itsbāt).

Dikatakan: “Sucikanlah penamaan Tuhanmu dan penyebutanmu kepada-Nya dengan tidak menyebut-Nya kecuali engkau khusyū‘, patuh, dan mengagungkan-Nya. Di sini, ism (nama) diartikan sebagai penamaan.”

Dikatakan pula: “Tasbīḥ adalah turunan dari kata as-sabḥ (berenang), mengikuti wazan taf‘īl. Seolah-olah al-musabbiḥ berarti orang yang berenang dengan hatinya di samudra kerajaan Allah s.w.t.”

Diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah ditanya tentang penafsiran lafal subḥānallāh. Beliau lalu bersabda: “Ma‘nanya adalah menyucikan Allah s.w.t. dari segala keburukan.”

‘Alī ibn Abī Thālib berkata: “Satu kalimat yang Allah s.w.t. ridha bagi diri-Nya, yaitu kalimat subḥānallāh. Artinya, kami menyucikan-Mu dengan memuji-Mu. Demikian menurut sebagian ‘ulamā’. Orang-orang ‘Arab terkadang memasukkan huruf bā’ di dalam tasbīḥ dan terkadang membuangnya. Jadi, engkau bisa mengucapkan sabbiḥ bi ḥamdi rabbika atau sabbiḥ ḥamda rabbika.”

Al-Farrā’ berkata: “Engkau boleh mengatakan sabbiḥ isma rabbika atau sabbiḥ bi isma rabbika. Keduanya sama saja dan sama-sama disebutkan oleh al-Qur’ān. Allah s.w.t. berfirman: “Sucikanlah nama Tuhanmu (sabbiḥ isma rabbika) Yang Maha Tinggi.” (al-A‘lā [87]: 1). Dia s.w.t. berfirman: “Maka bertasbihlah dengan nama Tuhanmu (sabbiḥ bi isma rabbika) Yang Maha Besar.” (al-Wāqi‘ah [56]: 74). Atas dasar ini, Allah s.w.t. memerintahkan hamba-Nya agar menyucikan-Nya dengan memuji-Nya. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa ma‘nanya adalah Allah s.w.t. memerintahkan hamba-Nya agar memuji-Nya dengan menyucikan-Nya.” (1731).

Pendapat pertama dikuatkan oleh beberapa teks al-Qur’ān. Allah s.w.t. berfirman: “Maka bertasbīḥlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya.” (an-Nashr [110]: 3). Allah s.w.t. juga berfirman tentang para malaikat-Nya: “Mereka bertasbih dengan memuji Tuhan mereka.” (Ghāfir [40]: 7).

Adapun mengenai pendapat yang menyatakan bahwa ma‘na subḥānallāh adalah memuji-Nya dengan menyucikan-Nya, hanya bisa dibenarkan ketika huruf wawu (dan) pada firman-Nya di surah an-Nashr [110] ayat 3 di atas dihilangkan. Ketika memilih lafal subḥānallāh, Allah s.w.t. sebenarnya menunjukkan kemuliaan lafal tersebut dan mengabarkan bahwa lafal ini mengandung ma‘na pengesaan (tauḥīd), penyucian, dan pengagungan.

Tauḥīd berdiri di atas dua fondasi dasar. Pertama, menafikan dari-Nya semua cacat dan kekurangan. Kedua, menetapkan-Nya sebagai pemilik sifat-sifat keluhuran paling tinggi, kesemupurnaan, keluhuran, dan kesombongan. Lalu, Allah s.w.t. memilih lafal tasbīḥ untuk menafikan semua kekurangan dan catat, dan memilih lafal al-ḥamd untuk menetapkan keagungan dan sifat-sifat keluhuran.

Jadi, ketika seseorang mengucapkan subḥānallāhi wa bi ḥamdih maka andaiannya adalah “Engkau terbebas dari segala kekurangan dan cacat, dan segala puji hanya milik-Mu semata karena Engkau pemilik sifat-sifat kemuliaan dan kesempurnaan.”

Atas dasar ini, sebagian ‘ulamā’ mengatakan: “Duduknya ahli ma‘rifat itu lebih baik ketimbang ‘amal perbuatan dua jenis makhluq (bangsa manusia dan jinn).”

Di antara kemuliaan dan keagungan kalimat subḥānallāh adalah bahwa Allah s.w.t. meridhai tasbīḥ yang dilakukan oleh para malaikat, penduduk surga, penduduk alam barzakh, penduduk langit dan bumi, gunung-gunung, dan semua penduduk dunia.

Mengenai tasbīḥnya para malaikat, Allah s.w.t. berfirman: “Mereka (malaikat) bertasbīḥ tidak henti-hentinya malam dan siang.” (al-Anbiyā’ [21]: 20). “Jika mereka menyombongkan diri maka mereka (malaikat) yang di sisi Tuhanmu bertasbīḥ kepada-Nya pada malam dan siang hari, sedang mereka tidak pernah jemu.” (Fushshilat [41]: 38). Malaikat berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbīḥ memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” (al-Baqarah [2]: 30).

Mengenai tasbīḥnya penduduk surga, Allah s.w.t. berfirman: “Doa mereka di dalamnya adalah “subḥānaka allāhumma” (Mahasuci Engkau, ya Tuhan kami), dan salām penghormatan mereka adalah “salām” (salām sejahtera).” (Yūnus [10]: 10).

Menurut sebagian mufassir, penduduk surga selalu memulai perkataan mereka dengan tasbīḥ (memuji Allah s.w.t.) dan mengakhirinya dengan tamjīd (mengagungkan-Nya). (1742).

Mengenai tasbīḥnya penduduk alam barzakh, Allah s.w.t. berfirman: “Yaitu pada hari ketika Dia memanggilmu, dan kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira hanya sebentar saja rasanya kamu berdiam di dalam kubur.” (al-Isrā’ [17]: 52). Artinya, Allah s.w.t. memanggil kalian semua dari kubur kalian.

Mengenai tasbīḥnya penduduk langit dan bumi, Allah s.w.t. berfirman: “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbīḥ kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbīḥ dengan memuji-Nya.” (al-Isrā’ [17]: 44).

Adapun mengenai tasbīḥnya gunung-gunung, Allah s.w.t. berfirman: “Wahai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbīḥlah berulang-ulang bersama Dāwūd.” (Saba’ [34]: 10).

Dalam kitab-kitab tafsir disebutkan, tasbīḥnya langit dan semua yang disebutkan bertasbīḥ mengandung dua pengertian:

Pertama, Allah s.w.t. memaksudkan bahwa langit dan selainnya itu bertasbīḥ dalam arti yang sesungguhnya. Artinya, Allah s.w.t. menciptakan kehidupan, akal, dan perkataan di dalamnya.

Kedua, tasbīḥnya langit dan selainnya adalah bukti bahwa Allah s.w.t. terbebas dari segala keburukan, dan semua makhluq menegaskannya. Sebab, tak ada satu pun makhluq yang terlepas dari penciptaan-Nya.

Tasbīḥ mengandung dua pengertian; tasbīḥ dengan perkataan lisan bagi yang memiliki akal, dan tasbīḥ dengan kiasan bagi semua makhluq selain yang berakal (jamādāt).

Jadi, tasbīḥ yang dimaksudkan oleh ayat-ayat di atas meliputi makhluq yang berakal dan yang tidak berakal. Oleh karena itu, firman Allah s.w.t. mengatakan: “Bahkan milik-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Semua tunduk kepada-Nya.” (al-Baqarah [2]: 116). Artinya, tak ada sesuatu pun di semesta ini kecuali tunduk dan patuh kepada penciptaan-Nya.

Semua yang diam di langit dan bumi berbicara dan mempersaksikan keesaan Allah s.w.t. Allah s.w.t. berfirman: “Dan mereka berkata: “Allah mempunyai anak.” Maha Suci Allah, bahkan milik-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Semua tunduk kepada-Nya.” (al-Baqarah [2]: 116).

Artinya, semua makhluq menaati-Nya dengan kekuatan-Nya, bahkan dengan penciptaan itu sendiri. Oleh sebab itu, Allah s.w.t. kemudian berfirman: “Jadilah, maka jadilah sesuatu itu.” (Yāsīn [36]: 82), lalu berfirman: “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbīḥ dengan memuji-Nya.” (al-Isrā’ [17]: 44).

Menurut Ibnu ‘Abbās, segala sesuatu adalah hidup. Sejumlah teks al-Qur’ān menegaskan hal tersebut. Allah s.w.t. berfirman: “Seekor semut berkata: “Masuklah ke dalam sarang-sarangmu.” (an-Naml [27]: 18). Burung Hudhud berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum engkau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba’ membawa satu berita yang meyakinkan.” (an-Naml [27]: 22).

Dua ayat ini menunjukkan bahwa semut dan Hudhud bisa berbicara. Hal ini ditegaskan oleh sebuah hadits Nabi s.a.w. tentang beberapa nabi di kalangan Bani Isrā’īl yang salah seorang dari mereka digigit oleh seekor semut, lalu mengeluarkan perintah agar membakar desa semut. Allah s.w.t. kemudian menurunkan wahyu: “Apakah hanya karena digigit oleh seekor semut, engkau akan menghancurkan umat yang bertasbīḥ.” (1753).

Ketika tasbīḥ dinisbatkan ke “umat” maka ma‘nanya adalah berbicara (an-nuthq).

Menurut Qatādah, “umat” dalam hadits di atas berarti bangsa binatang dan makhluq-makhluq Allah s.w.t. (1764) Adapun menurut ‘Ikrimah, “umat” berarti segala sesuatu yang ada di bumi. Suatu hari, kami bersama Nabi s.a.w. Beliau mengambil segenggam batu kerikil, dan batu kerikil itu langsung bertasbīḥ di atas tangan beliau sampai kami bisa mendengar tasbīḥnya. Beliau lalu menuangkannya ke tangan Abū Bakar, dan batu kerikil itu pun mengucapkan tasbīḥ sampai kami bisa mendengarnya. Batu kerikil itu kemudian dituangkan ke tangan ‘Umar, dan batu kerikil itu juga mengucapkan tasbīḥ sampai kami bisa mendengarnya. Batu kerikil itu lantas dituangkan ke tangan ‘Utsmān, dan batu kerikil itu lagi-lagi mengucapkana tasbīḥ sampai kami bisa mendengarnya. Setelah itu, batu kerikil dituangkan ke tangan kami, tapi batu kerikil itu tidak mengucapkan tasbīḥ. (1775).

Sebuah hadits Nabi s.a.w. yang diriwayatkan oleh Mālik, al-Bukhārī, Muslim, dan selainnya juga menceritakan ma‘na yang serupa. Diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. pernah menyampaikan khuthbah sambil menyandarkan punggung beliau ke sebuah batang pohon. Barang pohon ini tiba-tiba merintih sampai kami bisa mendengar rintihannya. Beliau kemudian turun (menghentikan khuthbah), lalu memeluk batang pohon ini sehingga diam dan tidak bersuara lagi. (1786).

Diriwayatkan oleh Ja‘far ibn Muḥammad dari ayahnya berkata: “Nabi s.a.w. jatuh sakit. Beliau didatangi oleh malaikat Jibrīl yang membawa piring berisi buah delima dan anggur. Nabi s.a.w. pun lalu memakannya, dan buah delima dan anggur itu mengucapkan tasbīḥ. ‘Alī tiba-tiba datang, lalu memakan kedua buah itu dan buah itu pun juga mengucapkan tasbīḥ. Setelah itu, seorang laki-laki dari sahabat datang dan memakannya, tapi buah delima dan anggur itu tidak mengucapan tasbīḥ. Jibrīl kemudian berkata: “Sesunggunya yang memakan ini adalah nabi atau orang jujur atau putra nabi!”

Catatan:

  1. 173). Ma‘ānī-l-Qur’ān, I/256.
  2. 174). Dalam Tafsīr-ul-Qurthubī disebutkan: “Dikatakan bahwa apabila mereka memohon sesuatu, mereka menyampaikan permohonan dengan lafazh tasbīḥ dn menutupnya dengan lafaz taḥmīd.”
  3. 175). Tafsīr-ul-Qurthubī, X/266.
  4. 176). Tafsīr-uth-Thabarī, XV/65.
  5. 177). Majma‘-uz-Zawā’id, VIII/289. Kisah ini diriwayatkan dari Abū Dzarr al-Ghifārī.
  6. 178). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, (hadits no. 918).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *