11.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah s.w.t. menguji para nabi dan hamba-hamba pilihan-Nya dengan berbagai musibah dan cobaan. Demikian itu karena Allah s.w.t. mengetahui kuatnya keyakinan agama mereka dan kesabaran mereka dalam menghadapi ketentuan dan ketetapan-Nya.
Ayyūb, misalnya, diuji Allah s.w.t. dengan ujian yang tak pernah dialami oleh seorang pun dari makhluq-Nya, meskipun dirinya termasuk salah satu nabi pilihan-Nya. Ia menerima ujian selama tujuh tahun, dibuang dan dikucilkan oleh Bani Isrā’īl. Selama itu pula, ia tetap bersabar dan menerima. Tapi, ketika kesabarannya sudah habis, ia berdoa memohon kepada Allah s.w.t. dengan penuh kesopanan dan kesantunan. Ia hanya menyinggung penderitaannya, tanpa terang-terangan menyatakan maksudnya. “Ya Tuhanku, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (al-Anbiyā’ [21]: 83).
Satu kalangan berpendapat bahwa perkataan Ayyūb ini adalah keluhan (syikāyah), padahal sebenarnya itu adalah doa yang penuh kesantunan. Dalilnya adalah firman Allah s.w.t. di ayat berikutnya. “Maka Kami kabulkan doanya.” (al-Anbiyā’ [21]: 88). Pengabulan hanya terjadi karena doa, bukan karena keluhan.
Renungkanlah bagaimana Mūsā a.s., saat tiba di sumber air negeri Madyan, diuji oleh Allah s.w.t. dengan kelaparan. Ibnu ‘Abbās berkata: “Sampai-sampai hijaunya sayur-sayuran kelihatan jelas dari tubuhnya saat dirinya pergi melarikan diri dari Fir‘aun di Mesir ke Syu‘aib.” Ia berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” (al-Qashash [28]: 24). Di sini, Mūsā menyindir permohonannya agar diberikan rezeki, dan tidak terang-terangan menyebutnya. Renungkan juga bagaimana Yūnus a.s. yang tidak mengungkapkan keinginannya kepada Tuhan secara terang-terangan. “Tidak ada tuhan (yang berhak disembh) melainkan Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zhalim.” (al-Anbiyā’ [21]: 87). Di sini, Yūnus a.s. hanya mengisyaratkan keinginannya agar bisa terlepas dari masalah yang dihadapinya. Allah s.w.t. kemudian berfirman: “Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan.” (al-Anbiyā’ [21]: 88).
Renungkanlah juga kisah para rasul Ulul-Azmi. Ketika Ibrāhīm a.s. dilempar oleh kaumnya ke kobaran api, misalnya, disapa oleh Jibrīl yang terbang di udara. Jibrīl berkata: “Apakah engkau memiliki keinginan dan butuh bantuan, Ibrāhīm?” Ibrāhīm a.s. menjawab: “Ya, tapi tidak kepadamu.” Diriwayatkan bahwa Jibrīl menyuruhnya agar berdoa kepada Allah s.w.t., tetapi Ibrāhīm menjawab: “Kiranya sudah cukup permohonanku. Allah Maha mengetahui keadaanku.”
Renungkan juga bagaimana ketika Allah s.w.t. berfirman kepada al-Masīḥ (‘Īsā a.s.): “Apakah engkau yang mengatakan kepada orang-orang: “Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah”? Al-Masīḥ menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya.” (al-Mā’idah [5]: 116). Al-Masīḥ lalu berkata: “Jika Engkau menyiksa mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hambaMu, dan jika Engkau mengampuni mereka maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (al-Mā’idah [5]: 118). Di sini, terlihat jelas bagaimana al-Masīḥ mempraktikkan kesantunan dan kesopanan dalam berkata-kata.