Tartibul Aurad | Biografi & Dzikir Matsuroh (Do’a Setelah Azan)

Tartibul Aurad
(Dzikir Pesantren Asuhan KH.Abdul Hamid Pasuruan)
oleh : H.M. Zainul Arifin
Pondok Pesantren Salafiyah
Jl.KH. Abdul Hamid Gg.8 Pasuruan

Biografi Singkat

KH. Abdul Mu’thi atau yang biasa dipanggil dengan sapaan KH. Abdul Hamid Pasuruan lahir pada tahun 1333 H atau 1915 M di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang, di tengah kota kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah.

Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya. Dul memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau menuturkan bahwa Dul adalah anak yang nakalnya luar biasa. Tapi kenakalan Dul tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Dul adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang.

Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahnya, KH. Abdullah Umar tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Akhirnya, ayahnya mengirim Dul untuk mengaji kepada KH. Ma’shum dan KH. Baidhawi. Ketika mulai beranjak remaja (ABG), beliau mulai gemar belajar kanuragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. KH. Zaki Ubaid Pasuruan menuturkan bahwa Dul sampai bisa menangkap babi jadi-jadian.

Meski begitu, sejak kecil beliau sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Dul bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid. (Sumber : https://www.laduni.id/post/read/14659/biografi-kh-abdul-hamid-pasuruan#Riwayat)

Tarekat dan KH. Hamid

Untuk menjawab, tarekat apakah yang diikuti Kyai Hamid? Tentu bukanlah persoalan mudah untuk menjawab. Kesulitan ini muncul karena memang tidak ada data yang valid yang mengarah pada jawaban tersebut. Dalam berbagai riwayat yang didapat dari ahli keluarga, kerabat, para santri dan sumber-sumber yang lain pun hanya bersifat spekulasi karena banyaknya ikhtilaf pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Kyai tidak menjadi punya tarekat, alias tidak menjadi pengikut tarekat manapun. Data ini di dapat dari ahli keluarga dan kerabat beliau yang tidak pernah mendengar Kyai Hamid pernah “dawuh” atau mengakui tentang tarekat yang beliau anut.

Namun asumsi ini tentu sulit diterima melihat maqam wilayah dan ketinggian karamah yang beliau punyai semasa hidupnya. Begitu pula dengan tingginya kualitas maqamat tarekat yang beliau jalani. Suatu tingkatan yang hanya dapat diperoleh apabila seseorang mampu melalui lautan hati dan hamparan sara’ir dengan amaliyah tarekat yang amat mumpuni sehingga beliau sampai pada derajat ma’rifat billah. Hingga, adalah mustahil apabila beliau mendapatkan semua itu tanpa kehadiran seorang guru mursyid tarekat, atau bahkan seorang waliyan mursyidan.

Sikap diam beliau yang tidak pernah mengatakan siapa guru mursyid dan apa tarekat beliau memang cukup beralasan jika dikembalikan kepada otoritas beliau sebagai seorang waliyullah. Sebab, otoritas sebagai seorang wali adalah bagian dari ketentuan Allah yang ditentukan dengan batasan-batasan tugas tertentu. Sehingga, adalah sebuah pantangan apabila beliau melakukan pengakuan dan penyebaran tarekat, karena itu bukan menjadi otoritasnya. Hanya seorang mursyid tarekat saja yang berhak menyandang wewenang itu. Dari sini pula dapat kita mengerti, mengapa kita juga tidak pernah mendapat data valid, apa tarekat hadratus syekh Kyai Shiddiq, Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Wahab Hasbullah, hingga Kyai Kholil Bangkalan.

Pendapat kedua mengatakan bahwa tarekat Kyai Hamid adalah tarekat Alawiyah. Indikasi ini diperoleh dari pengamatan para santri beliau yang menyandarkan praktik amaliyah tarekat dan zikir beliau yang banyak mengambil dari tarekat ini. Seperti diketahui, tarekat Alawiyah yang didirikan oleh Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir, seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M ini tidak menekankan segi-segi riyadlah atau olah rohani dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid.

Keunikan dari tarekat ini adalah tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah dari Syaikh mursyid jika ingin mengamalkan tarekat. Tarekat ini merupakan jalan tengah antara tarekat Syadziliyah yang menekankan riyadlah qulub atau olah hati, dan tarekat Ghazaliyah yang menekankan riyadlah al-‘abdan bil a’mal atau olah fisik. Ada dua wirid utama yang diajarkan tarekat ini, yakni al-wird al-lathif dan ratib al-haddad. Dua wirid yang diajarkan oleh Kyai Hamid dan diwariskan hingga sekarang kepada para santri dan keluarganya.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa tarekat Kyai Hamid adalah Syadziliyah. Sebab menurut sebuah sumber, sebenarnya beliau ketika mondok ke Termas selain belajar ilmu-ilmu agama dibawah asuhan KH. Dimyathi beliau juga sudah mengikat bai’at kepada Syekh Abdurrozaq bin Abdullah at-Termasi. Seorang wali mursyid tarekat Syadziliyah terkemuka pada masa itu di Termas.

Tarekat Syadziliyah yang disandarkan kepada nama pendirinya, Syekh Abu al-Hasan as-Syadzili merupakan tarekat yang menekankan riyadlah qulub atau olah hati pada setiap individu dengan melalui dzikir sirri (qalbi) dan beberapa awrad dan hizib yang digubah oleh al-Syadzili. Ciri-ciri tarekat Syadziliyah yang menekankan dzikir sirri dan kekuatan riyadlah hati secara individu ini memperkuat dugaan Kyai Hamid memang menjadi pengikutnya. Sebab, dugaan itu diperkuat dengan data-data fakta bahwa semasa beliau mondok di Termas, Abdul Hamid (nama Kyai Hamid) sudah banyak melakukan suluk tarekat secara sirri. Seperti sering pergi ke gunung dekat pondok Termas untuk melakukan khalwat dan dzikir. Tapi kalau ada orang datang, ia pura-pura mantheg (mengetapel) agar orang tidak tahu bahwa dia sedang berkhalwat. Amalan wirid juga sering beliau baca disela-sela aktifitasnya sebagai seorang santri. Bahkan, ketika sering diajak begadang untuk mencari jangkrik, Kyai Hamid segera membaca wirid ketika teman-temannya tidak melihatnya. (Sumber:http://agama-aliyah.blogspot.com/2009/07/tarekat-dan-kyai-hamid.html)


الأذكار والمأثورات

دعاء بعد الأذان

Doa Setelah Azan

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ.

أَللهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّة، والصَّلاة الْقَائِمَة، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَالشَّرَفَ وَالدَّرَجَةَ الْعَالِيَةَ الرَّفِيْعَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ. اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ وَالْمُعَافَةَ الدَائِمَةَ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ.
رَبِّ اغْفِرْلِي وَلِوَالِدَيَّ 5x….وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لِي فِي أَوْلَادِي وَاحْفَظْهُمْ وَلَا تَضُرَّهُمْ وَوَفِّقْهُمْ لِطَاعَتِكَ وَارْزُقْنِي بِرْهُمْ3x….
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ اللَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *