1.4.2 Perumpamaan Orang yang Berdzikir kepada Allah dengan Orang yang Tidak Berdzikir Bagaikan Orang Hidup dan Orang Mati
لَوْ أَنَّ رَجُلًا فِيْ حِجْرِهِ دَرَاهِمُ يَقْسِمُهَا وَ آخَرُ يَذْكُرُ اللهَ لَكَانَ الذَاكِرُ للهِ أَفْضَلَ
7. “Jikalau ada seorang laki-laki yang membagi-bagikan dirham (uang) yang ada dalam pangkuannya, sementara yang lain hanya berdzikir kepada Allah, maka orang yang berdzikir kepada Allah lebih baik.” (H.R. ath-Thabrani). (151).
Takhrij hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Kabīr, dari Abu Musa r.a. Hadits yang sama juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Ausath dan Ibnu Syaibah dalam at-Targhību fī adz-Dzikr, namun dalam sanadnya terdapat perawi Jabir bin al-Wāzi‘ yang dinyatakan oleh an-Nasa’i munkar al-hadīts. Namun nyatanya Muslim pernah meriwayatkan hadits tersebut dari perawi ini, sehingga tidak ada alasan untuk mencela (tidak men-shaḥīh-kan) hadits tersebut.
Sementara itu, dalam at-Targhību wa at-Tarhību fī adz-Dzikr, al-Mundziri menyatakan sanadnya hasan. Sedangkan al-Haitsami mengatakan bahwa perawinya tsiqah. Namun al-Manawi mengatakan, sebagian ulama hadits hanya men-shaḥīh-kan status mauquf-nya.
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (dalam Mushannaf-nya) dan ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawā’id az-Zuhd dari Abu Barzah al-Aslami r.a.
Makna hadits
Lafazh (فِيْ حِجْرِهِ دَرَاهِمُ) “Uang (dirham) yang ada dalam pangkuan” jika diartikan secara terpisah kata (الْحَجْرُ) atau (الْحِجْرُ) menurut satu pendapat berarti ujung baju. Ada juga yang berpendapat bahwa ia berarti ujung segala sesuatu. Sementara penulis al-Qāmūs mengatakan bahwa artinya adalah pangkuan manusia. Pendapat terakhir ini nampaknya lebih cocok untuk konteks hadits di atas.
Simpul kata, hadits ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa dzikir lebih baik daripada sedekah, dan masalah ini telah dibicarakan sebelumnya secara panjang lebar.
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ مَا رِيَاضِ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقَ الذِّكْرِ
8. “Jika kalian (kebetulan) lewat di kebun-kebun surga, maka nikmatilah.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa itu kebun-kebun surga?” Beliau menjawab: “Halaqah-halaqah dzikir.” (H.R. at-Tirmidzi). (162).
Takhrij hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dari hadits Anas r.a. Hadits yang sama juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dan al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Īmān.
At-Tirmidzi berkomentar bahwa hadits ini berstatus ḥasan gharīb. Sementara al-Manawi mengatakan, hadits-hadits yang lain menguatkan hadits tersebut (sehingga status hadits itu) menjadi ḥadīts shaḥīh.
Hadits senada juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Kabīr dari Ibnu ‘Abbas r.a., dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ مَا رِيَاضِ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَجَالِسُ الْعِلْمِ
“Jika kalian (kebetulan) lewat di kebun-kebun surga, maka nikmatilah.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa itu kebun-kebun surga?” Beliau menjawab: “Majelis-majelis pengajian”.” Namun dalam sanadnya terdapat satu perawi majhūl (yang tidak diketahui identitasnya). (Catatan: siapa perawi yang majhul itu????? SH.)
At-Tirmidzi juga meriwayatkannya dari Abu Hurairah r.a. dengan status yang dinyatakannya gharīb dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ مَا رِيَاضِ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَسَاجِدَ قِيْلَ: وَ مَا الرَّتْعُ؟ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ، وَ الْحَمْدُ للهِ، وَ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ، وَ اللهُ أَكْبَرُ
“Jika kalian melewati kebun-kebun surga, maka nikmatilah.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa itu kebun-kebun surga?” Beliau menjawab: “Masjid-masjid.” Ada yang bertanya lagi: “Apa yang dimaksud dengan kenikmatan (merumput)?” Beliau menjawab: “Subhānallāhi, wal-hamdulillāhi, wa lā ilāha illallāhu, wallāhu akbar.”
Hadits yang sama juga diriwayatkan oleh Ibnu Abu ad-Dunya, Abu Ya‘la, ath-Thabrani, al-Bazzar, al-Hakim dalam al-Mustadrak disertai dengan pernyataan bahwa sanad hadits itu shaḥīh, dan oleh al-Baihaqi dari hadits Jabir bin ‘Abdullah r.a., ia berkata: Rasulullah s.a.w. keluar menemui kami dan bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ للهِ سَرَايًا مِنَ الْمَلَائِكَةِ تَحُلُّ وَ تَقِفُ عَلَى مَجَالِسِ الذِّكْرِ فِي الْأَرْضِ فَارْتَعُوْا فِيْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ، قَالُوْا: وَ أَيْنَ رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَجَالِسُ الذِّكْرِ فَاغْدُوْا وَ رُوْحُوْا فِيْ ذِكْرِ اللهِ وَ ذَكِّرُوْا أَنْفُسَكُمْ مَنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَعْلَمَ مَنْزِلَتَهُ عِنْدَ اللهِ فَلْيَنْظُرْ كَيْفَ مَنْزِلَةُ اللهِ عِنْدَهُ، فَإِنَّ اللهَ يُنْزِلُ الْعَبْدَ عِنْدَهُ حَيْثُ أَنْزَلَهُ تَعَالَى فِيْ نَفْسِهِ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah memiliki brigade-brigade malaikat yang turun dan berdiri di atas majelis-majelis dzikir di bumi, maka singgahlah kalian di kebun-kebun surga.” Para sahabat bertanya: “Di mana gerangan kebun-kebun surga itu?” Beliau menjawab: “Majelis-majelis dzikir. Berdzikirlah kalian siang dan malam dan camkanlah oleh kalian: Barang siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah maka hendaklah ia melihat bagaimana kedudukan Allah di sisinya. Sesungguhnya Allah menempatkan hamba-Nya di sisi-Nya sebagaimana ia menempatkan Allah di sisinya.” Al-Mundziri berkomentar bahwa hadits ini berstatus ḥasan.
Tidak ada pertentangan antara hadits-hadits di atas. Karena kebun-kebun surga yang dimaksud bisa diungkapkan dalam bentuk halaqah dzikir, majelis pengajian, maupun masjid dan hal itu sah-sah saja.
Sedangkan redaksi hadits yang dimuat di dalam riwayat Abu Hurairah r.a. dalam bentuk pertanyaan (قِيْلَ: وَ مَا الرَّتْعُ؟) “Apa yang dimaksud dengan kenikmatan itu?” dan seterusnya menunjukkan bahwa bacaan dzikir Subhānallāhi, wal-hamdulillāhi, wa lā ilāha illallāhu, wallāhu akbar memiliki keistimewaan tersendiri dari bacaan-bacaan dzikir yang lain. Di samping itu, ia tidak bertentangan dengan makna yang ditunjukkan oleh ungkapan Nabi s.a.w.: majelis-majelis dzikir secara umum, bahkan tidak juga bertentangan dengan makna yang ditunjukkan dalam hadits lain yang redaksinya majelis-majelis pengajian.
Makna hadits
Lafazh (إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ) “Jika kalian melewati kebun-kebun surga” Kata (رِيَاضِ) adalah bentuk jamak dari (رَوْضَةٌ) yang mana menurut bahasa berarti tempat yang digunakan untuk menghimpun beragam tanaman. Dalam hadits di atas, Nabi s.a.w. menyamakan majelis-majelis dzikir dengan kebun, sementara dzikir, beliau samakan dengan menikmati kondisi kebun yang subur (layaknya ternak yang merumput di kebun yang hijau).
Lafazh (حِلَقَ الذِّكْرِ) “Halaqah-halaqah dzikir” kata حِلَقُ) adalah bentuk jamak dari (حَلَقَةٌ) seperti itulah yang tertulis dalam beberapa kamus bahasa Arab. Al-Jauhari mengungkapkan: (حِلَقُ) adalah bentuk jamak dari (حَلَقَةٌ) yang berarti kelompok orang yang duduk melingkar seperti lingkaran pintu dan lainnya.
Simpul kata, kelompok umat Islam yang mengisi waktunya dengan berdzikir kepada Allah s.w.t. melalui bacaan dzikir apapun dan mempelajari ilmu yang bermanfaat, yakni al-Qur’an dan hadits serta segala bentuk aktivitas yang berkaitan dengan kedua hal tersebut layaknya orang yang sedang bersenang-senang dan menikmati sajian di kebun-kebun surga.
مَا مِنْ آدَمِيٍّ إِلَّا لِقَلْبِهِ بَيْتَانِ: فِيْ أَحَدِهِمَا الْمَلَكُ، وَ فِي الْآخَرِ الشَّيْطَانُ، فَإِذَا ذَكَرَ اللهَ خَنَسَ، وَ إِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ وَضَعَ الشَّيْطَانُ مِنْقَارَهُ فِيْ قَلْبِهِ وَ وَسْوَسَ لَهُ
9. “Tidak ada seorang anak Adam (manusia) pun kecuali hatinya memiliki dua rumah, yang satu dihuni oleh malaikat, sementara yang lain dihuni oleh syaitan. Jika ia berdzikir kepada Allah, maka syaitan akan tertutupi (dan keluar dari huniannya), sementara jika ia tidak berdzikir kepada Allah, maka syaitan akan menancapkan moncongnya di hatinya dan menggodanya.” (H.R. Ibnu Abi Syaibah). (173)
Takhrij hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya, dari hadits ‘Abdullah bin Syaqiq dan para perawi hadits ini shaḥīh. Hadits semakna juga diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu‘allaq dari Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah s.a.w. bersabda:
الشَّيْطَانُ جَاثِمٌ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ إِذَا ذَكَرَ اللهَ خَنَسَ وَ إِذَا غَفَلَ وَسْوَسَ لَهُ
“Syaitan bersemayam di hati anak Adam. Jika ia berdzikir, maka syaitan akan tertutupi (dan keluar), sementara jika ia lalai (tidak berdzikir), maka ia akan menggodanya.”
Hadits senada juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya, Abu Ya‘la, dan al-Baihaqi dari hadits Anas r.a., dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ وَاضِعُ خُطُمِهِ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ، فَإِنْ ذَكَرَ اللهَ خَنَسَ، وَ إِنْ نَسِيَ اِلْتَقَمَ قَلْبَهُ
“Sesungguhnya syaitan meletakkan kendalinya di atas hati anak Adam (manusia). Jika ia berdzikir kepada Allah, maka syaitan akan tertutupi (dan keluar), sementara jika ia lalai, maka ia akan melahap hatinya.”
Makna hadits
Kata (خَنَسَ) berarti terlambat, tertutupi, dan keluar dari tempat yang dihuninya, yakni hati manusia.
Kata (مِنْقَارَهُ) berarti mulut (moncong, atau paruh), persis seperti paruh burung yang mematuk biji-bijian di sana sini dengan cepat dan tangkas.
مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ فِيْ جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكَعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَ عُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ (ت) اِنْقَلَبَ بِأَجْرِ حَجَّةٍ وَ عُمْرَةٍ
10. “Barang siapa shalat Shubuh (Fajar) secara berjamaah kemudian duduk berdzikir kepada Allah hingga terbit matahari, dilanjutkan dengan shalat dua rakaat, maka ia memperoleh pahala seperti pahala haji dan umrah yang sempurna, sempurna, sempurna. Maka ia pulang dengan membawa pahala haji dan umrah.” (H.R. at-Tirmidzi, dan ath-Thabrani). (184).
Takhrij hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ath-Thabrani, dan hadits Anas r.a., dengan status yang dinyatakan at-Tirmidzi ḥasan gharīb.
Redaksi hadits yang dinisbatkan penulis pada ath-Thabrani berasal dari hadits Abu Umamah r.a., ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda:
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِيْ جَمَاعَةٍ ثُمَّ جَلَسَ يَذْكُرُ اللهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ انْقَلَبَ بِأَجْرِ حَجَّةٍ وَ عُمْرَةٍ
“Barang siapa yang shalat Shubuh dengan berjamaah kemudian ia duduk berdzikir kepada Allah sampai terbit matahari, kemudian ia berdiri dan shalat dua rakaat, maka ia pulang dengan membawa pahala haji dan ‘umrah.”
Al-Mundziri menyatakan bahwa sanadnya jayyid dan Ibnu Jarir menilai hadits ini shaḥīh. Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dan al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Īmān dari ‘Ali r.a., dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِيْ جَمَاعَةٍ ثُمَّ جَلَسَ فِيْ مُصَلَّاهُ يَذْكُرُ اللهَ صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلَائِةُ، وَ صَلَاتُهُمْ عَلَيْهِ: اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللهُمَّ ارْحَمْهُ، وَ مَنْ جَلَسَ يَنْظُرُ الصَّلَاةَ صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ، وَ صَلَاتُهُمْ عَلَيْهِ: اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللهُمَّ ارْحَمْهُ
“Barang siapa yang shalat Fajar (Shubuh) dengan berjamaah, kemudian duduk di tempat shalatnya sembari berdzikir kepada Allah, maka malaikat akan bershalawat kepadanya (mendoakannya), dan shalawat (doa) mereka kepadanya adalah: Ya Allah, kasihilah dia! Barang siapa yang duduk menanti shalat, maka malaikat akan bershalawat kepadanya, dan shalawat mereka kepadanya adalah: “Ya Allah, ampunilah dia! Ya Allah, ampunilah dia!”
Makna hadits
Pengulangan kata “sempurna, sempurna, sempurna” dalam hadits tersebut mengandung makna penegasan tersendiri untuk menghilangkan sangkaan bahwa yang beliau maksudkan bukanlah haji dan umrah yang dilaksanakan secara sempurna (sesuai dengan syarat rukunnya). Tetapi pengulangan kata tersebut kembali pada haji sekaligus umrah, seolah-olah beliau mengatakan: Seperti pahala haji yang (dilaksanakan secara) sempurna, sempurna, sempurna, dan (pahala) umrah (yang dilaksanakan secara) sempurna, sempurna, sempurna. Selain itu, jumlah pahala sebesar itu dapat diperoleh dengan cara melaksanakan shalat Shubuh secara berjamaah, kemudian duduk berdzikir hingga terbit matahari, dilanjutkan dengan shalat (Dhuha) dua rakaat setelah terbit matahari.
ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ بِمَنْزِلَةِ الصَّابِرِ فِي الْفَارِّيْنَ
11. “Orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah di tengah komunitas orang-orang yang melalaikan dzikir sama seperti orang yang sabar di tengah komunitas orang-orang yang lari dari perang.” (H.R. al-Bazzar) (195).
Takhrij hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dalam Musnad-nya, dan Ibnu Mas‘ud r.a. Hadits ini diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Kabīr dan al-Mu‘jam al-Ausath, dengan status perawi hadits tsiqah (seperti yang disebutkan) dalam al-Mu‘jam al-Ausath.
Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Abu Nu‘aim dalam Hilyah al-Auliyā’ dan al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Īmān, dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda:
ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ مِثْلُ الَّذِيْ يُقَاتِلُ عَنِ الْفَارِّيْنَ، وَ ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ كَالْمِصْبَاحِ فِي الْبَيْتِ، وَ ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ كَمَثَلِ الشَّجَرَةِ الْخَضْرَاءِ فِيْ وَسَطِ الشَّجَرِ الَّذِيْ قَدْ تُحَاتَّ، وَ ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ يَعْرِفُ مَقْعَدَهُ فِي الْجَنَّةِ، وَ ذَاكِرُ اللهِ فِي الْغَافِلِيْنَ يَغْفِرُ اللهُ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ فَصِيْحٍ وَ عَجَمِيٍّ
“Orang yang berdzikir kepada Allah di tengah komunitas orang-orang yang lalai berdzikir sama seperti orang yang (tetap) berperang di tengah orang-orang yang lari meninggalkan perang. Orang-orang yang berdzikir kepada Allah di tengah komunitas orang-orang yang lalai berdzikir laksana lampu di rumah yang gelap-gulita. Orang yang berdzikir kepada Allah di tengah komunitas orang-orang yang lalai berdzikir sama seperti pohon hijau di tengah-tengah pepohonan yang layu dan kering. Orang yang berdzikir kepada Allah di tengah komunitas orang-orang yang lalai berdzikir mengetahui posisi tinggalnya di surga. Orang yang berdzikir kepada Allah di tengah komunitas orang-orang yang lalai berdzikir diampuni dosanya oleh Allah sebanyak orang yang fashih berbahasa Arab dan yang tidak bisa berbahasa Arab.”
Namun di dalam sanad hadits ini terdapat nama Imran bin Muslim al-Qashir (20) yang dinyatakan al-Bukhari sebagai perawi munkar al-hadīts. Al-Hafizh al-‘Iraqi juga menyatakan bahwa sanadnya dha‘īf, dan barangkali beliau menyatakan demikian setelah mengetahui bahwa di dalam rangkaian sanadnya ada nama perawi tersebut (‘Imran bin Muslim al-Qashir).
Makna hadits
Hadits ini mengandung pengertian bahwa orang yang berdzikir di tengah komunitas masyarakat yang tidak mengenal atau melalaikan dzikir sama seperti orang yang tetap berperang dengan orang-orang kafir setelah ditinggal lari oleh kawan-kawannya. Hal ini tentunya merupakan keutamaan dan kehormatan yang amat mulia.
Catatan:
- 15). Lihat Majma‘ az-Zawā’id (X/74), at-Targhīb wa at-Tarhīb fī adz-Dzikr (II/231), Faidh al-Qadīr Syaraḥ al-Jāmi‘ ash-Shaghīr karya al-Manawi (V/309). ↩
- 16). Sunan at-Tirmīdzī (3501), Musnad Aḥmad (3/150). Lihat juga Faidh al-Qadīr karya al-Manawi (I/442). ↩
- 17). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (XIII/369) dari Ibnu ‘Abbas sebagaimana penjelasan pensyarah (asy-Syaukani). Ia juga diriwayatkan dengan status mu‘allaq oleh al-Bukhari dalam kitab Shaḥīh-nya (VIII/471), dan oleh Abu Ya‘la dalam Musnad-nya (4302) dari Anas secara marfū‘, dengan sanad dha‘īf. Lihat Majma‘ az-Zawā’id (VII/149) dan Fatḥ al-Bārī (VIII/742). ↩
- 18). Sunan at-Tirmīdzī (586), al-Mu‘jam al-Kabīr karya ath-Thabrani (VIII/174). Lihat at-Targhīb wa at-Tarhīb fī adz-Dzikr karya al-Manawi (I/165). ↩
- 20). Pendapat ini masih sebatas asumsi pensyarah. Sebelumnya al-Manawi telah menyatakan dalam Faidh al-Qadīr (III/559), bahwa ‘Imran bin Muslim al-Qashir termasuk perawi yang shaḥīh (tidak memiliki cacat riwayat). Adz-Dzahabi juga mengatakan dalam al-Mīzān (6313) bahwa ia adalah perawi tsiqah. Sementara dalam at-Targhīb, al-Hafizh (adz-Dzahabi) menyatakan ia shadūq wa rubbamā yahummu (bisa dipercaya dan terkadang ia hanya menduga). Yang tepat adalah ‘Imran bin Muslim, dari ‘Abdullah bin Dinar dan Yahya bin Sulaim. Mengenai perawi ini, al-Bukhari memberikan komentar Munkar al-Ḥadīts. Lihat Mīzān al-I‘tidāl (6311). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu ‘Arafah dalam juz’u Aḥādīts Ibnu ‘Arafah (45) dari jalur ‘Imran bin Muslim dan al-Baihaqi dalam asy-Syu‘ab (I/334). ↩