Menurut satu kelompok, doa memohon dibebaskan dari sesuatu yang tidak kuat ditanggung adalah jauh lebih utama sebelum seorang hamba merasa putus asa dan kehilangan pahalanya. ‘Umar ibn al-Khaththāb berkata: “Permohonanku sudah maksimal, dan aku takut jika Engkau membiarkanku tetap hidup! Aku mohon kepada-Mu, ambillah nyawaku tanpa kesia-siaan dan tanpa berlebihan.”
Meskipun terbilang orang terkuat dari orang yang paling kuat di zamannya, ‘Umar tetap tidak mampu menanggung musibah yang ditimpakan kepadanya, satu musibah yang hanya kuat ditanggung oleh para nabi. Adapun bagi orang-orang yang kuat, yang lebih baik untuk mereka adalah musibah atau kesehatan yang telah diberikan oleh Allah s.w.t.
Pandangan seperti ini didasarkan pada pernyataan Ibnu Mas‘ūd: “Sesungguhnya kalian bukanlah orang yang berhak ditimpa musibah. Oleh sebab itu, mohonlah kesehatan kepada Allah s.w.t.” Di sini, Ibnu Mas‘ūd hendak memberi tahu bahwa Allah s.w.t. memiliki hamba-hamba yang diberi musibah yang sangat berat, lalu mereka memohon kepada-Nya, dan melalui itu semua mereka akhirnya menjadi jauh lebih dekat kepada-Nya.
Nabi s.a.w. bersabda: “Orang yang paling berat musibahnya adalah para nabi, kemudian yang lebih utama dan lebih utama.” (1251).
Beliau juga bersabda: “Sungguh, demamku itu seperti demamnya dua orang dari kalian.” Ibnu Mas‘ūd lalu berkata: “Karena engkau memperoleh pahala dua kali?” Beliau menjawab: “Ya, benar.” (1262).
Diriwayatkan oleh Sa‘d ibn Abī Waqqāsh bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Seorang hamba diuji sesuai tingkat keagamaannya. Jika agamanya kuat maka ujiannya akan semakin diberatkan, dan jika agamanya tidak terlalu kuat (riqqah) maka ujiannya diringankan.” (1273).
Kelompok yang berpendapat seperti ini mungkin akan berkata: “Bagaimana mungkin memohon keterbebasan dari musibah itu jauh lebih baik ketimbang bersikap sabar bagi orang-orang kuat yang diberi keutamaan oleh Allah dan bagi para nabi dan rasul pilihan-Nya?!”
Ketika Ubay bin Ka‘b (1284) mendengar sabda Nabi s.a.w. tentang penyakit demam di awal, Ubay lalu memohon kepada Allah s.w.t. agar diberi kesembuhan. Tetapi, Ubay masih tetap demam dan tidak sembuh.
Abud-Dardā’ berkata: “Ya Allah, butakanlah aku.” Abud-Dardā’ berdoa demikian pada saat sedang sakit. Ia berkata: “Aku lebih suka sakit, karena itu bisa menghapus keburukan (dosa).”
Marwān (1295) pernah datang menemui Abū Hurairah, lalu berkata: “Ya Allah, ringangkanlah masalah yang dihadapinya.” Abū Hurairah kemudian menimpali: “Ya Allah, beratkanlah!” dalam riwayat lain disebutkan: “Cekiklah aku dengan tanganmu sendiri. Sesungguhnya engkau tahu bahwa aku menyukai pribadimu.”
Satu kelompok lain mengatakan: “Kami tidak memohon kelapangan atau musibah, tidak pula kelanggengan musibah. Tapi, kami memohon kebaikan.” Jadi, yang mereka mohon adalah apa yang membuat diri mereka bisa menjadi lebih dekat kepada Allah s.w.t., baik itu berupa kelapangan dari musibah yang menimpa maupun kelanggengan atau bertambah beratnya musibah tersebut. Dalilnya adalah sabda Nabi s.a.w.: “Ya Allah, idzinkanlah aku tetap hidup jika hidup memang lebih baik bagiku, dan ambillah nyawaku jika kematian lebih baik bagiku.” (1306).
‘Umar ibn ‘Abd-il-‘Azīz berkata: “Aku tidak mempunyai hasrat keinginan kecuali terhadap ketentuan Allah s.w.t.”
Orang yang berlaku seperti ini maka dirinya telah berdoa memohon kebaikan bagi agamanya. Mereka memohon agar bisa lebih dekat kepada Allah s.w.t., baik melalui hilangnya musibah maupun sebaliknya.
Kesimpulan
Sejumlah riwayat yang kami sebutkan di atas mungkin saling bertentangan satu sama lain. Tetapi, pertentangan tersebut hanya terjadi dalam konteks ketika musibah sudah ditampakan. Adapun berdoa sebelum musibah ditimpakan adalah jauh lebih utama. Dalilnya adalah seperti pemaparan kami di lembaran-lembaran awal.
Satu kalangan mengatakan: “Seseorang wajib berdoa dengan lisannya sendiri dan dengan hati yang tulus nan ridha.”
Satu kalangan lain berpendapat: “Waktu mustajab itu beragam dan berbeda-beda. Di beberapa kesempatan, doa itu jauh lebih utama. Tapi, apabila hati seorang hamba mengisyaratkan untuk diam dan ridha menerima apa yang ditetapkan Allah s.w.t. untuknya, maka sikap diam dan ridha jauh lebih utama.”
Abul-Qāsim al-Qusyairī (1317) berkata: ‘Apabila dengan berdoa seorang hamba merasa hatinya bertambah lapang dan tenang maka berdoa lebih utama; apabila saat berdoa hatinya merasa resah dan waswas maka dirinya lebih baik tidak berdoa; apabila dirinya merasa bahwa hatinya tidak bertambah lapang dan tidak pula merasa resah, maka berdoa atau tidak berdoa adalah sama saja baginya.”
Boleh dikatakan: “Apabila terdapat sesuatu yang di dalamnya umat Islam memiliki bagian dan Allah s.w.t. memiliki hak, maka berdoa jauh lebih utama. Lalu, apabila terdapat sesuatu yang di dalamnya engkau memiliki kebaikan, maka bersikap diam dan ridha jauh lebih utama.”