BĀB II.
Pada umumnya orang ‘Arab berbakat musik sehingga seni suara telah menjadi suatu keharusan bagi mereka semenjak zamān jāhilliyah. Di Ḥijāz kita dapati orang menggunakan musik mensural (yakni notasi yang memperhitungkan panjang nada sesuai dengan proporsi) yang mereka namakan dengan IQA (irama yang berasal dari semacam gendang, berbentuk rithm). Mereka menggunakan berbagai intrusmen (alat musik), antara lain seruling, rebana, gambus, tambur, dan lain-lain.
Setelah bangsa ‘Arab masuk Islām, bakat musiknya berkembang dengan mendapat jiwa dan semangat baru. Pada masa Rasūlullāh, ketika Ḥijāz menjadi pusat politik, perkembangan musik tidak menjadi berkurang.
Dalam buku-buku Ḥadīts terdapat nash-nash yang membolehkan seseorang menyanyi, menari, dan memainkan alat-alat musik. Tetapi kebolehan itu disebutkan pada nash-nash tersebut hanya ada pada acara pesta-pesta perkawinan, khitanan, dan ketika menyambut tamu yang baru datang atau memuji-muji orang yang mati syahīd dalam peperangan, atau pula menyambut kedatangan hari raya dan yang sejenisnya.
Dalam tulisan ini kami kutipkan beberapa riwāyat saja, antara lain riwāyat Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a. ia berkata (Lihat SHAḤĪḤ BUKHĀRĪ, Ḥadīts No. 949, 925. Lihat juga SHAḤĪḤ MUSLIM, Hadīts No. 829 dengan tambahan lafazh:((وَ لَيْسَتَا مُغَنِّيَتَيْنِ“Kedua-duanya (perempuan itu) bukanlah penyannyi”):
“Pada suatu hari Rasūlullāh masuk ke tempatku. Di sampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari) Bu‘ats (Bu‘ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-AWS yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madīnah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah).(di dalam riwāyat Muslim ditambah dengan menggunakan rebana). (Kulihat) Rasūlullāh s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada sā‘at itulah Abū Bakar masuk dan ia marah kepada saya. Katanya: “Di tempat Nabi ada seruling syaithan?” Mendengar seruan itu, Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abū Bakar seraya bersabda: “Biarkanlah keduanya, hai Abū Bakar!“. Tatkala Abū Bakar tidak memperhatikan lagi maka saya suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang (menari dengan) memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid)…..”
Dalam riwāyat lain Imām Bukhārī menambahkan lafazh (Lihat SHAḤĪḤ BUKHĀRĪ, Ḥadīts No. 509, 511):
(يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَ هذَا عِيدُنَا)
“Wahai Abū Bakar, sesungguhnya tiap bangsa punya hari raya. Sekarang ini adalah hari raya kita (umat Islām).”
Hadīts Imām Aḥmad dan Bukhārī dari ‘Ā’isyah r.a. (Lihat SHAḤĪḤ BUKHĀRĪ Ḥadīts No. 5162, TARTĪB MUSNAD IMĀM AḤMAD, Jilid XVI, hlm. 213. Lihat juga: Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR Jilid VI, hlm. 187):
(أَنَّهَا زَفَّتِ امْرَأَةً إِلى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ النَّبِيُّ (ص): يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ مِنْ لَهْوٍ فَإِنَّ الأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ)
“Bahwa dia pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshār. Maka Nabi s.a.w. bersabda: “Hai ‘Ā’’isyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshār senang dengan hiburan (nyanyian).”
Juga ada lafaz Ḥadīts riwāyat Imām Aḥamd berbunyi (Lihat Asy-Syaukānī, ibidem jilid VI, hlm. 187):
(لَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّيْهِمْ وَ يَقُوْلُ: أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّوْنَا نُحَيِّيْكُمْ فَإِنَّ الأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيْهِمْ هَزْلٌ)
“Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang) wanita untuk bernyanyi sambil berkata dengan senada: “Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshār senang menyanyikan (lagu) tentang wanita.”
‘Abd-ul-Ḥayy Al-Kaththānī (Lihat ‘Abd-ul-Ḥayy Al-Kaththāīi, AT-TARĀTIB-UL-IDĀRIYYAH, Jilid II, hlm. 121-126). mencatat nama-nama penyanyi wanita di masa Rasūlullāh. Mereka ini suka menyanyi di ruang tertutup (rumah) kalangan wanita saja pada pesta perkawinan dan sebagainya. Di antaranya bernama Hammah (Lihat juga Ibnu Al-Asqalany, AN-NISĀ’, AL-‘ASHĀBAH FĪ TAMYĪZ ASH-SHAḤĀBAH, Jilid IV, hlm. 274 dan 275) dan Arnab (Lihat Ibnu Ḥajar Al-Asqalany, ibidem, hlm. 226).
Kaum lelaki masa Rasūlullāh dan sesudahnya suka memanggil penyanyi budak (jawārī) ke rumah mereka jika ada pesta pernikahan. Buktinya ‘Āmir bin Sa‘ad (seorang dari Tābi‘īn) pernah meriwayatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat SUNAN AN-NASĀ’Ī, Jilid VI, hlm. 135):
(دَخَلْتُ عَلى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ وَ أَبِي مَسْعُودٍ الأَنْصَارِيِّ فِي عُرْسٍ وَ إِذَا جَوَارِي يُغَنِّينَ فَقُلْتُ: أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُولِ اللهِ (ص) وَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ يُفْعَلُ هذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ: اِجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا وَ إِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ)
“Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka‘ab dan Abū Mas‘ūd Al-Anshārī. Ketika itu sedang berlangsung pesta perkawinan. Tiba-tiba beberapa perempuan budak (jawārī) mulai menyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya: “Kalian berdua adalah sahabat Rasūlullāh s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan pula?” Quraizhah menjawāb: “Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silakan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan.” (H.R. An-Nasā’ī, lihat Bab Hiburan dan Nyanyian Pada Pesta Pernikahan).
Imām An-Nasā’ī meriwayatkan dalam bāb Mengumumkan Pernikahan Dengan Suara (Nyanyian) dan Rebana yang diriwayatkannya dari M. bin Hathib bahwa Nabi s.a.w. bersabda: (Lihat SUNAN AN-NASĀ’Ī, Jilid VI, hlm. 127):
(فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَ الْحَرَامِ: الدُّفُّ وَ الصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ)
“Tanda pemisah (pembeda) antara yang ḥalāl dengan yang ḥarām (dalam suatu pernikahan) adalah (mengumumkannya dengan) memainkan rebana dan menyanyi.”
Walaupun demikian perlu juga diperhatikan, kehidupan masyarakat Islām di masa Rasūlullāh s.a.w. ditandai oleh dua karakteristik, yaitu (1). sederhana; (2). banyak berbuat untuk jihād fī sabīlillāh.
Membela Islām dan meluaskannya menghendaki seluruh pemikiran dan usaha sehingga tidak ada sisa waktu lagi untuk bersenang-senang menciptakan bentuk-bentuk keindahan (seni musik, lagu) apalagi menikmatinya. Orang-orang Islam dengan lagu dan musik. Ini membuktikan bahwa masyarakat Islām di masa Rasūlullāh bukan tanah yang subur untuk kesenian. Tetapi ketika wilayah Islām meluas, kaum Muslimīn berbaur dengan berbagai bangsa yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan kesenian sehingga terbukalah mata mereka kepada kesenian suara baru dengan mengambil musik-musik Persia dan Romawi.
Pada waktu itu muncullah seorang ahli musik bernama Ibnu Misjah (wafat tahun 705 M.). Setelah itu kaum Muslimīn banyak yang mempelajari buku-buku musik yang diterjemahkan dari bahasa Yunani dan Hindia. Mereka mengarang kitāb-kitāb musik baru dengan mengadakan penambahan, penyempurnaan, dan pembaharuan, baik dari segi alat-alat instrumen maupun dengan sistem dan teknisnya. Di antara pengarang teori musik Islām yang terkenal ialah:
Selain dari penyusunan kitāb musik yang dicurahkan pada akhir masa Daulah Umayyah. Pada masa itu para khalīfah dan para pejabat lainnya memberikan perhatian yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan musik. (Lihat Prof. A.Hasjmy, Sejarah kebudayaan Islām, hlm. 320-321).
Banyak sekolah musik didirikan oleh negara Islām di berbagai kota dan daerah, baik sekolah tingkat menengah maupun sekolah tingkat tinggi. Sekolah musik yang paling sempurna dan teratur adalah yang didirikan oleh Sa‘īd ‘Abd-ul-Mu’min (wafat tahun 1294 M.).
Salah satu sebab mengapa dalam Daulah ‘Abbāsiyyah didirikan banyak sekolah musik adalah karena keahlian menyanyi dan bermusik menjadi salah satu syarat bagi pelayan (budak), pengasuh, dayang-dayang di istana dan di rumah pejabat negara atau pun di rumah para hartawan untuk mendapatkan pekerjaan. Karena itu telah menjadi suatu keharusan bagi para pemuda dan pemudi untuk mempelajari musik. (Lihat Prof. A. Hasjmy , ibidem, hlm. 322).
Di antara pelayan (jawārī) atau biduan dan biduanita yang menjadi penyanyi di istana negara tercatat nama-namanya sebagai berikut (Lihat Prof. A. Hasjmy, ibidem, hlm. 324-326):
Yang menjadi biduan antara lain:
Adapun biduanitanya anatara lain: