2.
Allah berfirman: “Katakanlah (Muḥammad kepada orang-orang musyrik): “Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, kalau bukan karena ibadahmu (law lā du‘ā’ukum).” (al-Furqān [25]: 77). Maksudnya, Allah tidak akan menciptakanmu kalau bukan agar kamu mengesakan-Nya dan beribadah kepada-Nya. diriwayatkan bahwa Anas mengatakan, maksud ayat ini adalah Allah telah menciptakanmu agar engkau beribadah dan taat kepada-Nya. Padanannya adalah firman Allah: “Dan Aku tidak menciptakan jinn dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzāriyāt [51]: 56).
Diriwayatkan Ibnu ‘Abbās berkata: “Allah mengabarkan tentang orang-orang kafir, Dia sama sekali tidak membutuhkan mereka karena Dia telah menciptakan mereka tidak dalam keadaan mu’min. Seandainya membutuhkan mereka, tentu Dia akan menanamkan keimanan pada diri mereka sebagaimana menanamkannya pada diri orang-orang mu’min.”
Menurut pendapat lain, penjelasan dari ungkapan “law lā du‘ā’ukum” adalah firman Allah: “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan doa orang yang dalam kesulitan jika dirinya berdoa kepada-Nya.” (an-Naml [27]: 62), dan juga firman-Nya: “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan penuh rasa pengabdian (ikhlash) kepada-Nya.” (al-‘Ankabūt [29]: 65).
Menurut yang lain, maksud dari “law lā du‘ā’ukum” adalah “kalau bukan karena ibadahmu kepada tuhan-tuhan dan sekutu-sekutu selain kepada-Nya.” Penjelasnya adalah ayat: “Allah tidak akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman.” (an-Nisā’ [4]: 147).
Dalam pendapat lain, maksudnya adalah “Aku tidak menciptakanmu karena Aku membutuhkanmu. Aku menciptakanmu hanya agar kamu memohon kepada-Ku, lalu Aku akan mengampuni dosa-dosamu dan memberimu.”
Ada lagi yang mengatakan, maksudnya: “Allah tidak menciptakanmu selain untuk menyerumu agar beriman dan taat kepada-Nya.”
***
Allah berfirman: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-A‘rāf [7]: 55). Menurut sebagian penafsir (seperti al-Qurthubī), maksud dari “orang yang melampaui batas” dalam ayat ini adalah orang yang tidak mau berdoa. Sehingga, keengganan untuk berdoa kepada-Nya dan meminta keselamatan atau kebaikan dunia dan akhirat, merupakan sikap menentang.
Seorang penyair berkata:
Allah akan marah bila kau tak meminta kepada-Nya.
Sementara anak Adam akan marah bila diminta.
Sungguh jauh beda antara orang yang marah ketika kau mintai dan orang yang marah ketika tak kau mintai. Seorang penyair berkata:
Seandainya kau tak ingin wujudkan apa yang kuminta dan harapkan
Dari kedermawananmu, tentulah aku takkan biasakan diri tuk meminta.
Syair lain menyebutkan:
Dan aku menyembunyikan kebutuhanku dari semua insan.
Tetapi kepada Allah kebutuhan itu ditampakkan dan diperlihatkan.
Bagi orang yang tidak menolak para peminta dengan kesia-siaan.
Dan mengabulkan peminta, memberi dan memperbanyak pemberian.
Orang-orang terdahulu (salaf) mengatakan, setiap orang menginginkan sesuatu dari orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri. Temanmu ingin meni‘mati obrolan denganmu atau ingin mengambil manfaat darimu. Ayahmu ingin merasakan ketenangan dengan berada di dekatmu atau ingin membuang keresahan yang sedang engkau rasakan. Gurumu ingin mendapat manfaat di akhirat dari pahala ilmu yang telah diajarkannya kepadamu, atau ingin mendapatkan kesenangan dengan mengeluarkanmu dari gelapnya kebodohan ke terangnya pengetahuan.
Begitulah setiap makhluk menginginkan makhluk yang lain demi sesuatu yang ia harapkan. Beda halnya dengan Allah. Allah menginginkan engkau agar Dia bisa mengampunimu. Allah berfirman: “Dia menyerumu (untuk beriman) agar Dia mengampunimu.” (Ibrāhīm [14]: 10).
Allah juga berfirman: “Tetapi mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati ketika siksaan Kami datang menimpa mereka? Bahkan, hati mereka telah menjadi keras, dan syaithan pun menjadikan indah apa yang selalu mereka kerjakan.” (al-An‘ām [6]: 43). Ini sebuah pengharapan kepada makhluk agar berdoa.
Diriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Doa adalah inti ibadah.” (at-Tirmidzī, hadits gharīb). Riwayat ini menunjukkan bahwa kedudukan orang yang berdoa (dā‘ī) setingkat di atas kedudukan orang yang beribadah (‘ābid). Alasannya, berdoa meniscayakan adanya kerendahan diri dan rasa membutuhkan. Ini seperti dikatakan: “Kedudukan orang yang rendah diri di hadapan raja adalah mulia.”
Ibadah pada dasarnya adalah merendahkan diri (tadzallul). Karenanya, setiap pendoa pastilah seorang ‘ābid, tetapi belum tentu setiap ‘ābid adalah seorang pendoa.
Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd (juga oleh at-Tirmidzī, Ibnu Mājah, dan Aḥmad) bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Doa adalah ibadah. Tuhan kalian telah berfirman: Berdoalah keapda-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (Ghāfir [40]: 60).
Diriwayatkan (dari Abū Hurairah) bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Tuhan turun ke langit dunia di sepertiga terakhir setiap malam, lalu berfirman: “Siapa memanggil-Ku (berdoa) niscaya Aku tanggapi, siapa memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni, dan siapa meminta kepada-Ku niscaya Aku beri”.” (al-Bukhārī, Muslim, at-Tirmidzī, Abū Dāwūd, dan Aḥmad).
Itulah sebuah motivasi agar kita berdoa, suatu pengharapan agar hati makhluk senang berdoa, dan pemberitahuan tentang rahasia-rahasia doa.
Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin ‘Abd-il-‘Azīz pergi ke lapangan tempat shalat saat hari ‘Īd-ul-Fithri. Seusai shalat, ia berkata: “Ya Allah, rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau telah berfirman: “Sungguh, rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (al-A‘rāf [7]: 56). Kalaulah aku tak termasuk orang yang berbuat kebaikan, aku adalah orang yang beriman, dan Engkau telah berfirman: “Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (al-Aḥzāb [33]: 43). Oleh karena itu, rahmatilah aku. Kalaupun aku tak termasuk orang yang beriman, aku adalah sesuatu, dan Engkau telah berfirman: “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A‘rāf [7]: 156). Dan kalaupun aku juga tak berhak memperoleh sedikit pun dari rahmat-Mu kepada segala sesuatu itu, maka aku pun termasuk yang tertimpa musibah karena tak memperoleh rahmat-Mu, dan sungguh aku kehausan di siangku dan tak bisa tidur di malamku, sementara Engkau telah berfirman: “(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn.” (Sesungguhnya kami milik Allah, dan hanya kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat.” (al-Baqarah [2]: 156-157).
Mutharrif ibn ‘Abdillāh (w. 86 H.), salah seorang tābi‘īn terkemuka, mengemukakan sebuah perumpamaan yang bagus: “Aku memikirkan dari mana masalah ini berasal? Bila masalah ini dari Allah, aku pun memikirkan siapa yang bisa mengatasinya? Bila yang bisa mengatasinya adalah Allah, aku pun memikirkan apa yang bisa menyelesaikannya? Bila yang bisa menyelesaikannya adalah doa, aku berpikir tentang manusia. Jika manusia berada di antara Tuhan dan syaithan, kalau Dia menginginkan baginya kebaikan, Dia akan memanggilnya untuk melepaskannya dari kesempitan dengan perlindungan-Nya, namun bila tidak, Dia akan membiarkannya berada di antara syaithan.”
Ziyād ibn Abī Ziyād (seorang faqih Damaskus) berkata: “Aku lebih takut menjadi orang yang dilarang berdoa daripada orang yang doanya tidak dikabulkan.”
Ada yang mengatakan: “Perkenan untuk berdoa lebih baik ketimbang pemberian.”
Al-Kattānī (sufi Makkah, w. 322 H.) berkata: “Allah tak akan membuka lisan orang-orang mu’min untuk memohon maaf kecuali dengan membuka pintu ampunan.
Qatādah (seorang sahabat, w. 23 H.) berkata: “Ketika Yūnus berdoa dalam kegelapan (dalam perut ikan): “Tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang yang zhalim.” (al-Anbiyā’ [21]: 87), maka malaikat berkata: “Ini suara yang dikenal di langit, dan aku mengenalnya di bumi.” Hal ini sama dengan pengertian firman Allah: “Maka sekiranya dia bukan termasuk orang yang banyak bertasbih (berdzikir) kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai Hari Berbangkit.” (ash-Shāffāt [37]: 143-144).
Sementara, ketika Fir‘aun berdoa saat hampir tenggelam: “Tidak ada tuhan (yang sebenarnya) selain Engkau,” malaikat pun berkata: “Ini suara yang diingkari di kalangan penduduk langit.” (Lihat Yūnus [10]: 90).
Salmān al-Fārisī berkata: “Apabila seorang hamba tetap berdoa ketika berada dalam keadaan senang, lalu dirinya ditimpa kesusahan, dan kemudian berdoa, maka para malaikat akan berkata: “Ya Tuhan kami, suara ini tak asing bagi kami. Kami mengenalnya.” Mereka pun memintakan ampun untuk sang hamba. Tetapi, apabila seorang hamba tidak mau berdoa ketika berada dalam keadaan senang, lalu dirinya ditimpa kesusahan, dan kemudian berdoa, maka para malaikat akan berkata: “Suara ini asing bagi kami. Kami tidak pernah mengenalnya.” Mereka pun tidak memintakan ampun untuknya.”
Sufyān ibn ‘Uyainah (97-196 H.) berkata: “Tuhan tak akan menghalangi siapa pun dari kalian untuk berdoa bagi dirinya. Sungguhnya, Allah telah mengabulkan doa makhluk yang paling buruk sekali pun, yaitu Iblīs, saat berkata: “Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka berilah penangguhan kepadaku sampai pada hari manusia dibangkitkan.” Allah berfirman: “(Baiklah) sesungguhnya kamu termasuk yang diberi penangguhan, sampai hari yang telah ditentukan (kiamat).” (al-Ḥijr [15]: 36-38). Iblīs terlaknat meminta kepada Allah agar diberi penangguhan sampai waktu yang sudah ditentukan (kiamat) agar dirinya terbebas dari kematian. Iblīs pun diberi waktu penangguhan sampai kiamat tiba.