BAB 1
KEUTAMAAN DZIKIR, DOA, DAN SHALAWAT KEPADA NABI s.a.w. BESERTA TATAKRAMANYA.
1:1. Keutamaan Dzikir
قَالَ (ص): قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنَّ عَبْدِيْ بِيْ وَ أَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ وَ إِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُ
Rasulullah s.a.w. bersabda, Allah s.w.t. berfirman: “Aku menuruti sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku senantiasa bersamanya jika ia berdzikir kepada-Ku. Jika dia berdzikir kepada-Ku di dalam hatinya (kesendiriannya), Aku akan menyebutnya dalam hati-Ku (kesendirian-Ku). Dan jika dia berdzikir kepada-Ku dalam keramaian, Aku akan menyebut-Nya dalam keramaian yang lebih baik darinya.” (H.R. al-Bukhari dan Muslim) (51).
Takhrij hadis
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Hadits ini sebenarnya merupakan penggalan dari riwayat Abu Hurairah r.a. Redaksi selanjutnya adalah sebagai berikut:
فَإِنِ اقْتَرَبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَ إِنِ اقْتَرَبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا اقْتَرَبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَ إِنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرُوْلَةً
“Jika dia mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta. Jika dia mendekati-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatinya satu depa. Jika dia mendatangi-Ku sambil berjalan, maka Aku akan mendatanginya sambil berjalan cepat.”
Riwayat Abu Hurairah r.a. ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Sedangkan Ahmad meriwayatkannya dalam kitab al-Musnad dari riwayat Anas r.a.
Sementara itu, Ibnu Syahin meriwayatkannya dalam at-Targhīb fī adz-Dzikr dari Ibnu ‘Abbas r.a. dengan redaksi:
“(Hai) anak Adam, jika kau berdzikir kepada-Ku dalam kesendirianmu, maka Aku akan menyebutmu dalam kesendirian-Ku. Jika kau berdzikir dalam keramaian (berjamaah), maka Aku akan menyebutmu dalam keramaian yang lebih utama dan lebih mulia darinya. Jika kau mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatimu satu hasta. Jika kau mendekati-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatimu satu depa. Dan jika kau berjalan menuju-Ku, maka Aku akan berjalan cepat menujumu.”
Dalam urutan perawi riwayat ini terdapat perawi bernama Ma‘mar bin Za’idah yang dinyatakan oleh al-‘Uqaili sebagai perawi yang tidak bisa diikuti periwayatan haditsnya.
Bersama-sama dengan Ahmad, Abu Daud ath-Thayalisi meriwayatkan hadits ini dari hadits Anas dengan redaksi:
إِذَا تَقَرَّبَ مِنِّيْ عَبْدِيْ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ ذِرَاعًا، وَ إِذَا تَقَرَّبَ مِنِّيْ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وَ إِذَا أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرُوْلَةً
“Jika hamba-Ku mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta. Jika dia mendekati-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatinya satu depa. Jika dia mendatangi-Ku sambil berjalan, maka Aku akan mendatanginya sambil berjalan cepat.”
Selain itu, mereka juga meriwayatkannya dari Qatadah.
Dengan jalur periwayatan yang sama. Al-Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dari Qatadah dari Anas, juga dari at-Taimi dari Anas r.a.
Sedangkan Muslim meriwayatkan hadits ini dari Abu Dzarr r.a. dengan redaksi:
وَ مَنْ تَقَرَّبَ مِنِّيْ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ ذِرَاعًا، وَ مَنْ تَقَرَّبَ مِنِّيْ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وَ مَنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرُوْلَةً
“Barang siapa yang mendekati-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekatinya satu hasta. Barang siapa yang mendekati-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekatinya satu depa. Barang siapa mendatangi-Ku sambil berjalan, maka Aku akan mendatanginya sambil berjalan cepat.”
Versi lain diriwayatkan oleh al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah r.a., ia berkata Rasulullah s.a.w. bersabda:
أَنَا مَعَ عَبْدِيْ إِذَا ذَكَرَنِيْ وَ تَحَرَّكَتْ بِيْ شَفَتَاهُ
“Sesungguhnya Allah berfirman: Aku bersama hamba-Ku ketika dia berdzikir kepada-Ku dan ketika kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku.”
Makna hadits
Lafazh (أَنَا عِنْدَ ظَنَّ عَبْدِيْ بِيْ) “Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku” mengandung anjuran dari Allah s.w.t. kepada hamba-hambaNya untuk memperbaiki prasangka mereka terhadap Allah s.w.t., sebab Dia akan memperlakukan mereka sesuai dengan cara pandang mereka terhadap-Nya. Barang siapa yang berprasangka baik terhadap Allah s.w.t., maka Dia akan mengalirinya dengan untaian kebaikan, menganugerahinya dengan karunia kemurahan-Nya, menebarinya dengan karamah dan anugerah-Nya. Barang siapa yang tidak berprasangka demikian terhadap Allah s.w.t., maka Allah pun tidak akan bersikap demikian terhadapnya. Inilah makna keberadaan Allah s.w.t. sesuai dengan sangkaan hamba-Nya.
Oleh karena itu, sebaiknya seorang hamba senantiasa berprasangka baik terhadap Tuhannya dalam segala kondisi yang dialaminya. Untuk merealisasikan hal ini, bisa dengan menelaah dalil-dalil yang menunjukkan kemahaluasaan rahmat (kasih sayang) Allah s.w.t., antara lain:
a. Hadits Abu Hurairah r.a. dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, ia mengatakan: Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Setelah menetapkan urusan seluruh makhluk, Allah menetapkan keputusan yang disimpan-Nya di atas ‘Arsy-Nya: Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku.”
b. Hadits Abu Hurairah r.a. juga yang diriwayatkan dalam Kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, ia mengatakan: Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat yang diturunkan-Nya satu saja di antara jin, manusia, hewan dan serangga. Dan dengan satu rahmat tersebut mereka menjadi saling mengasihi dan menyayangi antar mereka, bahkan rahmat tersebut membuat seekor binatang buas mengasihi anaknya. Sedangkan sembilan puluh sembilan rahmat (sisanya) ditunda (penurunannya) oleh Allah untuk diberikan bagi hamba-hambaNya pada Hari Kiamat.”
c. Hadits ‘Umar bin al-Khaththab dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, ia berkata: “Serombongan tawanan dihadapkan pada Rasulullah s.a.w., lalu tiba-tiba salah seorang wanita (yang dalam keadaan siap menyusui) di antara tawanan tersebut mencari-cari (bayinya). Ternyata di dalam rombongan tawanan tersebut ada seorang bayi. Wanita itu pun lantas meraih bayi tersebut dan menempelkannya di dadanya, lalu menyusuinya. (Melihat adegan tersebut) Rasulullah s.a.w. berkata kepada kami: “Menurut kalian, apakah (wanita) ini (tega) melemparkan anaknya ke dalam api?” Kami menjawab: “Tidak. Dia tidak mungkin tega melemparkannya (ke dalam api).” Beliau menukas: “Allah lebih menyayangi hamba-hambaNya dibanding (kasih sayang wanita ini) pada anaknya.”
d. Hal senada diriwayatkan oleh Abu Daud dari seorang sahabat. Ia bercerita: Ketika kami tengah berada di tempat Nabi s.a.w., sekonyong-konyong muncul seorang laki-laki berjubah sambil tangannya menggenggam sesuatu yang dibundelkan di bajunya. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, tadi aku lewat di semak belukar dari balik semak (aku dengar) suara anak burung. Segera saja aku melihatnya, lalu meletakkannya di jubahku. Tiba-tiba induk mereka muncul dan terbang berputar-putar mengitari kepala ku. Maka, aku pun menunjukkan anak-anak burung tersebut di hadapannya, lalu aku menangkap mereka semua dan aku membungkusnya dengan jubahku, sehingga mereka semua sekarang bersamaku. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Letakkan (lepaskan) mereka.” Aku pun segera meletakkan (melepaskan) mereka, namun induk anak burung tersebut enggan terbang dan tetap ingin bersama anak-anaknya. Rasulullah s.a.w. pun bersabda:
“Apakah kalian heran dengan kasih-sayang induk burung tersebut dengan anak-anaknya? Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, sungguh Allah lebih pengasih terhadap hamba-hambaNya daripada (kasih-sayang) induk burung terhadap anak-anaknya. Kembalikan burung-burung itu dan letakkan di tempat semula saat kamu mengambil mereka bersama ibu mereka.”
Hadits-hadits shahih yang redaksinya menyebutkan orang yang berdzikir dengan lafazh (لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) (Tiada tuhan yang patut disembah melainkan Allah) masih banyak dan hanya bisa dipaparkan dalam tulisan. Namun semuanya sudah cukup terwakili oleh informasi yang diberitakan oleh Allah s.w.t. dalam kitab-Nya bahwa “rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A‘raf [7]: 156) dan bahwasanya: “Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih-sayang.” (al-An‘am [6]: 12). Ini adalah janji Allah s.w.t. dan Dia tidak pernah mengingkari janji-Nya terhadap makhluk-Nya, apalagi terhadap hamba-hamba yang tekun beribadah. Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
Doa ‘Umar bin ‘Abdul-‘Aziz
Doa yang dilantunkan Khalifah yang adil, ‘Umar bin ‘Abdul-‘Aziz terdengar begitu indah. Dalam doanya ia berucap:
يَا مَنْ وَسِعَتْ رَحْمَتُهُ كُلَّ شَيْءٍ، أَنَا شَيْءٌ فَلْتَسَعُنِيْ رَحْمَتَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Wahai Dzat yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, hamba adalah sesuatu, maka berikanlah rahmat-Mu pada hamba, wahai Yang Maha Pengasuh di antara yang pengasih.”
Dalam bahasa yang berbeda, pensyarah berdoa:
يَا مَنْ كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ لِعِبَادِهِ، إِنِّيْ مِنْ عِبَادِكَ فَارْحَمْنِيْ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Wahai Dzat yang telah menetapkan atas diri-Nya kasih-sayang terhadap hamba-hambaNya, sesungguhnya hamba termasuk hamba-hambaMu, maka kasihilah hamba, wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara yang pengasih.”
Lafazh (وَ أَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ) “dan Aku senantiasa bersaman-Nya jika ia berdzikir kepada-Ku,” membuat pernyataan bahwa Allah s.w.t. senantiasa bersama hamba-hambaNya saat mereka berdzikir kepada-Nya. Wujud kebersamaan ini adalah Allah s.w.t. memandang si hamba (memperhatikannya) dengan (sinaran) rahmat-Nya, memberikannya taufiq dan bimbingan-Nya
Jika ada yang mengatakan, (tanpa berdzikir pun) Allah telah bersama para hamba sebagaimana firman Allah s.w.t. “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (al-Hadid [57]: 4) Serta firman: “Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan dia berada bersama mereka di manapun mereka berada.” (al-Mujadilah [58]: 7), maka pernyataan ini bisa pensyarah jawab bahwa kebersamaan yang dimaksud adalah kebersamaan yang bersifat umum (ma‘iyyah ‘āmmah), dan kebersamaan demikian tetap menimbulkan konsekuensi tambahan perhatian dan limpahan anugerah serta karunia-Nya. (Sementara yang dimaksud kebersamaan dalam hadits adalah kebersamaan yang bersifat khusus atau disebut dengan istilah ma‘iyyah khāshshah). Model kebersamaan khusus ini bisa dijumpai dalam al-Qur’an, misalnya pernyataan Allah s.w.t. bahwa Dia bersama orang-orang yang sabar, Dia bersama orang-orang yang bertakwa, dan pernyataan-pernyataan lainnya dalam al-Qur’an maupun sunnah yang menunjukkan kebersamaan khusus ini. Sehingga tidak ada kontradiksi antara penetapan kebersamaan khusus dan penetapan kebersamaan umum. Dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa penyebutan khusus setelah umum menunjukkan bahwa kebersamaan khusus mengandung kelebihan dibanding kebersamaan umum yang menjadi konsekuensi dzikir yang dilakukan seseorang secara khusus setelah bersama-sama masuk dalam lingkup umum.
Lafazh (فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ) “Jika dia berdzikir kepada-Ku dalam hatinya (kesendiriannya), Aku akan menyebutnya dalam hati-Ku (kesendirian-Ku)” memiliki dua pengertian: Pertama, jika seorang hamba berdzikir menyebut-Nya dalam hati, tanpa diucapkan dengan lisan (atau disebut dengan istilah dzikir dalam hati/dzikr qalbi), maka Dia akan memberinya pahala yang tidak diketahui oleh hamba-hambaNya yang lain dan Dia akan memberinya anugerah yang tidak diperlihatkan kepada selain hamba yang berdzikir. Kedua, yang dimaksud dzikir di sini adalah dzikir verbal (dengan lisan) secara lirih (atau dengan sembunyi-sembunyi), tanpa dikeraskan suaranya (dan terang-terangan). Jika seorang hamba berdzikir dengan cara demikian (dzikr isrāri), maka Allah s.w.t. akan memberinya pahala tersembunyi yang tidak bisa diketahui oleh siapapun. Dan hal ini lebih terindikasikan dalam pengertian kedua ini.
Lafazh (وَ إِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُ) “Dan jika dia berdzikir kepada-Ku dalam keramaian, Aku akan menyebutnya dalam keramaian yang lebih baik darinya” menunjukkan bahwa dzikir bisa dilakukan secara lantang dan terang-terangan di tengah orang banyak sebagai lawan kata dari dzikir dengan lisan secara lirih, bukan lawan kata dzikr qalbi (dzikir dalam hati). Sebab dzikir dalam hati bukanlah sekedar kebalikan dari dzikir lantang (dzikr jahri), melainkan kebalikan dari dzikir lisan secara umum, baik yang dengan suara lirih maupun dengan suara lantang.
Selanjutnya, lafazh (ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُ) “Aku akan menyebut-Nya dalam keramaian yang lebih baik darinya.” Berarti Allah s.w.t. akan memperlihatkan pahala dzikir tersebut di hadapan para malaikat, atau menyebutnya di hadapan mereka sehingga semakin menaikkan status kehormatan dan posisi pelaku dzikir. Dalam hal ini, tidak ada salahnya kedua kondisi tersebut digabungkan.
Perlu dicatat bahwa firman Allah s.w.t.: “Aku akan menyebutnya dalam hati-Ku” mengandung unsur homonimi (musyākalah) (62) sebagaimana kasus serupa dalam firman Allah s.w.t.: “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan Aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.” (al-Ma’idah [5]: 116) Masalah ini telah dikaji mendalam oleh kalangan ahli bahasa (linguistik). Namun, hal ini disebut penyerupaan (musyākalah) jika kata “nafs” dimaknai secara mutlak pada konteks Allah s.w.t., sedangkan jika ia dimaknai sebagai Dzat, maka ia tidak disebut penyerupaan (musyākalah).
Di samping banyak dalil hadits yang menjelaskan keutamaan dzikir, anjuran untuk berdzikir, dan kebesarang pahalanya, hal serupa juga diriwayatkan dalam al-Qur’an, antara lain dalam firman Allah s.w.t.:
Catatan: