Sanggahan Terhadap yang Mengharamkan Nyanyian dan Main Musik – Seni Dalam Pandangan Islam (2/2)

SENI DALAM PANDANGAN ISLĀM.
Seni Vocal, Musik dan Tari.

Oleh: ‘Abd-ur-Raḥmān Al-Baghdādī.
 
Penerbit: GEMA INSANI PRESS.

Rangkaian Pos: Sanggahan Terhadap yang Mengharamkan Nyanyian dan Main Musik - Seni Dalam Pandangan Islam
  1. ḤADĪTS MUSNAD IMĀM AḤMAD, JILID V, HLM. 259.

Ḥadīts ini tidak dapat dijadikan pegangan karena dari segi sanadnya dha‘īf. Imām Aḥmad telah meriwayatkan dari Sa‘īd bin Manshūr dari al-Ḥārits bin Nabhān, dari Farqad as-Sabakhī, dari ‘Āshim bin ‘Amru, dari Abū Umāmah.

Dalam menanggapi Ḥadīts tersebut, Imām Ibnu Ḥazm telah menolak sanad Ḥadīts tersebut. Beliau mengatakan bahwa al-Ḥārits bin Nabhān Ḥadītsnya tidak boleh ditulis, dan Farqad As-Sabakhī Ḥadītsnya lemah. Bahkan Imām Aḥmad sendiri mengatakan bahwa Farqad As-Sabakhī riwayat Ḥadītsnya tidak kuat. (Lihat Ibnu Ḥazm, AL-MUḤALLĀ, Jilid VI, hlm. 59). Tetapi Ibnu Mu‘īn mengatakan bahwa orang ini “tsiqah” (dapat dipercaya). (Lihat Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VIII, hlm. 111).

Imām adz-Dzahabī mengatakan bahwa al-Ḥārits bin Nabhān riwayatnya menurut Imām Bukhārī adalah “munkar-ul-adīts” (Ḥadīts cacat yang diriwayatkan oleh satu riwayat saja dan orang tersebut belum dapat dipercaya). Tetapi menurut Imām an-Nasā’ī, Ḥadītsnya “matrūk” (Ḥadītsnya harus ditinggalkan). Sedangkan Ibnu Mu‘īn berpendapat, Ḥadīts al-Ḥārits bin Nabhān “Laisa bi syai” (Ḥadītsnya tidak perlu diperhatikan atau tidak perlu ditulis). (Lihat Muḥammad bin Aḥmad adz-Dzahabī, MĪZĀN-UL-I‘TIDĀLI FĪ NAQD-IR-RIJĀL, Jilid I, hlm.444, No. perawi Ḥadīts 1649).

Adapun Farqad As-Sabakhī walaupun menurut Ibnu Mu‘īn orang tersebut dapat dipercaya, namun menurut Abū Ḥātim sanadnya tidak kuat. Sedangkan Imām Bukhārī mengatakan bahwa di dalam Ḥadītsnya banyak Ḥadīts yang “munkar“. Kemudian menurut Imām an-Nasā’ī, Ḥadītsnya dha’īf dan orangnya tidak dapat dipercaya. (Lihat Muḥammad bin Aḥmad adz-Dzahabī, ibidem, Jilid III, hlm. 346, No perawi Ḥadīts 6699).

 

  1. ḤADĪTSNYA ABŪ DĀWŪD No. 4927.

Ḥadīts ini telah diriwayatkan oleh Imām Abū Dāwūd dengan sanadnya adalah dari Muslim bin Ibrāhīm, dari Sallām bin Miskīn melalui seorang kakek yang tidak disebutkan namanya. Si kakek itu pernah berjumpa dengan Abū Wā’il yang mendengar sebuah Ḥadīts Rasūlullāh s.a.w. dari Ibnu Mas‘ūd yang berbunyi:

(الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ)

Lagu atau nyanyian adalah sesuatu yang dapat menumbuhkan sifat nifaq di dalam hati manusia.”

Pada sanad Ḥadīts tersebut terdapat seseorang yang “majhūl” (tidak dikenal), yaitu seorang kakek tua. Menurut kaidah ilmu Ḥadīts bila sanadnya majhūl, maka Ḥadīts tersebut harus ditolak. Tetapi di dalam sanad Ḥadīts ini terdapat seseorang yang dapat dipercaya, yaitu Sallām bin Miskīn. Namun Imām Abū Dāwūd mengatakan bahwa perawi tersebut cenderung kepada pendapat golongan Qadariyyah (golongan yang menolak adanya takdir). Karena itu sudah cukup bagi kita untuk menolak riwayatnya karena berarti ia telah tergolong ke dalam golongan (Qadariyyah) yang berbuat bid‘ah. Sedangkan ahli bid‘ah tidak boleh diterima riwayatnya.

Ḥadīts ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunya, juga dari Ibnu Mas‘ūd, Ibnu ‘Adī, dan ad-Dailamī dengan sanad yang dha‘īf. Menurut Ibn-ul-Qaththān, ia menukilkan pendapat Imām Nawawī yang mengatakan bahwa Ḥadīts ini tidak shaḥīḥ. Pendapat ini juga didukung oleh Imām as-Sarkhasī dan Imām al-‘Irāqī yang menolak Ḥadīts tersebut karena ada seseorang yang tidak tercatat namanya.

Imām al-Baihaqī meriwayatkannya juga dalam kitab SYU‘AB-UL-ĪMĀN dari Jarīr dengan sanad yang di dalamnya ada seseorang yang bernama ‘Alī bin Ḥammād. Orang ini menurut Imām Dāruquthnī adalah “matrūk” (harus ditinggalkan).

Selain itu pada sanadnya ada ‘Abdullāh bin ‘Abd-ul-‘Azīz bin Ruwāt yang menurut Imām Abū Ḥātim Ḥadītsnya munkar seluruhnya. Akan halnya Ibn-ul-Junaid, beliau berpendapat orang ini “tidak bernilai sesenpun” (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf al-Manawī, FAIDH-UL-QADĪR, Jilid IV, hlm. 413-414).

 

  1. ḤADĪTS IMĀM TIRMIDZĪ, NO. 1011.

Ḥadīts ini walaupun dari segi sanadnya mursal, yang umumnya ditolak oleh sebagian ahli Ḥadīts, tetapi oleh sebagian lainnya dijadikan ḥujjah dalam pengambilan hukum dan pendapat. Cara seperti inilah yang dapat diterima. Tetapi dari segi matannya (isi Ḥadīts), ia tidak menunjukkan bahwa telah diturunkan ‘adzāb atas mereka yang berupa tanah longsor (landslide), pertukaran rupa dari manusia ke wajah hewan, terjadinya kerusuhan adalah karena mereka telah menggunakan alat-alat musik atau karena mereka telah mendengar nyanyian seorang biduanita dan menenggak (swallow, gulp down) minuman keras. Tetapi semua malapetaka yang menimpa mereka disebabkan oleh karena mereka telah meng-ḥalāl-kan khamr, perzinaan, memakai sutera (bagi lelaki), dan membolehkan wanita tampil sebagai penyanyi dalam forum yang bercampur antara lelaki dan perempuan. Selain itu mereka meng-ḥalāl-kan menggunakan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah ditentukan oleh syara‘, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Ḥadīts riwayat lainnya. Salah satu di antara Ḥadīts tersebut adalah riwayat Bukhārī Ḥadīts No. 5590 yang berbunyi:

(لِيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيرَ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ وَ لَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي الْفَقِيرُ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَ يَضَعُ الْعَلَمَ وَ يَمْسَخُ الآخَرِينَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيرَ إِلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)

Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang meng-alāl-kan zina, sutera, arak dan alat permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimīn) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: “Datanglah kepada kami esok hari.” Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat.”

Juga riwayat Imām Aḥmad, Ibnu Abī Syaibah, al-Bukhārī dalam buku TĀRĪKHnya melalui Abū Mālik al-Asy‘arī dari Rasūlullāh s.a.w. yang bersabda (Lihat: Imām Aḥmad bin ‘Alī bin Ḥajar al-Asqalānī, FATḤ-UL-BĀRĪ, Jilid X, hlm. 55):

(لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمِ الْقِيَانُ وَ تَرُوحُ عَلَيْهِمِ الْمَعَازِفُ)

Segolongan dari umatku akan minum khamr tetapi dengan menyebutkan dengan nama lain, dan mereka akan didatangi oleh para penyanyi wanita keliling beserta pemain musik dengan alat-alat instrumentalnya.”

 

  1. ḤADĪTS DI DALAM TAFSĪR ATH-THABARĪ, JUZ XXI, HLM. 39.

Ḥadīts ini diriwayatkan oleh Imām Ath-Thabarī dari al-Waqī‘, dari Khallāf ash-Shaffār, dari ‘Ubaidillāh bin Zhahhār, dari ‘Alī bin Yazīd, dari al-Kāsim bin ‘Abd-ur-Raḥmān, dengan sanad yang lemah. Di dalam Ḥadīts tersebut terdapat sanadnya yang bernama ‘Alī bin Yazīd yang menurut Imām Bukhārī adalah perawi Ḥadīts yang munkar (Ḥadītsnya harus ditolak). Kemudian Imām an-Nasā’ī juga menilai bahwa orang tersebut tidak dapat dipercaya. Abū Zur‘ah berkata bahwa Ḥadītsnya tidak kuat riwayatnya, sedangkan ad-Dāruquthnī berkata bahwa orang tersebut “matrūk” (Ḥadītsnya harus ditinggalkan). (Lihat: Muḥammad bin Aḥmad adz-Dzahabī, MĪZĀN-UL-I‘TIDĀL, Jilid III, hlm. 161; No. perawi Ḥadīts 5966).

Walaupun sanad Ḥadīts tersebut lemah tetapi dari segi matannya Ḥadīts ini tidak menunjukkan ḥarāmnya nyanyian dan penggunaan alat-alat musik. Focus Ḥadīts ini hanya terbatas pada larangan mengajarkan teori musik dan mengarang lagu untuk dinyanyikan kaum wanita. Selain itu, Ḥadīts ini juga melarang melakukan praktek jual-beli penyanyi wanita atau memberikan imbalan kepada mereka atas jasa menyanyi.

Semua larangan tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan lebih layak diajarkan ‘ilmu atau kepandaian yang selain itu, seperti menjahit, merenda, menenun, mengajarkan ilmu fiqih, tafsir, dan ilmu syariat lainnya, atau ilmu-ilmu yang dibutuhkan bagi kaum wanita seperti ilmu kebidanan, dan sebagainya. Ḥadīts ini juga menegaskan bahwa wanita mempunyai kehormatan. Bahkan andaikan ia berstatus wanita budak, tetapi ia tidak boleh diperjualbelikan, khususnya bagi penyanyi budak wanita. Larangan tersebut berlaku pula untuk praktek memberikan imbalan kepada penyanyi wanita yang menjadikan pekerjaan tersebut sebagai profesinya.

 

  1. ḤADĪTS RIWAYAT IBNU GHAILĀN AL-BAZZĀZ.

Ḥadīts ini dari segi sanadnya lemah sebab di dalamnya terdapat dua orang perawi yang tak bisa diterima riwayatnya.

PERTAMA: ‘Abbād bin Ya‘qūb. Mengenai orang ini, Imām adz-Dzahabī berkata bahawa orang tersebut adalah salah seorang anggota kelompok ghulat (ekstrimis) dari kalangan kaum Syī‘ah dan disebutkan sebagai orang yang terkemuka di antara golongan yang membuat bid‘ah, walaupun, kata Imām adz-Dzahabī, orang ini jujur dalam meriwayatkan Ḥadīts. Kemudian Imām Ibnu Ḥibbān menilai orang ini sebagai pendakwah untuk kalangan golongan Rāfidhah (Syī‘ah). Selanjutnya Ibnu Ḥibbān mengatakan bahwa orang ini meriwayatkan Ḥadīts-Ḥadīts munkar dari orang-orang (perawi) terkemuka. Oleh karena itu, kata Ibnu Ḥibbān, riwayatnya harus ditinggalkan. (Lihat adz-Dzahabī, MĪZĀN-UL-I‘TIDĀL, Jilid II, hlm. 379, No. perawi 4149).

Keterangan di atas menunjukkan bahwa ‘Abbād bin Ya‘qūb termasuk salah seorang yang aktif dalam mengembangkan madzhab Syī‘ah Rāfidhah. Orang ini selalu mencela ‘Utsmān bin ‘Affān dan para sahabat lainnya. Perbuatannya itu menjadi alasan yang kuat untuk menolak semua riwayatnya. Selain itu ia juga seorang ahli bid‘ah yang menurut kaidah ilmu mushthalaḥ Ḥadīts, tidak bisa diterima riwayatnya.

KEDUA: perawi pada sanad Ḥadīts ini adalah Ja‘far bin Muḥammad bin ‘Abbād al-Makhzūmī. Mengomentari orang tersebut, Imām an-Nasā’ī berkata: “Dia tidak kuat riwayatnya “. Sedangkan Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa orang ini bukan ahli Ḥadīts (tidak bisa diterima riwayatnya). (Lihat Imām adz-Dzahabī, MĪZĀN-UL-I‘TIDĀL. Jilid I, hlm. 414, No perawi 1518).

Mengenai isi Ḥadīts, dari segi matannya, Ḥadīts tersebut menjelaskan bahwa penghasilan penyanyi lelaki maupun perempuan adalah ḥarām. Yang dimaksud dengan penyanyi di sini adalah biduan dan biduanita yang bernyanyi di tempat-tempat maksiat. Tempat maksiat yang dimaksud adalah tempat yang di dalamnya orang-orang tidak merasa takut menenggak minuman keras. Penjelasan seperti ini diterangkan oleh Ḥadīts yang diriwayatkan oleh Imām ath-Thabarī dari ‘Umar bahwa Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda: (Lihat: Al-Ḥāfizh ad-Dailamī, FIRDAUS-UL-AKHBAR, Jilid II, hlm. 164, No. perawi 2371).

(ثَمَنُ الْقَيْنَةِ سُخْتٌ وَ غِنَاؤُهَا حَرَامٌ وَ النَّطَرُ إِلَيْهَا حَرَامٌ وَ ثَمَنُهَا مِثْلُ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَ ثَمَنُ الْكَلْبِ سُحْتٌ وَ مَنْ نَبَتَ لَحْمُهُ مِنَ السُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلى بِهِ)

Penghasilan wanita budak (Qainah; yang bernyanyi di arena maksiat) adalah sutun (arām), dan begitu pula nyanyiannya. Juga melihatnya (wanita itu) adalah arām. Penghasilannya sama dengan hasil dari penjualan anjing. (karenanya) hartanya adalah sutun (arām) pula. Siapa saja yang daging tubuhnya tumbuh dari yang sutun itu, maka tempat yang layak baginya adalah nereka Jahannam.”

Walaupun pada Ḥadīts tersebut ada perawi yang bernama Yazīd bin ‘Abd-ul-Mālik an-Naufalī yang menurut Imām al-Haitsamī telah di-dha‘īf-kan oleh jumhur ahli Ḥadīts, namun Imām al-Haitsamī telah menukilkan pendapat Ibnu Mu‘īn yang mengatakan bahwa riwayatnya tidak ada masalah (bisa diterima). Selain itu, Imām al-Haitsamī mengutip perkataan ‘Utsmān bin Sa‘īd: “Aku pernah menanyakan kepada Yaḥyā tentang orang tersebut. Lalu Yaḥyā menyebutkan bahwa riwayat orang tersebut tidak ada masalah (bisa diterima).” Namun dalam riwayat Ḥadīts yang lain, Yaḥyā berkata bahwa orang tersebut tidak bisa diterima riwayatnya. (Lihat al-Haitsamī, MAJMA‘-UL-FAWĀ’ID, Jilid IV, hlm. 91: Imām adz-Dzahabī, MĪZĀN-UL-I‘TIDĀL, Jilid IV, hlm. 433).

Berdasarkan Ḥadīts di atas, maka yang dimaksud dengan penyanyi adalah wanita yang menyanyi di hadapan kaum lelaki dalam suatu ruangan tempat bercampur-baurnya lelaki dan perempuan, serta di dalamnya banyak orang bermabuk-mabukan. (Lihat Imām al-Ghazālī, IḤYĀ’ ‘ULŪM-ID-DĪN, Juz VI, Jilid II, hlm. 164).

Ḥadīts ini juga tidak ada kaitannya dengan hukum nyanyian, apakah boleh atau tidak. Namun Ḥadīts tersebut ada kaitannya dengan wanita yang menyanyi untuk kaum lelaki yang fasiq, baik di tempat-tempat umum maupun tempat-tempat khusus. Begitu juga penghasilan para pemain musik adalah ḥarām bila pekerjaan tersebut dijadikan sebagai profesi, sebagaimana bunyi Ḥadīts Abū Ya‘lā ad-Dailamī (Lihat Imām al-Manawī, FAIDH-UL-QADĪR, Jilid IV, hlm. 550):

(كَسْبُ الْمُغَنِّي وَ الْمُغْنِيَّةِ حَرَامٌ)

Penghasilan para penyanyi dan pemusik adalah arām.”

Oleh karena itu Ḥadīts tersebut di atas tidak dapat dijadikan sebagai dalil yang meng-ḥarām-kan nyanyian.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *