Anas ibn Mālik menuturkan: “Aku tengah bersama Ja‘far ibn Muḥammad. Sufyān at-Tsawrī kemudian datang dan berkata: “Beritahukanlah kepadaku sebuah ucapan yang Allah akan memberiku manfa‘at karenanya.” Ja‘far lalu berkata: “Apabila Allah memberimu satu keni‘matan maka perbanyaklah memuji-Nya (bertaḥmīd), apabila Allah memperlambat rezekimu maka perbanyaklah memohon ampunan kepada-Nya (beristighfār), dan apabila Allah menurunkan satu perkara besar (cobaan) kepadamu maka perbanyaklah mengucap lā ḥawla wa lā quwwata illā billāh.” (tidak ada daya dan kekuatan kecuali seidzin Allah semata).”
Kami menukil sebuah riwayat di Musnad Abul-Ḥārits ibn Abī Usāmah. Pada hari kiamat kelak, sebuah suara memanggil orang-orang yang berbaris: “Hari ini kalian akan mengetahui siapa orang-orang yang memperoleh kemuliaan. Berdirilah kalian, wahai orang-orang yang memuji Allah dalam keadaan apapun dan bagaimana pun juga!” Mereka yang dimaksud langsung berdiri dan digiring menuju surga. Dikatakan lagi untuk kali kedua: “Hari ini kalian akan mengetahui orang-orang yang memperoleh kemuliaan. Berdirilah kalian, wahai orang-orang yang lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfaqkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka! (as-Sajdah [32]: 17)” Mereka yanag dimaksud langsung berdiri dan digiring menuju surga.
Dikatakan lagi untuk kali ketiga: “Hari ini kalian akan mengetahui orang-orang yang memperoleh kemuliaan. Berdirilah kalian, wahai orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang.” (an-Nūr [24]: 37).” Mereka yang dimaksud langsung berdiri dan digiring ke surga.
Setelah ketiga kelompok itu digiring ke surga, seorang malaikat yang bermata tajam dan bersuara jelas tiba-tiba keluar dari api neraka, mengawasi semua makhluq dari atas, lalu berkata: “Aku diberi tugas untuk menyeret tiga kelompok orang dari kalian. Aku diberi tugas untuk menyeret setiap orang yang suka menindas dan keras kepala.” Ia langsung memungut kelompok orang yang dimaksud dari barisan makhluq seperti layaknya burung memungut biji tanaman sesame (wijen, bijan, lenga), lalu membawa mereka ke Jahannam. Malaikat ini keluar lagi dari neraka untuk kali kedua dan berkata: “Aku diberi tugas untuk menyeret setiap orang yang menyakiti Allah dan Rasūl-Nya.” Ia langsung memungut kelompok orang yang dimaksud dari barisan makhluq seperti burung memungut biji tanaman sesame, lalu membawa mereka ke Jahannam.
Malaikat ini keluar lagi untuk kali ketiga dan berkata: “Aku diberi tugas untuk menyeret setiap orang yang bergelut dengan gambar (ahl-ut-tashāwīr).” Ia pun langsung memungut kelompok yang dimaksud dari barisan makhluq seperti burung memungut biji tanaman sesame, lalu membawa mereka ke Jahannam. Setelah tiga kelompok pertama dan tiga kelompok kedua diambil dari barisan, buku-buku catatan ‘amal dikeluarkan, lalu diletakkan di atas timbangan ‘amal, dan semua makhluq pun dipanggil untuk perhitungan ‘amal.
Dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhārī tentang syafā‘at disebutkan bahwa orang-orang meminta syafā‘at kepada Allah s.w.t. melalui para rasūl-Nya, tetapi para rasūl tidak bisa memberikannya. Mereka kemudian mendatangi Nabi Muḥammad s.a.w., dan beliau s.a.w. bersabda: “Aku bisa memberikannya! Aku telah diidzinkan untuk memberikan syafā‘at, dan Allah s.w.t. telah mewahyukan kepadaku pujian-pujian yang aku pergunakan untuk memuji-Nya.”
Nabi s.a.w. kemudian bersujūd kepada-Nya, lalu dikatakan kepada beliau: “Pergi dan keluarkanlah setiap orang yang di hatinya terdapat keimanan, meskipun hanya seberat biji gandum. Cukup bagimu kemuliaan dan keluhuran taḥmīd sebagai sarana untuk mengeluarkan umat dari api neraka.”
Abul-‘Athahiyyah menuturkan dalam sebuah syairnya:
Aku memuji Allah, dan Dia telah mengilhamkan kepadaku
Pujian di atas pujian dan segala pujian milik-Nya
Berapa lama aku telah menangis karenanya (pujian), maka ketika aku
telah menjadi di selainnya (tidak memuji-Nya), aku menangis karena-Nya
Al-Qādhī Abul-Walīd (1971) juga menuturkan dalam syairnya:
Segala puji milik Allah, pujian yang mengakui
Bahwa ni‘mat-ni‘matNya takkan pernah bisa kita hitung
Dan bahwa apa yang dimiliki hamba-hamba merupakan ni‘mat-Nya
Sesungguhnya Tuhan seluruh manusia adalah pengaturnya (ni‘mat)
Dan bahwa rasa syukurku atas sebagian ni‘mat-Nya
Adalah sebaik-baik ni‘mat yang diatur-Nya.
Dalam sebuah syair disebutkan:
Apabila kami memuji Engkau dengan pujian yang baik-baik
Maka Engkau memang seperti pujian kami dan di atas pujian kami
Sekiranya kami membawa kebaikan dan kebijaksanaan
Kepada selain-Mu, maka Engkaulah yang mencela kami.
Dalam sebuah syair lain juga disebutkan:
Apabila kami memuji Engkau maka sesungguhnya
Kami memenuhi hak Engkau, bukan kewajiban syukur
Karena Engkau menguasakan kepada kami sesuatu yang banyak
Seolah-olah Engkau tidak mengetahuinya.