BAB VIII.
Barangkali ada yang bertanya, apa mungkin mengambil salah satu pendapat di antara berbagai pendapat pro dan kontra, lalu menguatkannya agar nash-nash syara‘ tidak kelihatan kontroversial?
Pertanyaan tersebut memang perlu dijawab untuk menentukan sikap dan pendirian. Ḥadīts yang paling shaḥīḥ yang meng-ḥarām-kan nyanyian adalah Ḥadīts Imām Bukhārī dari ‘Abd-ur-Raḥmān bin Ghunam yang mendengar dari Abū Mālik al-Asy‘arī bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
(لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي قَوْمٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيرِ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ)
“Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang meng-ḥalāl-kan perzinaan, (memakai) kain sutra, arak, dan alat-alat musik…” (HR. IMĀM BUKHĀRĪ, No. Ḥadīts 5590).
Juga Ḥadīts Imām Aḥmad, Ibnu Abī Syaibah, al-Bukhārī dalam kitab AT-TĀRĪKH-UL-KABĪR dari Mālik bin Abī Maryam yang meriwayatkan dari ‘Abd-ur-Raḥmān bin Ghunam dari Abū Mālik al-Asy‘arī dari Rasūlullāh s.a.w. (Lihat: Ibnu Ḥajar al-Asqalānī, FATḤ-UL-BĀRĪ, Jilid X, hlm. 55):
(لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمُ الْقِيَانُ وَ تَرُوحُ عَلَيْهِمُ الْمَعَازِفُ)
“Sekelompok umatku akan minum khamr (minuman keras) dan menyebutkannya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para penyanyi wanita akan mendatangi mereka, lalu para pemain musik akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka.”
TIDAK ADA DUA BENTUK ḤADĪTS KONTROVERSIAL.
Memperhatikan nash-nash di atas maupun nash lainnya yang meng-ḥarām-kan nyanyian menyebabkan seseorang tiba kepada sebuah kesimpulan bahwa ada kontroversial antara nash-nash yang membolehkan dengan nash-nash yang meng-ḥarām-kan nyanyian. Karena itulah kita perlu kembali kepada suatu kaidah ushūl fiqih yang sudah masyhur di kalangan ‘ulamā’, seperti apa yang dikatakan oleh Imām Syāfi‘ī dalam kasus seperti ini. (Lihat: Imām asy-Syaukānī, IRSYĀD-UL-FUḤŪL ILĀ TAḤQĪQ-IL-ḤAQQ MIN-‘ILM-IL-USHŪL, hlm. 375; Imām Syāfi‘ī, AR-RISĀLAH, hlm. 352, No. Ḥadīts 925).
Imām Syāfi‘ī berpendapat, tidak dapat dibenarkan ada dua Ḥadīts shaḥīḥ saling kontroversial yang salah satunya tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Ḥadīts lainnya, bukan karena adanya kekhususan-keumuman lafazhnya, karena ada sesuatu yang tidak jelas maksudnya (mujmal), atau adanya penjelasan (dalam nash lain). Tetapi sifat kontroversial itu hanya boleh terjadi dalam hal penasakhan (penghapusan hukum lama dengan yang baru), walaupun seorang mujtahid tidak menemukan nasakh tersebut.”
Imām al-Khaththābī juga mengemukakan hal serupa, (Imām al-Khaththābī, MA‘ĀLIM-US-SUNANI, Jilid III, hlm.80). Katanya: “Apabila ada dua Ḥadīts dari segi zhāhir lafazhnya berbeda, dapat diperkuat oleh salah satu di antara keduanya setelah ditentukan nilainya masing-masing Ḥadīts tersebut. Setelah itu, maka tidak boleh ditolak sama sekali atau dianggap antara keduanya saling bertentangan. Tetapi keduanya dipakai dan ditempatkan pada posisinya masing-masing. Begitulah sikap para ‘ulamā’ terhadap banyak Ḥadīts.”
Berdasarkan keterangan di atas maka sikap yang lebih tepat adalah mengambil kedua Ḥadīts tersebut yang kelihatannya saling bertentangan daripada menolak salah satu di antaranya. Bahkan sesungguhnya antara kedua Ḥadīts tersebut dapat dikatakan tidak berlawanan satu dengan lainnya sebab setiap Ḥadīts telah disampaikan pada suatu peristiwa atau di tempat-tempat yang saling berbeda, walaupun obyek pembahasannya sama.
Ḥadīts yang melarang nyanyian berkaitan dengan nyanyian secara umum. Sedangkan Ḥadīts-Ḥadīts yang membolehkannya bersifat khusus, yakni terbatas pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu. Misalnya, hari raya, pesta pernikahan, pulang kampungnya seseorang ke negeri kelahirannya, dan sebagainya. Kekhususan tersebut ditunjukkan oleh sabda Rasūlullāh s.a.w. dalam Ḥadīts-Ḥadīts yang membolehkan nyanyian, antara lain sikap beliau terhadap Abū Bakar yang ketika itu menegur dua wanita yang sedang bernyanyi di rumah Rasūlullāh s.a.w. Nabi s.a.w. berkata kepada Abū Bakar:
“Biarkanlah mereka (melanjutkan nyanyiannya), wahai Abū Bakar, sebab hari ini adalah hari raya.” (HR. MUSLIM, Ḥadīts no. 17; dan BUKHĀRĪ, Ḥadīts no. 987).
Juga sabda beliau kepada ‘Ā’isyah r.a. yang ketika itu menikahkan seorang perempuan kerabatnya, dengan kata-kata: (Lihat Imām asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VIII, hlm. 119):
“Apakah engkau sudah membawa seseorang bersamanya untuk bernyanyi?...”.(HR. IBNU MĀJAH, Ḥadīts no. 1900).
Begitu pula halnya dengan sabda Rasūlullāh s.a.w. kepada seorang wanita yang telah bernazar untuk memukul rebana di hadapan beliau sambil bernyanyi. Rasūlullāh s.a.w. berkata wanita itu:
“Jika engkau sudah menetapkan nazarmu, maka lakukanlah (sesuai dengan nazar itu).” (HR. AḤMAD, TIRMIDZĪ, IBNU ḤIBBĀN, dan AL-BAIHAQĪ).
Semua Ḥadīts tersebut di atas mengkhususkan umumnya nash-nash yang meng-ḥarām-kan nyanyian serta membatasinya, yakni membolehkannya dalam kondisi dan keadaan tertentu. Kekhususan ini menunjukkan posisi hukumnya, yaitu makrūh melakukan nyanyian apabila dilakukan secara terus-menerus. Syaratnya adalah tidak bercampur-baur dengan bentuk kemungkaran. Apabila telah bercampur maka tentu hukumnya ḥarām.
Adapun Ḥadīts yang meng-ḥarām-kan nyanyian pada awal bab ini adalah sabda Rasūlullāh s.a.w.:
“Sungguh akan terjadi pada suatu kaum dari umatku yang meng-ḥalāl-kan perzinaan, (memakai) kain sutera (pada kaum lelaki), arak, dan alat-alat musik….” (HR. IMĀM BUKHĀRĪ).
Dalam lafazh yang lain disebutkan tambahan (وَ الْقِيَانَ) “para penyanyi wanita”. Riwayat ini tercantum dalam kitab Imām Bukhārī AT-TĀRĪKH-UL-KABĪR.
Ḥadīts tersebut dapat ditafsirkan oleh Ḥadīts lainnya yang menjelaskan bagaimana mereka akan meng-ḥalāl-kan minuman khamr, alat-alat musik, dan para penyanyi, yaitu sabda Rusūlullāh s.a.w.: (Lihat: Imām Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VIII, hlm. 106):
(لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلى رُؤُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ الْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَ الْخَنَازِيرَ)
“Sekelompok dari umatku akan minum khamr dan menyebutnya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para pemusik bersama penyanyi wanita akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka. Kemudian mereka akan dilenyapkan ke dalam tanah dan dijadikan sebagian dari mereka dalam bentuk kera dan babi.” (HR. IBNU MĀJAH, ABŪ DĀWŪD, dan di-shaḥīḥ-kan oleh IBNU ḤIBBĀN).
Dari seluruh Ḥadīts di atas yang membolehkan dan meng-ḥarām-kan nyanyian dapat diambil suatu pengertian bahwa nyanyian itu hukumnya mubāḥ, asal sya‘irnya mencantumkan hanya makna-makna yang mubāḥ saja. Kecuali apabila disertai dengan hal-hal lain yang ḥarām, misalnya ada khamr atau bercampurnya lelaki dan perempuan.
Dengan demikian nash Ḥadīts tersebut di atas telah menjelaskan bentuk permainan alat musik dan nyanyian yang dicela oleh syara‘ yang disebutkan di dalam Ḥadīts yang meng-ḥarām-kan nyanyian. Bila ia melanggar ketentuan syara‘ (memainkan musik dan bernyanyi dengan cara ini), maka ḥarām hukumnya karena disertai dengan hal-hal yang ḥarām. Dalam hal ini kita dilarang mendengarkannya atau berada di tempat-tempat pertunjukkan seperti itu, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya. Itulah maksud sabda Rasūlullāh s.a.w.:
“Sekelompok dari umatku akan meng-ḥalāl-kan permainan alat-alat musik dan penyanyi wanita (bersama mereka).”
Dengan keterangan di atas maka tidak bisa kita menyamaratakan semua nyanyian itu ḥarām atau mubah karena dalil-dalil syara‘ telah membolehkan nyanyian dalam pesta pernikahan atau pada hari raya. Dalil-dalil tersebut mengkhususkan umumnya nash-nash yang meng-ḥarām-kan nyanyian. Sedangkan yang meng-ḥarām-kannya telah membatasi ke-ḥarām-annya dalam keadaan dan kondisi tertentu. Dari sini dapat ditarik dua macam hal:
Jenis nyanyian ini terbatas pada nyanyian yang disertai dengan perbuatan haram atau mungkar, semisal minuman khamr, menampilkan aurat wanita, atau nyanyiannya berisi sya‘ir yang bertentangan dengan ‘aqīdah atau melanggar etika kesopanan Islām. Contoh untuk ini adalah sya‘ir lagu kerohanian agama selain Islam, lagu asmara, lagu rintihan cinta yang membangkitkan birahi, kotor, dan porno. Tak peduli apakah nyanyian itu berbentuk vokal atau diiringi dengan musik, baik yang dinyanyikan oleh lelaki maupun wanita.
Kriteria jenis nyanyian ini adalah tidak boleh bercampur dengan sesuatu yang telah disebutkan dalam jenis nyanyian yang ḥarām di atas. Ia tidak disertai dengan kata-kata yang memuji kecantikan wanita, tidak disertai mabuk-mabukan, tidak ada kata-kata yang mengajak pacaran, main cinta, atau senandung asmara. Tidak juga diadakan di tempat-tempat maksiat, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya, yang di tempat itu wanita dan lelaki bebas bercampur-baur menari bersama. Kecuali bila diadakan di rumah-rumah dan semua orang yang terlibat baik lelaki maupun wanitanya adalah dari keluarga dan kerabat sendiri (muḥrim bagi yang lain). Misalnya seorang ibu bernyanyi untuk anaknya di depan suaminya; seorang bibi bernyanyi di depan keponakannya; seorang perempuan bernyanyi untuk saudaranya; seorang istri bernyanyi untuk suaminya dan sebaliknya, baik itu hanya lagu semata (vokal) maupun diiringi dengan instrumen musik.
Status nyanyian seperti di atas sama halnya dengan nyanyian yang membangkitkan semangat perjuangan (jihād), atau nyanyian yang sya‘irnya menunjukkan ketinggian ‘ilmu para ‘ulamā’ dan keistimewaan mereka, atau juga nyanyian yang memuji saudara-saudara maupun sesama teman dengan cara menonjolkan sifat-sifat mulia yang mereka miliki, atau juga nyanyian yang melunakkan hati kaum Muslimīn terhadap agama, atau yang mendorong mereka untuk berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam dan bahaya yang akan menimpa orang yang melanggarnya. Begitu pula macam-macam nyanyian yang membicarakan tentang keindahan alam atau yang membicarakan tentang persoalan ‘ilmu (pandai) menunggang kuda, dan sebagainya.