Kalimat kedua yang merupakan poros doa dengan memuji dan mengagungkan Allah s.w.t. adalah taḥmīd, yaitu al-ḥamdu lillāh.
Tingkatan taḥmīd jauh lebih tinggi dan lebih mulia ketimbang tingkatan syukur. Sebab, taḥmīd adalah memuji yang dipuji dengan sifat-sifat terpuji, mulia, dan luhur. Sementara itu, syukur adalah memuji yang dipuji dengan kebaikan yang telah dianugerahkan oleh-Nya. Jadi, taḥmīd adalah memuji dengan apa yang sudah seharusnya untuk-Nya, sedangkan syukur adalah memuji dengan apa yang berasal dari-Nya. Taḥmīd adalah permulaan, dan syukur adalah balasan.
Taḥmīd terkadang diposisikan di tempat syukur. Misalnya perkataan: “Aku memujinya atas kebaikannya kepadaku” atau “Aku bersyukur kepadanya”. Tapi, syukur tidak bisa diposisikan di tempat taḥmīd. Jadi, tidak bisa dikatakan: “Aku bersyukur kepadanya atas pekerjaannya, atau kemurahan hatinya, atau kemuliaannya, atau akalnya.”
Dengan demikian, taḥmīd lebih komprehensif ketimbang syukur. Dari sini bisa dikatakan bahwa ma‘na kalimat taḥmīd (al-ḥamdulillāh) adalah segala puji hanya milik Allah s.w.t. atas sifat-sifatNya yang luhur, nama-namaNya yang baik, dan semua sifat kemuliaan yang berhak disandang-Nya. Allah s.w.t. memuji Dzāt-Nya Sendiri di sebuah ayat dalam al-Qur’ān: “Segala puji hanya milik Allah, Tuhan seluruh alam.” (al-Fātiḥah [1]: 1). Kita memuji Allah s.w.t. atas sifat-sifat kemuliaan yang berhak disandang-Nya, atas ni‘mat-ni‘mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada kami, dan atas kebaikan-Nya kepada kami.
Al-Isfarāyīnī (1901) mengatakan: “Hakikat syukur adalah mengingat karunia dan pemberian, sedangkan hakikat taḥmīd adalah mengingat keutamaan-keutamaan dan keluhuran. Taḥmīd lebih komprehensif ketimbang syukur. Sebab, syukur berhubungan dengan kebaikan-Nya, sementara taḥmīd berhubungan dengan-Nya dan dengan sifaf-sifat mulia-Nya.”
Ibnu ‘Abbās mengatakan: “Allah s.w.t. mengawali penciptaan dengan taḥmīd. Dia s.w.t. berfirman: “Segala puji milik Allah, Dzāt yang telah menciptakan langit dan bumi.” (al-An‘ām [6]: 1). Allah s.w.t. juga mengakhiri penciptaan dengan taḥmīd. Dia s.w.t. berfirman: “Lalu diberikan keputusan di antara mereka (hamba-hamba Allah) secara adil dan dikatakan: “Segala puji milik Allah, Tuhan seluruh alam.” (az-Zumar [39]: 75).” (1912).
Ka‘b berkata: “Allah s.w.t. membuka kitab Taurāt dengan taḥmīd: “Segala puji milik Allah, Dzāt yang telah menciptakan langit dan bumi.” (al-An‘ām [6]: 1), dan juga menutupnya dengan taḥmīd: “Dan katakanlah: “Segala puji milik Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak (pula) mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya.” (al-Isrā’ [17]: 111).” (1923).
Diriwayatkan oleh Rifā‘ah ibn Rāfi‘ az-Zarqī (1934) bahwa dirinya dan sejumlah sahabat tengah mengerjakan shalat berma’mum di belakang Nabi s.a.w. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari rukū‘, beliau mengucapkan: sami‘a Allāhu li man ḥamidah. (Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya). Seorang sahabat yang berada di belakang beliau lalu mengucapkan: “Ya Tuhan kami, hanya milik-Mu semua pujian, pujian yang baik dan membawa keberkahan.” Ketika Nabi s.a.w. merampungkan shalatnya, beliau bersabda: “Siapa yang tadi mengucapkan sesuatu?” Sahabat tadi langsung menjawab: “Aku, wahai Rasūlullāh.” Beliau lalu bersabda: “Aku tadi melihat 30-an malaikat berlomba-lomba mencatat orang yang mengucapkan ucapan tadi.” (1945).
Abū ‘Abdillāh ibn-iz-Zubayrī mengatakan: “Nabi s.a.w. tidak pernah mendengar seorang pun yang memuji Allah s.w.t. kecuali beliau memuji orang itu. Lalu, bagaimana jika yang dipuji adalah Dzāt Yang tidak ada sesuatu pun yang bisa menyerupai-Nya? Bagaimana jika yang disucikan adalah Dzāt Yang Maha Mulia dan Maha Segalanya? Renungkanlah sabda Nabi s.a.w. ini: “Aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu dan dengan kasih-sayangMu dari hukuman-Mu. Aku tak menghitung pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji Dzāt-Mu.” (1956).
‘Umar ibn ‘Abd-il-‘Azīz mengatakan: “Tak ada satu pun ni‘mat kecuali taḥmīd lebih mulia darinya. Tak ada ni‘mat yang lebih mulia daripada surga. Allah s.w.t. telah meridhai taḥmīd sebagai ganti surga. Dia s.w.t. berfirman: “Dan penutup doa mereka adalah: “Alḥamdulillāhi rabb-il-‘ālamīn” (segala puji milik Allah, Tuhan semesta alam).” (Yūnus [10]: 10).”
Gubernur Bashrah pernah memulis surat kepada ‘Umar ibn ‘Abd-il-‘Azīz. (1967). Isi suratnya: “Sesungguhnya aku menggali sebuah sungai bagi penduduk Bashrah untuk sumber minuman mereka. Buah-buah (tanaman) mereka pun menjadi berkualitas bagus. Apabila engkau mengidzinkan, aku akan membebankan biaya yang telah aku keluarkan untuk membuat sungai itu ke pundak mereka.” ‘Umar ibn ‘Abd-il-‘Azīz lalu membalas surat ini: “Engkau takkan pernah keliru menjadi penduduk Bashrah ketika engkau menggali sungaimu dan mengucapkan Alḥamdulillāh. Sesungguhnya Allah s.w.t. telah meridhai taḥmīd sebagai harga dari surga. Oleh sebab itu, ridhailah surga sebagai ganti atas sungaimu. Semoga keselamatan selalu menyertaimu.”
Anas menuturkan: “Aku mendengar ‘Umar ibn al-Khaththāb mengucap salam kepada seorang laki-laki, dan laki-laki itu membalas salamnya. ‘Umar lalu berkata kepadanya: “Bagaimana kabarmu?” Laki-laki itu menjawab: “Aku memuji Allah untukmu.” ‘Umar pun berkata: “Itulah yang aku inginkan darimu.”
Sa‘īd ibn Jubayr mengatakan: “Yang pertama dipanggil masuk ke surga adalah orang-orang yang memuji Allah s.w.t. dalam keadaan apapun dan bagaimana pun.”
‘Umar ibn ‘Abd-il-‘Azīz mengatakan: “Kami mengucapkan: “Segala puji milik Allah, Tuhan yang mendengar ucapan setiap orang yang berbicara, mengetahui isi hati orang yang diam, mengatur rezeki orang yang hidup, dan tempat kembali orang yang mati. Aku adalah orang fakir yang telah Engkau cukupkan, orang lapar yang telah Engkau kenyangkan, orang telanjang yang telah Engkau tutupi, orang yang berjalan yang telah Engkau arahkan, dan orang yang takut yang telah Engkau tenangkan. Segala puji milik Allah, Tuhan seluruh alam. Ya Allah, Engkau telah menciptakanku sesuai kehendak-Mu, maka kasihilah aku sesuai kehendak-Mu dan berilah aku taufiq sesuai kehendak-Mu. Ya Allah, berilah aku taufiq untuk menaati-Mu sampai aku percaya seutuhnya dengan-Mu, takut seutuhnya kepada-Mu, dan tergesa-gesa seutuhnya kepada-Mu. Ya Allah, jadikanlah aku mencintai kebaikan sebagaimana aku mencintainya pada hari aku bisa melihat pahalanya, dan jadikanlah aku membenci keburukan sebagaimana aku membencinya pada hari aku bisa melihat hukumannya. Sesungguhnya kaum yang telah Engkau beri rahmat, rahmat-Mu bagi mereka sebelum ketaatan mereka kepada-Mu. Engkau telah berfirman: “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A‘rāf [7]: 156), maka masukkanlah aku ke dalam cakupan rahmat-Mu, wahai Tuhan Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”
Ibnu ‘Abbās dan Sa‘īd ibn Jubayr berkata: “Barang siapa yang mengucapkan kalimat lā ihāha illā Allāh maka hendaklah setelah itu mengucapkan “Alḥamdulillāhi rabb-il-‘ālamīn” (segala puji milik Allah, Tuhan seluruh alam). Dialah Yang hidup kekal, tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia, maka sembahlah Dia dengan tulus ikhlash beragama kepada-Nya. Segala puji milik Allah Tuhan seluruh alam.” (Ghāfir [40]: 65).
Abū Sulaymān mengisahkan:
Seorang laki-laki berdiri di depan pintu Ka‘bah setelah selesai mengerjakan ibadah haji, lalu mengucapkan: “Segala puji milik Allah dengan semua pujian untuk-Nya yang sudah aku ketahui dan yang belum aku ketahui. Segala puji milik Allah atas semua ni‘mat-Nya yang sudah aku ketahui dan yang belum aku ketahui. Segala puji milik Allah yang telah menciptakan semua makhluq-Nya yang sudah aku ketahui dan yang belum aku ketahui.”
Pada tahun berikutnya, laki-laki ini menunaikan ibadah haji lagi. Seperti tahun sebelumnya, ia berdiri di depan pintu Ka‘bah dan mengucapkan seperti yang diucapkannya setahun lalu. Tiba-tiba sebuah suara memanggil: “Wahai hamba Allah. Engkau telah membuat lelah malaikat penjaga Ka‘bah; dari tahun lalu hingga sekarang, mereka belum selesai mencatat pahala dari apa yang telah engkau ucapkan?”