Lebih Baik Berdoa dengan Suara Pelan atau Keras? – Al-Ma’tsurat

Al-Ma’tsūrāt
Kitab Doa Tertua

Diterjemahkan dari: Ad-Du‘ā-ul-Ma’tsūru wa Ādābuhu wa Mā Yajibu ‘alad-Dā’i Ittibā‘uhu
Karya: Abū Bakr ath-Thurthūsyī al-Andalūsī
 
Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Memilih Redaksi Doa - Al-Ma’tsurat

14.

Lebih Baik Berdoa dengan Suara Pelan atau Keras?

 

Ketahuilah bahwa Allah s.w.t. memerintahkan hamba-Nya agar menyembunyikan doa, dan memuji hamba yang menyembunyikannya. Allah s.w.t. berfirman: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampuai batas.” (al-A‘rāf [7]: 55). Allah s.w.t. kemudian memuji orang yang mau menyembunyikan doa. Allah berfirman: “(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakariyyā, yaitu ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut”. (Maryam [19]: 2-3).

Diriwayatkan oleh Abū Mūsā al-Asy‘arī bahwa Nabi s.a.w. dan para sahabat tengah berada dalam satu peperangan. Ketika sudah dekat dengan sebuah lembah, mereka langsung bertakbir dan bertahlil dengan suara cukup keras. Nabi s.a.w. kemudian bersabda: “Tahan dan sayangilah diri kalian. Sungguh, kalian tidak berdoa kepada yang tuli atau yang tidak ada (jauh), tetapi kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar dan dekat. Sesungguhnya Dia bersama-sama kalian.” (1411).

Dalam riwayat lain disebutkan: “Sesungguhnya Dzāt yang kalian berdoa kepada-Nya berada di antara kalian dan leher-leher tunggangan kalian.

Dalam sebuah hadits juga disebutkan: “Kebaikan antara doa secara sembunyi-sembunyi dengan doa secara terang-terangan itu bedanya tujuh-tujuh kali lipat.” (1422).

Al-Ḥasan berkata: “Apabila seorang laki-laki berhasil menghafal al-Qur’ān, dan itu tidak diketahui oleh tetangganya; apabila seorang laki-laki telah berhasil memahami banyak ilmu fikih, dan itu tidak disadari oleh orang banyak; apabila seorang laki-laki mengerjakan shalat panjang di rumahnya, dan itu tidak disadari oleh tamu-tamunya.

“Kami mengetahui banyak kaum di muka bumi ini yang menganggap bahwa ‘amal perbuatan mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sebenarnya diketahui oleh banyak orang.

“Umat muslim telah bersungguh-sungguh dalam berdoa. Tak ada suara yang bisa didengar dari mereka kecuali desau dan suara lembut yang hanya bisa didengar oleh diri mereka sendiri dan Tuhan mereka. Demikian itu karena Allah s.w.t. berfirman: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut.” (al-A‘rāf [7]: 55). Allah s.w.t. akan mengingat hamba-Nya yang shalih dan meridhai perkataannya: “(Yaitu) ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut (nidā’an khafiyya)”. (Maryam [19]: 3)”.

Pertanyaannya kemudian, apa yang dimaksud Allah s.w.t. dengan menyembunyikan doa? Apakah menyembunyikan doa dari pendengaran dan penglihatan manusia, meskipun diucapkan dengan suara lantang di tempat-tempat sepi; ataukah mengucapkan doa dengan suara sangat lembut dan hanya menggunakan gerakan dua bibir saja; ataukah menyembunyikan doa dalam arti mengucapkannya hanya di dalam hati?

Firman Allah s.w.t. “nidā’an khafiyya” mengandung pengertian bahwa yang dimaksud adalah suara sangat lembut dengan hanya menggunakan gerak dua bibir saja, sebagaimana digambarkan oleh al-Ḥasan dalam pernyataannya di atas.

Dikatakan bahwa maksudnya adalah Nabi Zakariyyā menyembunyikan doa dari pendengaran dan pengglihatan kaumnya, dan itu diucapkannya di tengah malam dan di dalam hatinya.

Dikatakan pula bahwa maksudnya adalah tulus ikhlas dalam berdoa dan tak ada seorang pun yang mengetahui doanya kecuali Tuhan semata. Di beberapa hadits dinyatakan: “Sesungguhnya Allah s.w.t. mencintai hati yang bersih dan mendengarkan (mengabulkan doa) suara yang lembut.”

Adapun firman Allah s.w.t.: Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampuai batas.” (al-A‘rāf [7]: 55) mengandung pengertian “orang-orang yang berlebih-lebihan dalam berdoa dan melampaui apa yang telah diperintahkan kepada mereka.”

Kalangan mufasir berbeda pendapat (1433) dalam menafsirkan lafal: “orang-orang yang melampaui batas” (al-mu‘tadīn) dalam ayat di atas. Menurut Ibnu Jurayj (1444), mereka adalah orang-orang yang meminta posisi dan kedudukan para nabi.

Menurut ‘Athiyyah al-Awfī (1455), murid Ibnu ‘Abbās, mereka adalah orang-orang yang berdoa dan memohonkan sesuatu yang tidak pantas bagi orang-orang mu’min. Misalnya ialah berdoa: “Ya Allah, laknatlah dirinya!” atau “Ya Allah, hinakanlah dirinya!”

Menurut Ibnu Jurayj juga, termasuk melampaui batas adalah meninggikan dan mengeraskan suara atau berteriak, padahal mereka diperintahkan agar berdoa dengan rendah hati dan suara yang lembut.

Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd (1466) dari Abū Nu‘āmah, dari Ibnu Sa‘d (1477) berkata: Ayahku mendengarkan berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu surga, kenikmatannya, kemewahannya, ini dan ini; dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka, kesengsaraannya, belenggu-belenggunya, ini dan ini.” Ayahku kemudian berkata: “Wahai anakku. Sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi s.a.w. bersabda: “Akan ada satu kaum yang melampaui batas dalam berdoa.” Janganlah engkau termasuk salah satu dari mereka. Apabila engkau akan diberikan surga maka engkau pasti akan diberi surga beserta semua keni‘matannya, dan apabila engkau akan dijauhkan dari neraka maka engkau pasti akan dijauhkan dari neraka beserta seluruh keburukannya.”

Diriwayatkan dari ‘Abdullāh ibn Mughaffal bahwa dirinya pernah mendengar anaknya berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu istana putih di sebelah kanan surga, dan aku memohon kepada-Mu ini dan ini.” Ibnu Mughaffal lalu berkata: “Wahai anakku, (redaksinya sama seperti redaksi hadits riwayat Sa‘d di atas).”

Catatan:

  1. 141). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, (hadits no. 6384).
  2. 142). Tafsīr-ul-Qurthubī, VII/223. Dalam penjelasannya tentang perihal menyembunyikan doa, al-Qurthubī menulis: “Misal lainnya adalah sabda Nabi s.a.w.: “Sebaik-baik dzikir adalah yang sembunyi-sembunyi, dan sebaik-baik rizki adalah yang mencukupi.” Ibnu ‘Abbās berkata: “Allah menjadikan sedekah secara sembunyi-sembunyi itu lebih utama ketimbang sedekah secara terang-terangan. Dikatakan bahwa perbandingannya adalah 70 kali lipat.”
  3. 143). Tafsīr-uth-Thabarī, VII/147 dan sesudahnya.
  4. 144). Di Tafsīr-uth-Thabarī, Ibnu Jurayj menukil pandangan ini dari Ibnu Majlaz.
  5. 145). Abul-Ḥasan ‘Athiyyah ibn Sa‘d al-‘Awfī, salah seorang perawi hadits. (w. 111 H.)
  6. 146). Sunanu Abī Dāwūd, (hadits no. 1480).
  7. 147). Di catatan kaki Sunan Abī Dāwūd disebutkan: “Al-Mundzirī berkata: “Sa‘d ini adalah Ibnu Abī Waqqāsh.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *