13.
Memilih Redaksi Doa
Banyak orang yang beranggapan bahwa kalimat doa harus mengandung sajak dan kata-kata indah. Oleh karena itu, mereka sering kali mengacu pada keindahan dan kefasihan bahasa dan kata-kata. Akhirnya, doa menjadi paduan kata-kata indah dan bersajak. Mereka pun saling berlomba dalam menghadirkan kalimat doa yang indah tersebut. Hanya saja, hal ini dilarang. (1371) Diriwayatkan oleh al-Bukhārī bahwa Ibnu ‘Abbās pernah berkata: “Perhatikanlah sajak di dalam doa. Jauhilah itu. Sungguh, aku mengetahui Nabi s.a.w. dan para sahabatnya tidak melakukan itu.” (1382).
Ibnu Sya‘bān al-Faradhī menuturkan bahwa ketika ‘Urwah ibn-uz-Zubayr diberitahu tentang lafal doa yang bersajak, yang dikatakan bahwa itu berasal dari Nabi s.a.w., ibn-uz-Zubayr langsung menolak dan berkata: “Mereka telah berbohong. Nabi s.a.w. dan para sahabatnya bukanlah orang-orang yang suka bersajak (dalam berdoa).”
Beberapa ‘ulamā’ salaf pernah mendapati seorang qādhī (hakim) yang berdoa dengan kata-kata indah bersajak. Salah satu dari mereka lalu berkata pada sang qādhī: “Apakah kepada Allah s.w.t. engkau berlebih-lebihan?! Aku pernah melihat dan mendengar seorang kekasih Allah s.w.t. berdoa dan tidak melebih-lebihkan tutur doanya: “Ya Allah, jadikanlah kami orang baik. Ya Allah, jangan Engkau hinakan kami pada hari kiamat kelak. Ya Allah, tuntunlah kami ke jalan kebaikan,” dan orang-orang ikut berdoa di belakangnya, dan doanya dikenal mengandung keberkahan.” (1393).
Abū Yazīd (1404) berkata: “Mohonlah kepada-Nya dengan kata-kata yang singkat dan langsung ke keinginan (lisān-ul-ḥājah), bukan dengan katat-kata yang bertele-tele dan indah-bijaksana (lisān-ul-ḥikmat).”
Ketahuilah bahwa posisi orang yang berdoa adalah posisi orang yang rendah, patuh, khusyu‘, mengiba, dan serius memperlihatkan keinginan kuat agar supaya terpenuhi. Ini di satu sisi. Di sisi lain, sajak adalah kepura-puraan, rekayasa, dan permainan kata yang kesemuanya bertolak belakang dengan kekhusyukan.
Anehnya, engkau mengutip doa-doa di dalam al-Qur’ān yang dituntunkan oleh Allah s.w.t. kepada para nabi, kekasih dan orang-orang pilihan-Nya, lalu engkau menyeleksi kalimat-kalimat para penulis dan penyair – seolah-olah engkau menganggap diri telah mengucapkan semua doa para nabi dan kekasih-Nya, kemudian engkau meminta bantuan doa dari selain mereka.
Kami telah menelaah semua doa para nabi dan rasūl, juga doa para kekasih dan orang-orang pilihan Allah s.w.t. yang direkam oleh al-Qur’ān. Kami mendapati bahwa semua doa mereka menggunakan lafal, rabbanā (Ya Tuhan kami) atau rabb (Ya Tuhanku).
Lihatlah bagaimana Allah s.w.t. mengajarkan doa kepada Nabi Muḥammad s.a.w.:
وَ قُلْ رَبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا.
“Dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah ‘ilmu kepadaku.” (Thāhā [20]: 114).
وَ قُلْ رَّبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَ أَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ
“Dan katakanlah (Muḥammad): “Ya Tuhanku, masukkanlah aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan pula aku ke tempat keluar yang benar.” (al-Isrā’ [17]: 80).
قُلْ رَّبِّ إِمَّا تُرِيَنِّيْ مَا يُوْعَدُوْنَ. رَبِّ فَلَا تَجْعَلْنِيْ فِي الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
“Katakanlah: “Ya Tuhan, seandainya Engkau hendak memperlihatkan kepadaku ‘adzab yang diancamkan kepada mereka, maka janganlah Engkau jadikan aku ke dalam golongan orang-orang yang zhalim.” (al-Mu’minūn [23]: 93-94).
وَ قُلْ رَّبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِيْنِ
“Dan katakanlah(Muḥammad): “Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan syaithan.”. (al-Mu’minūn [23]: 97).
Nabi Ādam a.s. dan istrinya berdoa:
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَ إِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَ تَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
“Ya Tuhan kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi”. (al-A‘rāf [7]: 23).
Nabi Nūḥ a.s. berdoa:
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَ لِوَالِدَيَّ وَ لِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ
“Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, dan siapa pun yang memasuki rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman, laki-laki dan perempuan.”. (Nūḥ [71]: 28).
Nabi Ibrāhīm a.s. dan Nabi Ismā‘īl a.s. berdoa:
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. رَبَّنَا وَ اجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَ مِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَ
“Ya Tuhan kami, terimalah ‘amal kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu”. (al-Baqarah [2]: 127-128).
رَّبَّنَا إِنِّيْ أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْ إِلَيْهِمْ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullāh) yang dihormati. Ya Tuhan kami, demikian itu agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka”. (Ibrāhīm [14]: 37).
Nabi Mūsā a.s. berdoa:
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ
“Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku”. (Thāhā [20]: 25).
رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُوْنَ ظَهِيْرًا لِّلْمُجْرِمِيْنَ
“Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa”. (al-Qashash [28]: 17).
رَبِّ إِنِّيْ لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku”. (al-Qashash [28]: 24).
Nabi Sulaimān a.s. berdoa:
رَبِّ أَوْزِعْنِيْ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْ أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَ عَلَى وَالِدَيَّ وَ أَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَ أَدْخِلْنِيْ بِرَحْمَتِكَ فِيْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang shalih”. (an-Naml [27]: 19).
Nabi Zakariyyā a.s. berdoa:
رَبِّ لاَ تَذَرْنِيْ فَرْدًا وَ أَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِيْنَ
“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan), dan Engkaulah ahli waris yang terbaik.”. (al-Anbiyā’ [21]: 89).
رَبِّ هَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاءَ
“Ya Tuhanku, berilah aku keturunn yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa”. (Āli ‘Imrān [3]: 38).
Dengan penuturan serupa, Allah s.w.t. menyebutkan para malaikat atau nabi-nabi utusan-Nya di dalam al-Qur’ān. Lihatlah bagaimana para malaikat berdoa: “Dan mereka memohonkan ampunan untuk orang-orang beriman seraya berkata: “Ya Tuhan kami, rahmat dan ‘ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan agama-Mu.” (Ghāfir [40]: 7).
Ayat ini menunjukkan bahwa mendoakan orang-orang mu’min dan memohonkan ampunan bagi mereka adalah perbuatan mulia dan terpuji di sisi Tuhan semesta alam.
Catatan:
- 137). Di kitab al-Ḥawāditsu wal-Bida‘ (hlm. 145), ath-Thurthūsyī menulis: “Dimakruhkan menggunakan sajak (puisi/syair) dalam berdoa dan selainnya, dan itu bukan termasuk pandangan orang-orang terdahulu. Diriwayatkan oleh Wahb bahwa ketika ‘Urwah ibn-iz-Zubayr dimintai pendapat tentang doa yang di dalamnya mengandung unsur sajak, ia akan menjawab: “Mereka telah berbohong. Rasūlullāh s.a.w. dan para sahabatnya bukanlah penyair.” Diriwayatkan oleh al-Bukhārī bahwa Ibnu ‘Abbās berkata kepada ‘Ubayd ibn ‘Āmir: “Sesekali berkisahlah dan sesekali jangan berkisah, dan janganlah engkau membuat bosan orang-orang. Jauhilah sajak dalam berdoa, karena sesungguhnya Nabi s.a.w. dan para sahabatnya tidak melakukan itu.” Lihat juga: Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn, III/164.
- 138). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, (hadits no. 6337).
- 139). : Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn, III/164. Kekasih Allah s.w.t. yang dimaksudkan dalam riwayat ini adalah Ḥabīb ibn ‘Īsā ibn Muḥammad al-‘Ajamī. Ia seorang hamba yang taat beribadah, zuhud, dan doanya sering dikabulkan. Ia wafat pada tahun 119 H. Lihat: Thabaqāt-ul-Awliyā’, hlm. 182 dan Ḥilyat-ul-Awliyā’, VI/149-150).
- 140). Salah satu shūfī terkemuka di zamannya. Ia wafat pada tahun 261 H., atau riwayat lain menyebutkan pada tahun 264 H.