Perumpamaan Orang yang Berdzikir kepada Allah dengan Orang yang Tidak Berdzikir (Bagian 1)

Dari Buku: Mutiara Ahli Dzikir (Judul Asli: Tuḥfat-udz-Dzākirīn)
Oleh: Ibnu al-Jazari
Penerjemah: Kamran As‘ad Irsyady, Zulfikri Muhammad. Editor: M. Iqbal K.
Syarah: Imam asy-Syaukani
Tahqiq: Abu Sahal Najah ‘Iwadh Shiyam
Pustaka Azzam

Rangkaian Pos: Mutiara Ahli Dzikir - Ibnu al-Jazari

1.4.1 Perumpamaan Orang yang Berdzikir kepada Allah dengan Orang yang Tidak Berdzikir Bagaikan Orang Hidup dan Orang Mati

مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَ الَّذِيْ لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَ الْمَيِّتِ

4. “Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Tuhannya dengan orang yang tidak berdzikir kepada Tuhannya bagaikan orang hidup dan orang mati.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim). (121).

Takhrij hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Musa r.a. Redaksi yang disebutkan penulis di atas adalah redaksi al-Bukhari yang terdapat dalam kitab ad-Da‘awāt, sementara Muslim mencantumkannya di dalam kitab ash-Shalāh dengan redaksi:

مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِيْ يَذْكُرُ اللهَ فِيْهِ وَ الْبَيْتِ الَّذِيْ لَا يَذْكُرُ اللهَ فِيْهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَ الْمَيِّتِ

“Perumpamaan rumah yang digunakan untuk berdzikir kepada Allah dengan rumah yang tidak digunakan untuk berdzikir kepada Allah bagaikan orang hidup dan orang mati.”

Makna hadits

Perumpamaan ini mengandung sanjungan dan fadhilah bagi pelaku dzikir. Di samping itu, dzikir yang dipraktekkan dalam kehidupan jasmani dan rohani menyebabkan si pelaku memperoleh pancaran cahaya dan aliran pahala yang senantiasa mengucur kepadanya. Sementara orang yang melakukan dzikir, meskipun ia memiliki kehidupan jasadi, namun kehidupannya tidak bernilai, bahkan tidak ada bedanya dengan orang-orang mati yang tidak mendapat anugerah layaknya anugerah yang diterima oleh orang-orang hidup yang disibukkan dengan laku ketaatan kepada Allah s.w.t.

Perumpamaan yang dijelaskan dalam hadits di atas juga bisa kita temui dalam firman Allah s.w.t.: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan.” (al-An‘am [6]: 122). Dalam ayat ini Allah s.w.t. mengumpamakan orang kafir dengan kematian sedangkan orang beriman dengan kehidupan.

لَا يَقْعَدُ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَ غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَ ذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

5. “Tidaklah sekelompok orang duduk sambil berdzikir kepada Allah kecuali mereka akan dikelilingi oleh malaikat, dilimpahi rahmat, dianugerahi ketentraman, dan disebut oleh Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya.” (H.R. Muslim). (132).

Takhrij hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Hurairah r.a. dan sekaligus Abu Sa‘id r.a.

Kedua hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud ath-Thayalisi, Ahmad, ‘Abdu bin Humaid, Abu Ya‘la al-Mushili, Ibnu Hibban, dan Ibnu Abi Syaibah. Sementara Ibnu Syahin meriwayatkannya dalam at-Targhību fī adz-Dzikr sembari menyatakannya sebagai hadits ḥasan shaḥīh dengan redaksi:

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ مَجْلِسًا يَذْكُرُوْنَ اللهَ فِيْهِ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَ غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَ ذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

“Tidak duduk sekelompok orang membentuk majelis untuk berdzikir kepada Allah kecuali mereka akan diselubungi oleh malaikat, dilimpahi rahmat, dianugerahi ketenteraman, dan disebut oleh Allah di hadapan orang-orang yang ada di sisi-Nya.”

Hadits dari kedua sahabat tersebut juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam bab ad-Da‘awāt dengan redaksi, (مَا قَعَدَ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ) dan seterusnya.

Dalam konteks pembahasan ini, ada beberapa hadits yang memiliki pengertian yang sama. Di antaranya hadits riwayat Ahmad dalam al-Musnad, Abu Ya‘la al-Mushili, ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Ausath, adh-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah. Kesemuanya bersumber dari hadits Anas r.a. dengan redaksi:

مَا جَلَسَ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ إِلَّا نَادَا هُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: قُوْمُوْا مَغْفُوْرًا لَكُمْ

“Tidak duduk sekelompok orang sambil berdzikir (menyebut dan mengingat nama/keagungan) Allah, kecuali ada seorang juru panggil yang memanggil-manggil mereka dari langit: “Berdirilah, kalian telah diampuni!”

Hadits lainnya diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Kabīr, al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Īmān, adh-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah dari Sahl bin Hanzhaliyyah, dengan redaksi:

مَا جَلَسَ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى: فَيَقُوْمُوْنَ حَتَّى يُقَالَ لَهُمْ: قُوْمُوْا فَقَدْ غُفِرَتْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَ بَدَّلَتْ سَيِّئَاتِكُمْ حَسَنَاتٌ

“Tidaklah sekelompok orang duduk sambil berdzikir kepada Allah s.w.t., kemudian mereka berdiri kecuali kepada mereka dikatakan: “Bangkitlah karena dosa-dosa kalian telah diampuni dan kesalahan-kesalahan kalian diubah menjadi kebaikan.”

Hadits yang sama diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dari hadits ‘Abdullah bin Mughaffal r.a. Begitu juga al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kedua kitab Shahīh mereka dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya berputar-putar di jalan-jalan sembari mencari-cari ahli dzikir. Jika mereka temukan sekelompok orang yang berdzikir Allah s.w.t. mereka pun berseru: “Ini kebutuhan kalian, sambutlah! Kemudian mereka menyelubungkan sayapnya pada ahli dzikir hingga menutupi langit….”

Hadits berikutnya diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Anas r.a. Sementara Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i meriwayatkannya dari Mu‘awiyyah r.a., bahwasanya suatu ketika Rasulullah s.a.w. keluar menemui sekerumunan sahabat yang sedang berkumpul melingkar. Beliau lantas bertanya: “Apa yang membuat kalian berada di majelis bersama-sama?” Mereka menjawab: “Kami duduk sembari berdzikir dan memuji Allah atas perkenan-Nya membimbing kami pada Islam dan atas anugerah yang telah dikaruniakan-Nya pada kami.” Beliau menukas: “Demi Allah, apakah yang mendorong kalian duduk bersama memang demikian?” Mereka menjawab: “Demi Allah, kami tidak duduk bersama kecuali untuk itu.” Beliau pun bersabda: “Sungguh aku tidak meninggalkan tuduhan pada kalian. Hanya saja, tadi Jibril datang kepadaku dan memberitahukan bahwa Allah s.w.t. telah menyanjung kalian di hadapan para malaikat.” Dan masih banyak lagi hadits senada yang berkaitan dengan masalah ini.

Makna hadits

Lafazh (حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ) “Mereka akan diselubungi oleh malaikat” maksudnya malaikat memperhatikan dan berputar-putar di atas mereka. Sementara lafazh (وَ غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ) “Dilimpahi rahmat” berarti mereka menutupi mereka seperti menyelimutkan kain pada seseorang.

Sedangkan yang dimaksud (السَّكِيْنَةُ) di sini adalah ketentraman dan ketenangan. Namun ada juga yang mengartikannya sebagai rahmat, yakni dengan meng-‘athaf-kan pada lafazh (غَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ) “Dilimpahi rahmat.”

Lafazh (وَ ذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ) “Disebut oleh Allah di hadapan orang-orang yang ada di sisi-Nya” maksudnya Allah s.w.t. menyebut mereka di hadapan para malaikat sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.

Simpul kata, hadits ini memuat anjuran untuk mengadakan perkumpulan dzikir. Keempat keistimewaan yang ditawarkan dalam hadits ini, dapat menggugah hasrat dan keinginan orang-orang yang berminat, sekaligus menguatkan tekad orang-orang saleh untuk senantiasa berdzikir kepada Tuhan semesta alam.

مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ عَمَلًا أَنْجَى لَهُ مِنْ عَذَابِ اللهِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ، قَالُوْا: وَ لَا ايْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ قَالَ: وَ لَا الْجَهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، إِلَّا أَنْ يَضْرِبَ بِسَيْفِهِ حَتَّى يَنْقَطِعَ: ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

6. “Tidak ada amalan yang dikerjakan seorang anak Adam yang lebih bisa menyelamatkannya dari siksa Allah daripada dzikir kepada Allah.” Para sahabat bertanya: “Tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab: “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali jika ia berperang dengan menggunakan pedangnya sampai pedang tersebut terputus (patah).” Beliau menyatakan ini sebanyak tiga kali. (H.R. Ibnu Abu Syaibah dan ath-Thabrani). (143).

Takhrij hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Kabīr dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya dari hadits Mu‘adz r.a. Hadits dengan sumber yang sama diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dan ath-Thabrani pula dalam al-Mu‘jam al-Ausath.

Sementara itu, setelah menisbatkannya pada ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam ash-Shaghīr dan al-Mu‘jam al-Ausath, al-Mundziri berkomentar: Para perawi keduanya shaḥīh.” Al-Mundziri sendiri meriwayatkan hadits ini dari Jabir dengan redaksi yang sama.

Dengan demikian, nampak jelas bahwa redaksi ini adalah gabungan dua (redaksi) hadits, bukan satu hadits. Terkait dengan hadits Mu‘adz, al-Haitsami mengatakan bahwa para perawinya shaḥīh. Begitu juga para perawi dalam riwayat ath-Thabrani dari Jabir.

Simpul kata, hadits ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa dzikir merupakan amalan yang paling afdhal, dan masalah ini telah kami bahas sebelumnya.

Catatan:


  1. 12). Shaḥīh al-Bukhārī (6407) dan Shaḥīh Muslim (779). 
  2. 13). Shaḥīh Muslim (2700). 
  3. 14). Al-Mu‘jam al-Kabīr karya ath-Thabrani (XX/168), Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (X/300). Lihat juga at-Targhīb wa at-Tarhīb fī adz-Dzikr karya al-Mundziri (II/229), dan Majma‘ az-Zawā’id karya al-Haitsami (X/74). 

Sanggahan (Disclaimer): Artikel ini telah kami muat dengan izin dari penerbit. Terima kasih.

1 Komentar

  1. Tri K berkata:

    Alhamdulilah,bertambah dikit ilmu saya dgn artikel ini,Semoga semakin kuatkan iman.di akhir zAman,Zikir MenjAdi mAkanAn utAma umAt Muslim.tak ada lagi makanan fisik.jadi mesti dilatih .

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *