9.
Manfaat Doa
Ketahuilah, doa takkan pernah bisa mengubah ketentuan Allah s.w.t., mencegah keputusan-Nya yang sudah pasti, dan mengalahkan apa yang sudah digariskan oleh-Nya.
Tapi, ketika Allah s.w.t. memiliki hal yang sudah ditentukan oleh-Nya dan hamba memiliki hal yang belum diketahui dan diinginkan dengan pengharapan yang sangat olehnya, di sinilah doa dibutuhkan. Barang siapa yang sudah ditentukan sebelumnya bahwa doanya akan dikabulkan, maka doa nya pasti akan dikabulkan. Begitu pun sebaliknya. Barang siapa yang sudah ditentukan sebelumnya bahwa doanya akan ditolak, maka doanya pasti takkan dikabulkan. Semua ini takkan bisa berubah atau dirubah dengan desakan dan pengharapan. Hanya saja, barangkali pengabulan yang sudah ditentukan sebelumnya itu baru terjadi ketika disertai oleh desakan dan pengharapan, sehingga ketika tidak disertai dengan kedua hal ini maka pengabulan doa takkan terjadi. Demikian juga yang terjadi pada waktu-waktu berdoa dan lafal-lafalnya. Pengabulan doa akan terjadi pada lafal tertentu dan bukan pada lafal lain, pada waktu tertentu dan bukan pada waktu lain. Apabila lafalnya tepat dan diucapkan pada waktu yang tepat, maka doa akan dikabulkan.
Barangkali juga pengabulan ditentukan hanya akan terjadi dengan lafal tertentu dan pada waktu tertentu. Jadi, apabila lafal dan waktunya tidak tepat maka doa takkan dikabulkan.
Inilah rahasia teragung yang tersimpan di dalam sabda Nabi s.a.w.: “Doa bisa memberi jawaban dan sedekah bisa menolak bahaya dan kematian yang buruk,” dan sabda beliau: “Silaturahim bisa memanjangkan umur,” (1051) dan juga sabda: “Tidak akan masuk surga pemutus tali silaturahim,” (1062) serta sabda: “Sesungguhnya seorang laki-laki yang ketika berjalan mendapati duri, lalu menyingkirkannya dari jalan dan kemudian bersyukur kepada Allah, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu.” (1073).
Atas dasar pengertian ini, setiap yang terdapat di dalam syariat, termasuk ampunan dan siksaan, itu terkait erat dengan sebab. Apa yang sudah digariskan oleh Allah s.w.t. dalam ketetapan-Nya bisa dicegah dan ditolak melalui doa. Seolah-olah Allah s.w.t. telah menetapkan sebuah musibah bagi seorang hamba, lalu Dia s.w.t. memutuskan untuk menghilangkan musibah ini karena doa hamba kepada-Nya. Allah s.w.t. seolah berfirman: “Segala persoalan milik-Ku, ketetapan-Ku bisa berubah dengan ketetapan-Ku.”
Kisah kaum Nabi Yūnus a.s. mungkin bisa menjadi pelajaran dan peringatan bagi banyak orang. Ketika yakin bahwa bencana sebentar lagi akan ditimpakan, mereka semua keluar ke pegunungan dan daratan untuk bertobat kepada Allah s.w.t., bersimpuh di hadapan-Nya sambil bercucuran air mata. Akhirnya, Allah s.w.t. berterima kasih pada perbuatan mereka dan menghindarkan mereka dari bencana dan musibah. Tapi, Allah s.w.t. mencela sekelompok orang di antara mereka yang membangkang, putus asa, tidak mau meneteskan air mata tobat, tidak mau mengharap belas-kasihNya, dan tidak mau berdoa kepada-Nya. Allah s.w.t. berfirman: “Mengapa tidak ada (penduduk) suatu negeri pun yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat baginya selain kaum Yūnus? Ketika mereka (kaum Yūnus) beriman, Kami hilangkan dari mereka ‘adzab yang menghinakan.” (Yunus [10]: 98).
Orang mu’min mestinya tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah s.w.t. dan tidak meninggalkan kebersimpuhan di hadapan-Nya. Seandainya pun tengah berada di jurang kehancuran, ia harus tetap mempunyai pengharapan yang kuat dan prasangka baik terhadap Allah s.w.t.
Kita pun tidak boleh mengabaikan doa hanya karena mengetahui bahwa doa tidak bisa mengalahkan sesuatu yang sudah ditetapkan dan ditentukan oleh Allah s.w.t. Kita harus tetap berupaya sekuat tenaga dalam berdoa, dengan penuh pengharapan. Sebab, kita juga tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi nanti.
Tidakkah kita mengetahui bagaimana Nabi s.a.w. pernah memohonkan ampunan bagi sebagian orang-orang munāfiq, lalu Allah s.w.t. menurunkan wahyu: “Walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah takkan memberi ampunan kepada mereka.” (at-Tawbah [9]: 80). Nabi s.a.w. lalu bersabda: “Aku akan menambah tujuh puluh kali lagi.” Allah s.w.t. kemudian berfirman: “Sama saja bagi mereka, engkau (Muḥammad) mohonkan ampunan untuk mereka atau tidak mohonkan ampunan.” (al-Munāfiqūn [63]: 6). Saat itu juga, Nabi s.a.w. langsung berhenti memohonkan ampunan bagi mereka. (1084).
Diriwayatkan oleh al-Bukhārī bahwa Nabi s.a.w. menengadahkan kedua tangannya, lalu berdoa dengan penuh semangat dan sangat lama. Abū Bakar pun berkata kepada beliau: “Tenang, wahai Rasūlullāh. Engkau telah mendesak Tuhanmu.” (1095).
Seandainya saja semua yang telah ditetapkan dan ditaqdirkan oleh Allah s.w.t. itu tampak dan bisa diketahui, tentu tak ada seorang pun yang mengeluarkan perkataan dan perbuatan yang menentang atau menyalahi itu semua.
Lihatlah bagaimana sabda Nabi s.a.w. saat beliau menanggapi pernyataan sejumlah sahabat: “Apakah kita harus diam dan pasrah saja pada taqdir kita?” Nabi s.a.w. kemudian bersabda: “Bekerjalah kalian, dan setiap orang akan diberikan kemudahan sesuai dengan yang diciptakan baginya.” (1106) Di sini, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kepada kita untuk bekerja keras dan selalu berharap hasil yang terbaik. Beliau pun memerintahkan kita untuk berdoa dan mengharapkan hasil terbaik. Setiap orang pasti akan diberi kemudahan sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan baginya.
Atas dasar ini, boleh dikatakan: “Semoga Allah s.w.t. memanjangkan umurmu, membuatmu hidup lebih lama, dan melapangkan rezekimu.”
Tapi, tidak boleh dikatakan: “Semoga selamanya Allah s.w.t. takkan mematikanmu.” Apabila akibat dan hasil akhir itu tersembunyi dari hamba dan tidak diketahui oleh makhluq, dan sebab-sebab keberhasilan juga tidak mudah diketahui oleh manusia, maka di situlah letak dibenarkannya berdoa dengan serius dan mendesak, bersimpuh di hadapan Allah s.w.t. dengan ketundukan total, berharap berkah dengan pengharapan yang sangat, dan meminta belas-kasih dari penguasa bumi dan langit.
Di konteks sini, tak ada seorang pun yang berhasil melakukannya seperti yang pernah dilakukan oleh ‘Umar ibn al-Khaththāb. Ia berdoa: “Ya Allah, apabila Engkau telah menetapkanku sebagai orang yang celaka maka hapuskanlah ketetapan-Mu itu untukku dan tetapkanlah aku menjadi orang yang bahagia.” Di sini, ‘Umar tidak hendak meminta sesuatu yang diketahuinya sebagai sesuatu yang takkan terjadi. Tapi, ia memperlihatkan ketakutan dan kepatuhannya di hadapan Allah s.w.t. sehingga dirinya meminta sesuatu yang takkan terjadi menjadi sesuatu yang terjadi.
Demikianlah penafsiran Abū Bakr Muḥammad ibn al-Ḥasan ibn Fūrak atas sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Silaturahim bisa memanjangkan umur, doa bisa menolak musibah, dan sedekah bisa mencegah bahaya. (1117)
‘Ulamā’ kita sudah menyebutkan berbagai macam faedah doa selain yang telah kami sebutkan di awal. Di antaranya adalah doa merupakan sebuah ibadah yang akan diganjar pahala oleh Alalh s.w.t., meskipun doa tidak terkabulkan. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Doa adalah inti ibadah.”
Doa adalah kesungguhan berkeinginan dengan mengingat Allah s.w.t., dan itu menuntut sebuah keteguhan dalam meyakini-Nya di dalam hati, menambah ketaatan kepada-Nya, dan memutus diri dari kemaksiatan terhadap-Nya. Terus menunggu di depan pintu akan menghasilkan idzin untuk masuk. Oleh sebab itu, sebuah perumpamaan mengatakan: “Barang siapa yang terus-menurus mengetuk pintu maka ia dianggap telah masuk.” Dikatakan: “Idzin dalam berdoa itu lebih baik daripada ibadah.” (1128).
Dikatakan: “Berdoalah kepada Allah s.w.t. untukku.” Ini kemudian dijawab: “Jangan bertindak sia-sia dengan membuat perantara antara dirimu dan Allah s.w.t.”
Doa bisa memperlihatkan bahwa kita benar-benar sorang hamba dan sangat membutuhkan bantuan Allah s.w.t. Doa adalah realisasi tauhid dengan melepaskan diri dari daya dan kekuatan selain-Nya, selain juga merupakan bukti pengakuan atas ketuhanan-Nya, dan bukti bahwa kita membutuhkan pertolongan-Nya. Doa memperlihatkan “posisi yang rendah di hadapan Sang Maha Pengasih.”
Dikatakan bahwa Allah s.w.t. menyembunyikan empat hal di dalam empat hal lainnya; (1) Allah menyembunyikan ridha-Nya di dalam ketaatan kepada-Nya, dan karena itu janganlah menyepelekan satu pun kebaikan dari pintu-pintu kebaikan yang ada; (2) Allah menyembunyikan murka-Nya di dalam kemaksiatan terhadap-Nya, dan karena itu janganlah menyepelekan satu pun kemaksiatan; (3) Allah menyembunyikan kekasih-Nya di antara hamba-hambaNya, dan karena itu janganlah menghina seorang pun dari hamba-hambaNya karena Allah s.w.t. sendiri tidak menghinanya sebab dirinya telah diberi keimanan; (4) Allah menyembunyikan ijabah-Nya di dalam doa-doa kepada-Nya, dan karena itu janganlah menghina satu pun doa yang dipanjatkan kepada-Nya.
Ibn-ul-Mu‘tamir (1139) berkata: “Kedermawanan Allah s.w.t. tidak akan berlawanan dengan keketapan-Nya, dan karena itu seorang hamba berdoa dan belum dikabulkan.”
Catatan:
- 105). Hadits ini sema‘na dengan hadits: “Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhārī di Shaḥīḥ-nya, X/415, Kitab al-Adab, Bab Man Busitha lahu fir-Rizqi, (hadits no. 5985).
- 106). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, Kitab al-Adab, Bab Itsm-ul-Qāthi‘, X/415, (hadits no. 5984).
- 107). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, Kitab al-Ādzān, Bab Fadhl-ut-Tahjīr ilazh-Zhuhr, II/139, (hadits no. 652).
- 108). Al-Wāḥidī, Asbāb-un-Nuzūl, hlm. 197.
- 109). Tafsīr-ath-Thabarī, VIII/218-222.
- 110). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, Kitab at-Tawḥīd, (hadits no. 7551).
- 111). Musykil-ul-Ḥadīts wa Bayānuh, hlm. 304 dan sesudahnya.
- 112). Al-‘Aqd-ul-Farīd, I/241.
- 113). Bisyr ibn-ul-Mu‘tamir al-Hilālī al-Baghdādī (w. 210 H.), seorang teolog dan ahli fikih dari kalangan Mu’tazilah.