Ibnu ‘Athā’ bersya‘ir:
أَرَى الذِّكْرَ أَصْنَافًا مِنَ الذِّكْرِ حَشْوَهَا
وِدَادٌ وَ شَوْقٌ يَبْعَثَانِ عَلَى الذِّكْرِ
فَذِكْرُ أَلِيْفُ النَّفْسِ مُمْتَزَجٌ بِهَا
يَحِلُّ مَحَلَّ الرُّوْحِ فِيْ طَرْفِهَا يُسْرَى
وَ ذِكْرٌ يُعَزَّى النَّفْسَ عَنْهَا لِأَنَّهُ
لَهَا مُتْلِفٌ مِنْ حَيْثُ تَدْرِيْ وَ لَا تَدْرِيْ
وَ ذِكْرٌ عَلَا مِنِّي الْمُفَارِقَ وَ الذُّرَى
يَجُلُّ عَنِ الْإِدْرَكِ بِالْوَهْمِ وَ الْفِكْرِ
يَرَاهُ لَحَاظُ الْعَيْنِ بِالْقَلْبِ رُؤْيَةً
فَيَجْفُوْ عَلَيْهِ أَنْ يُشَاهِدَ بِالذِّكْرِ
Aku tahu dzikir itu bermacam-macam, ia dipenuhi rasa cinta,
Rindu-dendam yang dapat menggugah ingatan.
Dzikir itu melemahkan nafsu, karena nafsu dicampuri dengannya,
Dzikir itu mempengaruhi jiwa, yang pada akhirnya menghilangkan duka cita.
Dan dzikir itu dapat menyebarkan nafsu, karena sesungguhnya dzikir,
Dapat menggulung nafsu, baik diketahui maupun tidak diketahui.
Dan dzikir itu mempunyai tanda-tanda, pengaruh, yaitu memisahkan hawa nafsu dan melenyapkannya,
Ia dapat meningkakatkan inteligensia melalui imaginasi dan perenungan.
Dengan dzikir dapat mengetahui Dia melalui kerlingan mata dan keyakinan dalam hati.
Dapat menyaksikan Dia, maka terputuslah/lenyaplah tabir atas diri-Nya.