Hati Senang

Perumpamaan Orang yang Berdzikir kepada Allah dengan Orang yang Tidak Berdzikir (Bagian 4)

Mutiara Ahli Dzikir - Ibnu al-Jazari

Dari Buku: Mutiara Ahli Dzikir (Judul Asli: Tuḥfat-udz-Dzākirīn)
Oleh: Ibnu al-Jazari
Penerjemah: Kamran As‘ad Irsyady, Zulfikri Muhammad. Editor: M. Iqbal K.
Syarah: Imam asy-Syaukani
Tahqiq: Abu Sahal Najah ‘Iwadh Shiyam
Pustaka Azzam

1.4.4 Perumpamaan Orang yang Berdzikir kepada Allah dengan Orang yang Tidak Berdzikir Bagaikan Orang Hidup dan Orang Mati

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ اللهِ تَعَالَى حَتَّى يَقُوْلُوْنَ مَجْنُوُنٌ

15. “Perbanyaklah dzikir kepada Allah s.w.t. sampai mereka mengatai (kalian) orang gila. (H.R. Ibnu Hibban). (24).

Takhrij hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, dari hadits Abu Sa‘id al-Khudri r.a.

Hadits dengan makna yang sama diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam Musnad-nya, Abu Ya‘la al-Mushili dalam Musnad-nya, ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Kabīr, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak yang menilai bahwa sanad hadits ini shaḥīh. Setelah menisbatkan hadits ini pada Ahmad dan Abu Ya‘la, al-Haitsami mengatakan bahwa di dalam rangkaian sanadnya terdapat perawi bernama Darraj (25) yang dinilai dha‘īf oleh banyak kalangan, sementara perawi-perawi lainnya yang disebutkan dalam Musnad Ahmad dikategorikan tsiqah. Terakhir, al-Hafizh Ibnu Hajar menilai hadits ini hasan dalam kitab Amālī.

Makna hadits

Lafazh (حَتَّى يَقُوْلُوْنَ مَجْنُوُنٌ) “Sampai mereka mengatai (kalian) orang gila” Dalam riwayat lain diredaksikan:

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ اللهِ حَتَّى يُقَالُ إِنَّكَ مَجْنُوُنٌ

Perbanyaklah dzikir kepada Allah sampai kamu dikatai gila.

Yang dimaksu dengan “mereka” di sini adalah orang-orang munafik berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam az-Zuhd, adh-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah, dan al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Īmān, dari hadits Abu al-Jauza’ secara mursal dari Rasulullah s.a.w.:

أَكْثِرُوْا ذِكْرَ اللهِ حَتَّى يَقُوْلَ الْمُنَافِقُوْنَ إِنَّكُمْ مُرَاءُوْنَ

Perbanyaklah dzikir kepada Allah hingga orang-orang munafik mengatai kalian sok pamer.

Namun hal ini tidak berarti bahwa hadits ini hanya mencakup orang-orang munafik saja, akan tetapi sebaiknya kata ganti mereka di sini ditafsirkan lebih luas lagi, misalnya mencakup orang-orang yang lalai berdzikir maupun orang-orang yang tidak memiliki minat berdzikir. Dan orang-orang munafik merupakan daftar urutan pertama orang-orang tersebut.

Simpul kata, hadits ini merupakan dalil yang menjelaskan berdzikir secara lantang (boleh dilakukan), dan masalah ini telah dijelaskan pada pembicaraan mengenai hadits “Dan jika dia berdzikir kepada-Ku dalam keramaian, Aku akan menyebutnya dalam keramaian yang lebih baik darinya.”

Bisa jadi, alasan penudingan orang-orang yang suka berdzikir sebagai orang gila dikarenakan mereka selalu terlihat sibuk berdzikir dan berkomat-kamit, hingga terkadang disertai gigilan badan lantaran takut terhadap Dzat yang diagungkan, yakni Allah s.w.t. Sehingga ketika orang-orang melihatnya, mereka pun menyangkanya keracunan dan mengalami sedikit kegilaan. Seringkali terjadi, orang yang tidak mengisi waktunya dengan ketaatan dan sibuk dengan kemaksiatan menunjukkan sikap sinis terhadap pelaku ketaatan bahkan mencemooh mereka. Sebab itu telah menjadi watak yang tertanam di dalam hatinya. Karena itu, ia pun masuk dalam daftar para pecundang.

Ada sejumlah hadits yang menganjurkan agar dzikir dilakukan dengan suara lirih, namun tidak sedikit juga ada yang menganjurkan dzikir dilakukan dengan suara lantang. Jalan tengah untuk menyelesaikan kedua hal tersebut adalah bahwa masing-masing anjuran tersebut disesuaikan dengan kondisi dan pribadi di pedzikir. Dzikir yang dilakukan dengan suara lantang bisa dianggap lebih baik jika memang dijamin bebas dari riya’ dan bernilai efektif untuk mengingatkan orang-orang yang lalai berdzikir serta mendorong mereka untuk mengikuti jejaknya. Sebaliknya, dzikir yang dilakukan dengan suara lirih jauh lebih baik jika memang kondisi yang disebutkan di atas tidak terpenuhi.

لِأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَعِيْلَ وَ لَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذُكُرُوْنَ اللهَ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَةً

16. “Sungguh duduk bersama sekelompok orang yang berdzikir kepada Allah sejak shalat Shubuh hingga terbit matahari lebih aku sukai daripada membebaskan empat (budak) Bani Isma‘il. Dan sungguh duduk bersama sekelompok orang yang berdzikir kepada Allah sejak shalat ‘Ashar hingga terbenam matahari lebih aku sukai daripada membebaskan empat (budak Bani Isma‘il). (H.R. Abu Daud). (26).

Takhrij hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Anas r.a. al-‘Iraqi mengatakan bahwa sanadnya ḥasan. Dalam hal ini, as-Suyuthi juga menilai sanad hadits ini ḥasan. Sementara al-Haitsami mengatakan bahwa di dalam sanadnya (27) terdapa perawi yang bernama Muhtasib Abu Amid (28) yang dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban namun dinilai dha‘īf oleh ulama hadits lainnya, sedangkan perawi lainnya tsiqah.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam al-Ma‘rifah, al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Īmān, dan adh-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah.

Makna hadits

Lafazh (حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ) “Hingga terbit matahari” Dalam redaksi lain, ditambahkan (ثُمَّ أُصَلِّيَ رَكَعَتَيْنِ) “Kemudian shalat dua rakaat (Dhuha).”

Lafazh (أَرْبَعَةٌ) “Empat” menurut al-Baidhawi, angka empat disebut di sini karena ada empat rangkaian ibadah yang sangat diutamakan: Pertama, dzikir kepada Allah s.w.t. Kedua, Duduk untuk berdzikir. Ketiga, Berkumpul untuk berdzikir. Keempat, Keberlangsungan aktivitas dzikir hingga terbit dan tenggelam matahari. Sementara penyebutan Bani Isma‘il secara khusus didasarkan pada kemuliaan dan status mereka dibanding bani-bani lainnya, ditambah kedekatan (nasab) mereka dengan Nabi s.a.w. serta perhatian lebih beliau kepada mereka.

Lafazh (أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَةً) “Lebih aku sukai daripada membebaskan empat.” Penyebutan keempat anak (turun) Isma‘il ditiadakan karena pertimbangan penghematan kata, mengingat kata itu sudah disebutkan pada lafazh sebelumnya. Sementara dalam riwayat lain, kata (أَرْبَعَةً) diganti dengan (رَقَبَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ) “Empat budak dari Bani Isma‘il”.

Simpu kata, hadits ini mengandung bukti argumentatif atas keutamaan dzikir yang dilakukan pada waktu pagi dan petang secara berjamaah. Selain itu, Allah s.w.t. telah menetapkan bahwa siapapun yang membebaskan satu budak, maka Dia akan membebaskan setiap organ tubuhnya dari sengatan api neraka.

إِنَّ اللهَ أَمَرَ يَحْيَ بْنَ زَكَرِيَّا أَنْ يَأْمُرَ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ: مِنْهَا ذِكْرُ اللهِ، فَإِنَّ مِثْلَ ذلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ خَرَجَ الْعُدُوَّ فِيْ أَثَرِهِ سِرَاعًا حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِيْنٍ فَأَحْرَزَ نَفْسَهُ مِنْهُمْ كَذلِكَ الْعَبْدُ لَا يَحْرِزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا بِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى

17. “Sesungguhnya Allah memerintahkan (Nabi) Yahya putra Zakariya untuk memberi instruksi berupa lima kalimat pada Bani Isra’il, salah satunya adalah dzikir kepada Allah. Sesungguhnya perumpamaan dzikir sama seperti seorang laki-laki yang dikejar-kejar oleh musuh dengan cepat sampai akhirnya ia menemukan benteng yang kokoh, sehingga ia terselamatkan dari mereka. Begitu juga seorang hamba, ia tidak bisa menyelamatkan diri dari syaitan kecuali dengan dzikir kepada Allah. (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban). (29).

Takhrij hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban dari hadits al-Harits bin al-Harits al-Asy‘ari r.a. Hadits dengan makna yang sama diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam Musnad-nya, al-Bukhari dalam at-Tārīkh, an-Nasā’i (dalam as-Sunan), al-Hakim dalam al-Mustadrak. Selain itu, hadits ini dinyatakan shaḥīh oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shaḥīh-nya, juga Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shaḥīh-nya, serta al-Hakim dalam al-Mustadrak.

Radaksi hadits tersebut merupakan penggalan dari hadits yang redaksinya, dan redaksi lengkapnya sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah memerintahkan pada Nabi Yahya putra Nabi Zakariyya lima kalimat (perintah) yang harus diamalkannya dan harus dia perintahkan pada Bani Isra’il untuk diamalkan. Namun karena ia agak lamban dalam menyampaikannya, maka Allah pun mewahyukan pada Nabi ‘Isa agar menyampaikannya. Nabi ‘Isa pun bergegas datang menemui Nabi Yahya dan berkata kepadanya, anda telah diperintahkan dengan lima perintah yang harus anda jalankan. Sekarang, anda atau aku yang menyampaikannya?! Ia menjawab: “Wahai Ruh Allah, aku khawatir jika kau mendahuluiku, aku akan disiksa atau dibenamkan.” Nabi Yahya putra Nabi Zakariyya pun mengumpulkan Bani Isra’il di Baitul Maqdis hingga masjid penuh sesak dan mereka duduk di teras-teras masjid. Yahya kemudian bertahmid memuji Allah, lalu berkata: “Sesungguhnya Allah memerintahkanku dengan lima perintah yang harus aku jalankan dan harus aku perintahkan pada kalian untuk kalian amalkan. (1). Sembahlah Allah dan jangan sekutukan Dia dengan apapun. Sesungguhnya perumpamaan orang yang menyekutukan Allah sama seperti seorang laki-laki yang membeli seorang budak dari pemiliknya asli dengan emas atau uang, kemudian dia menempatkannya di sebuah rumah, lalu dia berkata kepadanya: Bekerjalah dan laporkan pekerjaanmu kepadaku. Namun budak itu malah bekerja dan melapor pada orang lain yang bukan majikannya. Siapakah di antara kalian yang ingin budaknya bertindak demikian. Allah telah menciptakan kalian dan memberi kalian rezeki, maka sembahlah Dia dan jangan sekutukan Dia dengan apapun. (2). Aku perintahkan kalian untuk menjalankan shalat, dan jika kalian sedang melaksanakan shalat, maka jangan menoleh ke mana-mana. Sesungguhnya Allah s.w.t. menghadapkan Wajah-Nya pada hamba-Nya selama ia tidak menoleh. (3). Aku perintahkan kalian untuk menjalankan puasa. Perumpamaan hal tersebut (puasa) sama seperti seorang laki-laki yang memiliki satu paket minyak misik di tengah-tengah jamaah, dan semua orang bisa mencium aroma wangi minyak misik. (4). Aku perintahkan kalian untuk bersedekah. Perumpamaan hal tersebut (sedekah) sama seperti seorang laki-laki yang ditawan oleh musuh kemudian mereka mengikat kedua tangannya ke lehernya, lalu ia berkata pada mereka: Adakah sesuatu yang bisa aku tebus untuk pembebasan diriku pada kalian? Ia pun menebus dirinya dari mereka dengan seluruh hartanya hingga (akhirnya) ia bebas. (5). Aku perintahkan kalian untuk berdzikir kepada Allah s.w.t. Sesungguhnya perumpamaan hal tersebut (dzikir) sama seperti seorang laki-laki yang dikejar-kejar oleh musuh dengan cepat sampai akhirnya ia menemukan benteng yang kokoh, sehingga ia terselamatkan dari mereka. Begitu juga seorang hamba, sesungguhnya ia terlindung dari syaitan ketika ia tengah berdzikir kepada Allah. Selanjutnya, aku perintahkan kalian dengan lima hal yang diperintahkan Allah kepadaku: Jamaah (menjaga persatuan dan kesatuan), tunduk (menyimak perintah), patuh (menjalankan perintah), hijrah, dan jihad di jalan Allah. Sesungguhnya barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah meski hanya sejengkal saja, maka ia telah melepaskan jubah Islam dari lehernya kecuali jika ia kembali (ke dalam barisan jamaah). Barang siapa yang melestarikan tradisi/seruan Jahiliyyah, maka ia termasuk tumpukan batubara neraka Jahannam, meskipun ia puasa, shalat, dan mengaku muslim. Karena itu, berdoalah dengan seruan Allah yang telah menyebut kalian orang-orang muslim dan mu’min sebagai hamba Allah.”

Makna hadits

Kata (سِرَاعًا) “dengan cepat” Dalam beberapa naskah tertulis (مُسْرِعًا) namun kata (سِرَاعًا) lebih sesuai dengan redaksi hadits yang kami tulis di atas.

Lafazh (حَتَّى إِذَا أَتَى عَلَى حِصْنٍ حَصِيْنٍ) “Sampai akhirnya ia menemukan benteng yang kokoh.” Barang kali penulis (Ibnu al-Jazari) mendapat inspirasi dari sini untuk menamai kitab yang menjadi asal-muasal kitab ini dengan judul “al-Ḥishn al-Ḥashīn.”

Simpul kata, hadits ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa dzikir bisa melindungi pengamalnya dari syaitan layaknya benteng kokoh yang bisa menjadi tempat berlindung yang aman dari musuh. Dengan bahasa lain, orang yang berdzikir aman dari godaan dan tipu daya syaitan. Hamba yang selamat dari syaitan yang terkutuk, maka ia telah terbebas dari dua ancaman yang paling berbahaya: syaitan dan nafsu.

Catatan:

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.