Seni Dalam Pandangan Ulama Islam – Seni Dalam Pandangan Islam

SENI DALAM PANDANGAN ISLĀM.
Seni Vocal, Musik dan Tari.

Oleh: ‘Abd-ur-Raḥmān Al-Baghdādī.
 
Penerbit: GEMA INSANI PRESS.

BĀB III.

SENI DALAM PANDANGAN ‘ULAMĀ’ ISLĀM.

 

Sebelum kita membahas dan mendiskusikan pendapat para fuqahā’, khususnya para imām madzhab yang empat terlebih dahulu kami kutipkan pendapat mereka tentang seni suara beserta dalīl-dalīlnya, baik dari golongan yang meng-ḥarām-kan maupun yang membolehkannya.

  1. Imām Asy-Syaukānī, dalam kitabnya NAIL-UL-AUTHĀR menyatakan sebagai berikut (Lihat Imām Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VIII, hlm. 100-103):
  1. Para ‘ulamā’ berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut mazhab Jumhur adalah ḥarām, sedangkan mazhab Ahl-ul-Madīnah, Azh-Zhāhiriyah dan jamā‘ah Shūfiyyah memperbolehkannya.
  2. Abū Mansyūr Al-Baghdādī (dari mazhab Asy-Syāfi‘ī) menyatakan: “‘ABDULLĀH BIN JA‘FAR berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri pernah menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan (budak) wanita (jawārī) dengan alat musik seperti rebab. Ini terjadi pada masa Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī bin Abī Thālib r.a.
  3. Imām Al-Ḥaramain di dalam kitābnya AN-NIHĀYAH menukil dari para ahli sejarah bahwa ‘Abdullāh bin Az-Zubair memiliki beberapa jāriyah (wanita budak) yang biasa memainkan alat gambus. Pada suatu hari Ibnu ‘Umar datang kepadanya dan melihat gambus tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibnu ‘Umar bertanya: “Apa ini wahai shahābat Rasūlullāh? ” Setelah diamati sejenak, lalu ia berkata: “Oh ini barangkali timbangan buatan negeri Syām,” ejeknya. Mendengar itu Ibnu Zubair berkata: “Digunakan untuk menimbang akal manusia.”
  4. Ar-Ruyānī meriwayatkan dari Al-Qaffāl bahwa mazhab Mālikī membolehkan menyanyi dengan ma‘āzif (alat-alat musik yang berdawai).
  5. Abū Al-Fadl bin Thāhir mengatakan: “Tidak ada perselisihan pendapat antara ahli Madīnah tentang, menggunakan alat gambus. Mereka berpendapat boleh saja.”

Ibnu An Nawawī di dalam kitabnya AL-‘UMDAH mengatakan bahwa para shahābat Rasūlullāh yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya antara lain ‘Umar bin Khaththāb, ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Abd-ur-Raḥmān bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abī Waqqāsh dan lain-lain. Sedangkan dari tābi‘īn antara lain Sa‘īd bin Musayyab, Salīm bin ‘Umar, Ibnu Ḥibbān, Khārijah bin Zaid, dan lain-lain.

 

  1. Abū Isḥāq Asy-Syirāzī dalam kitābnya AL-MUHAZZAB (Lihat Abū Isāq Asy-Syirāzī, AL-MUHAZZAB, Jilid II, hlm. 237) berpendapat:
  1. Diḥarāmkan menggunakan alat-alat permainan yang membangkitkan hawa nafsu seperti alat musik gambus, tambur (lute), mi‘zah (sejenis piano), drum dan seruling.
  2. Boleh memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitanan. Selain dua acara tersebut tidak boleh.
  3. Dibolehkan menyanyi untuk merajinkan unta yang sedang berjalan.

 

  1. Al-Alūsī dalam tafsīrnya RŪḤ-UL-MA‘ĀNĪ (Lihat Al-Alūsī dalam tafsīrnya RŪ-UL-MA‘ĀNĪ, Jilid XXI, hlm. 67-74).
  1. Al-Muḥāsibī di dalam kitābnya AR-RISĀLAH berpendapat bahwa menyanyi itu ḥarām seperti ḥarāmnya bangkai.
  2. Ath-Thursusī menukil dari kitāb ADAB-UL-QADHA bahwa Imām Syāf‘ī berpendapat menyanyi itu adalah permainan makrūh yang menyerupai pekerjaan bāthil (yang tidak benar). Orang yang banyak mengerjakannya adalah orang yang tidak beres pikirannya dan ia tidak boleh menjadi saksi.
  3. Al-Manawī mengatakan dalam kitābnya: ASY-SYARḤ-UL-KABĪR bahwa menurut mazhab Syāfi‘ī menyanyi adalah makrūh tanzīh yakni lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan agar dirinya lebih terpelihara dan suci. Tetapi perbuatan itu boleh dikerjakan dengan syarat ia tidak khawātir akan terlibat dalam fitnah.
  4. Dari murīd-murīd Al-Baghawī ada yang berpendapat bahwa menyanyi itu ḥarām dikerjakan dan didengar.
  5. Ibnu Ḥajar menukil pendapat Imām Nawawī dan Imām Syāfi‘ī yang mengatakan bahwa ḥarāmnya (menyanyi dan main musik) hendaklah dapat dimengerti karena hal demikian biasanya disertai dengan minum arak, bergaul dengan wanita, dan semua perkara lain yang membawa kepada maksiat. Adapun nyanyian pada saat bekerja, seperti mengangkut suatu yang berat, nyanyian orang ‘Arab untuk memberikan semangat berjalan unta mereka, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan nyanyian perang, maka menurut Imām Awzā‘ī adalah sunat.
  6. Jamā‘ah Shūfiyyah berpendapat boleh menyanyi dengan atau tanpa iringan alat-alat musik.
  7. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat boleh menyanyi dan main alat musik tetapi hanya pada perayaan-perayaan yang memang dibolehkan Islām, seperti pada pesta pernikahan, khitanan, hari raya dan hari-hari lainnya.
  8. Al-‘Izzu bin ‘Abd-us-Salām berpendapat, tarian-tarian itu bid‘ah. Tidak ada laki-laki yang mengerjakannya selain orang yang kurang waras dan tidak pantas, kecuali bagi wanita. Adapun nyanyian yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada ākhirat tidak mengapa bahkan sunat dinyanyikan.
  9. Imām Balqinī berpendapat tari-tarian yang dilakukan di hadapan orang banyak tidak harām dan tidak pula makrūh karena tarian itu hanya merupakan gerakan-gerakan dan belitan serta geliat anggota badan. Ini telah dibolehkan Nabi s.a.w. kepada orang-orang Habsyah di dalam masjid pada hari raya.
  10. Imām Al-Māwardī berkata: “Kalau kami mengharamkan nyanyian dan bunyi-bunyian alat-alat permainan itu maka maksud kami adalah dosa kecil bukan dosa besar.”

 

  1. ‘ABD-UR-RAḤMĀN AL-JAZARĪ di dalam kitabnya AL-FIQH ‘ALĀ AL-MADZĀHIB-IL ARBA‘A (Lihat ‘Abd-ur-Ramān Al-Jazarī, AL-FIQH ‘ALĀ AL-MADZĀHIB-IL ARBA‘A, Jilid II, hlm. 42-44) mengatakan:
    1. ‘Ulamā’-‘ulamā’ Syāfi‘iyyah seperti yang diterangkan oleh Al-Ghazālī di dalam kitab IḤYA’ ‘ULŪM-ID-DĪN. Beliau berkata: “Nash nash syara‘ telah menunjukkan bahwa menyanyi, menari, memukul rebana sambil bermain dengan perisai dan senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubāḥ (boleh) sebab hari seperti itu adalah hari untuk bergembira. Oleh karena itu hari bergembira dikiaskan untuk hari-hari lain, seperti khitanan dan semua hari kegembiraan yang memang dibolehkan syara‘.
    2. Al-Ghazālī mengutip perkataan Imām Syāfi‘ī yang mengatakan bahwa sepanjang pengetahuannya tidak ada seorangpun dari para ulama Ḥijāz yang benci mendengarkan nyanyian, suara alat-alat musik, kecuali bila di dalamnya mengandung hal-hal yang tidak baik. Maksud ucapan tersebut adalah bahwa macam-macam nyanyian tersebut tidak lain nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang telah dilarang oleh syara‘.
    3. Para ‘ulamā’ Ḥanafiyyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adalah nyanyian yang mengandung kata-kata yang tidak baik (tidak sopan), seperti menyebutkan sifat-sifat jejaka (lelaki bujang dan perempuan dara), atau sifat-sifat wanita yang masih hidup (“menjurus” point, lead in certain direction, etc.). Adapun nyanyian yang memuji keindahan bunga, air terjun, gunung, dan pemandangan alam lainya maka tidak ada larangan sama sekali. Memang ada orang orang yang menukilkan pendapat dari Imām Abū Ḥanīfah yang mengatakan bahwa ia benci terhadap nyanyian dan tidak suka mendengarkannya. Baginya orang-orang yang mendengarkan nyanyian dianggapnya telah melakukan perbuatan dosa. Di sini harus dipahami bahwa nyanyian yang dimaksud Imām Ḥanafī adalah nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang syara‘.
    4. Para ulamā’ Mālikiyyah mengatakan bahwa alat-alat permainan yang digunakan untuk memeriahkan pesta pernikahan hukumnya boleh. Alat musik khusus untuk momen seperti itu misalnya gendang, rebana yang tidak memakai genta, seruling dan terompet.
    5. Para ulamā’ Ḥanbaliyyah mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat musik, seperti gambus, seruling, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya. Adapun tentang nyanyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunat melagukannya ketika membacakan ayat-ayat al-Qur’ān asal tidak sampai mengubah aturan-aturan bacaannya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *