Lebih Baik Berdoa atau Berdiam dan Ridha? – Al-Ma’tsurat (1/2)

Al-Ma’tsūrāt
Kitab Doa Tertua

Diterjemahkan dari: Ad-Du‘ā-ul-Ma’tsūru wa Ādābuhu wa Mā Yajibu ‘alad-Dā’i Ittibā‘uhu
Karya: Abū Bakr ath-Thurthūsyī al-Andalūsī
 
Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Lebih Baik Berdoa atau Berdiam dan Ridha? - Al-Ma’tsurat

10.

Lebih Baik Berdoa atau Berdiam dan Ridha?

 

Masalah ini menjadi bahan perbedaan banyak orang. (1141) Sebagian berpendapat bahwa bersikap diam dan pasrah atas apa yang terjadi adalah sebuah dosa. Sikap ridha dan menerima pilihan dan ketentuan Allah s.w.t. itu lebih baik.

Al-Wāsithī pernah diminta untuk berdoa, lalu menjawab: “Aku khawatir jika aku berdoa maka akan dikatakan padaku: “Apabila engkau meminta kepada Kami apa yang menjadi milikmu maka engkau sudah menuduh Kami, dan apabila engkau meminta kepada Kami apa yang bukan ditetapkan menjadi milikmu maka engkau sudah berlaku kurang sopan kepada Kami, dan apabila engkau ridha (menerima) maka Kami akan memberikan kepadamu apa yang telah Kami tetapkan untukmu.”

Dikatakan: “Menerima apa yang sudah ditetapkan sejak zaman azali untukmu itu jauh lebih baik daripada melawan waktu.”

‘Abdullāh ibn al-Mubārak mengatakan: “Aku tidak pernah berdoa kepada Allah s.w.t. sejak 50 tahun lalu, dan aku juga tidak ingin didoakan oleh seorang pun.”

Kelompok yang berpendapat seperti ini berkeyakinan bahwa orang yang ridha takkan berdoa, dan jika ia berdoa maka berarti ia senang menentang apa yang disenangi oleh Allah s.w.t

Mereka mendasarkan pendapat ini pada sebuah riwayat tentang seorang perempuan yang tertimpa musibah dan meminta Rasūlullāh s.a.w. agar bersedia mendoakannya. Beliau lalu bersabda: “Maukah engkau bersabar, dan tidak ada hisab untukmu?” (1152).

Riwayat lainnya ialah tentang kaum Anshār yang meminta Rasūlullāh s.a.w. agar mendoakan kesembuhan mereka dari wabah penyakit demam. Beliau lalu bersabda: “Maukah kalian bersabar, dan kalian menjadi suci?!

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan: “Barang siapa yang menyibukkan diri dengan mengingat-Ku, niscaya Aku akan memberikan kepadanya yang terbaik dari apa yang akan Aku berikan kepada orang-orang yang memohon.” (1163).

Dalam sebuah syari dikatakan:

Aku tercegah untuk berkeluh-kesah kepada manusia karena
Aku sakit, Dan orang tempat aku berkeluh-kesah juga sakit.
Aku tercegah untuk berkeluh-kesah kepada Allah karena
Dia Maha Mengetahui apa yang akan aku keluhkan sebelum aku mengatakannya.

Satu kelompok mengatakan bahwa seorang hamba hendaknya tidak berdoa kecuali karena ketaatan kepada Allah s.w.t. atau karena takut mendapat murka-Nya. Jadi, jika berdoa selain dengan tujuan ini maka dia telah keluar dari ruang keridhaan.

Kelompok lain mengatakan bahwa hamba hendaknya berdoa memohon kelapangan dalam keadaan bagaimana pun juga, baik karena ketaatan maupun karena ingin selamat dari murka. Keduanya sama saja. Tapi, doanya karena ketaatan jauh lebih baik ketimbangan karena mengharap keselamatan.

Kelompok lain lagi menyatakan bahwa doa yang dilakukan bukan karena ketaatan kepada Allah s.w.t. akan mengurangi nilai keridhaan seorang hamba terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Allah s.w.t. baginya. Kelompok ini mengutip sebuah riwayat tentang seorang laki-laki buta yang pernah berkata kepada Nabi s.a.w.: “Wahai Rasūlullāh, ajarkanlah kepadaku satu doa yang sekiranya bisa mengembalikan penglihatanku.” Beliau lalu bersabda: “Maukah engkau bersabar, dan itu lebih baik?” Laki-laki ini pun menolak, dan Nabi s.a.w. akhirnya mengajarkan sebuah doa kepadanya sehingga penglihatannya pun kembali seperti sedia kala.

Satu kelompok lain mengatakan bahwa doa sendiri pada dasarnya adalah ibadah. Nabi s.a.w. bersabda: “Doa adalah inti ibadah.” Lalu, mengerjakan sesuatu yang termasuk ibadah tentu jauh lebih baik ketimbang tidak mengerjakannya. Meskipun seandainya doanya tidak dikabulkan, ia tetap dianggap telah memenuhi hak Tuhannya karena doa memperlihatkan kehambaan. Orang yang ridha tidak akan berdoa kecuali untuk kebaikan. ‘Ā’isyah berkata: “Wahai Rasūlullāh, apabila aku mendapati Lailat-ul-Qadar, doa apa yang mesti aku panjatkan?” Nabi s.a.w. menjawab: “Mohonlah kepada Allah s.w.t. ampunan dan kesehatan.” (1174).

Pertanyaan yang sama juga pernah dilontarkan oleh paman Nabi s.a.w., yaitu ‘Abbās ibn ‘Abd-il-Muththalib. Beliau menjawab: “Mohonlah kepada Allah s.w.t. ampunan dan kesehatan di dunia dan akhirat.” ‘Abbās ibn ‘Abd-il-Muththalib berkata: “Aku bertanya lagi kepada beliau setahun kemudian, dan beliau memberikan jawaban yang sama.” (1185) Diriwayatkan oleh Abū Hurairah dari al-‘Alā’ ibn Ziyād bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak ada doa yang lebih dicintai oleh Allah s.w.t. selain ketika seorang hamba mengucapkan: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ampunan dan kesehatan (keselamatan) di dunia dan akhirat.” (1196).

Diriwayatkan oleh Anas bahwa Nabi s.a.w. pernah mengunjungi seorang laki-laki yang tengah sakit parah. Beliau bertanya: “Bagaimana kamu berdoa?” Laki-laki ini menjawab: “Aku mengucapkan: “Ya Allah, apabila Engkau hendak menghukumku di akhirat, maka segerakanlah itu untukku.” Beliau lalu bersabda: “Engkau takkan mampu (menanggung itu). Mohonlah kesehatan kepada Allah s.w.t.” (1207).

Kelompok lain menyatakan: “Permohonan hamba kepada Tuhannya agar diberi kelapangan dan dijauhkan dari musibah itu jauh lebih utama ketimbang diam dan ridha menerima apa yang terjadi.” Dalilnya adalah beberapa riwayat di awal. Doa memperlihatkan kerendahan dan kehambaan, kelemahan dan ketidakmampuan, serta kuatnya keyakinan karena mengharap keselamatan dan iman. Para nabi juga memohon kepada Allah s.w.t. agar diberi kesehatan, kelapangan, rezeki, dan anak.

Nabi Mūsā a.s. berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.” (al-Qashash [28]: 24).

Nabi Zakariyyā a.s. berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkaulah ahli waris yang terbaik.” (al-Anbiyā’ [21]: 89).

Nabi Ayyūb a.s. berkata: “Ya Tuhanku, sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (al-Anbiyā’ [21]: 83).

Nabi Yūnus a.s. berkata: “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zhalim.” (al-Anbiyā’ [21]: 87).

Allah s.w.t. berfirman: “Maka Kami kabulkan doanya.” (al-Anbiyā’ [21]: 88).

Adapun sabda Nabi s.a.w. kepada kaum Anshar: “Maukah kalian bersabar?!” bisa diartikan sebagai berikut. Mereka pada dasarnya meminta kesembuhan dan keterbebasan dari penyakit. Allah s.w.t. lalu menurunkan wahyu bahwa Ia s.w.t. takkan menghilangkan penyakit tersebut pada waktu itu juga, tetapi menangguhkannya di waktu lain.

Barang kali Nabi s.a.w. melihat mereka kurang memiliki kesabaran sehingga akhirnya menyuruh mereka untuk bersabar. Nabi s.a.w. lalu mendoakan mereka, dan karena itu beliau berdoa: “Ya Allah, pindahkanlah demamnya dan jadikanlah berada di Juhfah.” (1218) Nabi s.a.w. berdoa dan tidak melarang mereka berdoa, tapi menyuruh mereka agar bersabar. Jadi, berlaku sabar dianjurkan dan berdoa juga dianjurkan.

Barang kali juga Nabi s.a.w. mengetahui bahwa jika beliau mendoakan mereka maka penyakit yang mereka derita pasti hilang, padahal jika mereka mampu menanggung musibah tersebut maka ganjaran mereka adalah surga. Nabi s.a.w. bersabda: “Demam adalah bagian setiap mu’min dari (terkena) api neraka.” (1229) Beliau juga bersabda: “Barang siapa yang kedua matanya hilang (buta) di dunia maka tak ada balasan lain baginya selain surga.” (12310) Surga adalah sebaik-baik ganjaran, dan Nabi s.a.w. menganjurkan mereka pada yang terbaik dan yang paling utama. Di sini, mereka dianjurkan untuk berdoa.

Di konteks ini, para nabi tentu berbeda dengan manusia kebanyakan. Mereka diberi keutamaan oleh Allah s.w.t. Mereka diberi sesuatu yang terbaik bagi diri mereka dan bagi selain mereka. Di satu kesempatan, mereka memohon; dan di kesempatan lain mereka berdoa. Nabi s.a.w., misalnya, pernah memohon kesembuhan untuk Sa‘d. (12411) Di waktu lain, beliau bersabda pada orang-orang Anshār: “Maukah kalian bersabar?” tanpa mendoakan mereka karena beliau mengetahui apa yang terbaik bagi mereka.

Catatan:

  1. 114). Ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, hlm. 527.
  2. 115). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, Kitab al-Maradha, (hadits no. 5652).
  3. 116). Diriwayatkan oleh at-Tirmidzī, (hadits no. 2926). At-Tirmidzī berkata: “Hadits ini termasuk kategori hadits ḥasan gharīb.” Hadits ini disebutkan di kitab Jāmi‘-ul-Ushūl, VIII/500. Sanad hadits ini dilemahkan oleh Syaikh al-Arnaūth.
  4. 117). An-Nasā’ī, (hadits no. 499).
  5. 118). Sunan Ibnu Mājah, (hadits no. 3851).
  6. 119). Shaḥīḥ Muslim, (hadits no. 2688).
  7. 120). Diriwayatkan oleh Muslim, at-Tirmidzī, dan Aḥmad. Di bagian akhir hadits ini ditambahkan: “Subḥānallāh, sekali-kali engkau takkan mampu dan takkan bisa menanggungnya!. Ucapkanlah: “Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta peliharalah kami dari api neraka”.
  8. 121). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, (hadits no. 3926, 5654, dan 5677).
  9. 122). Musnad Imām Aḥmad, V/252 dan 264. Redaksinya adalah: “Demam adalah bagian dari didihan neraka Jahannam. Barang siapa yang terkena olehnya maka itulah bagiannya dari (terkena) api neraka.” Hadits ini kemudian dinukil dan dicantumkan oleh as-Suyūthī di kitabnya, al-Jāmi‘-ush-Shaghīr, I/520).
  10. 123). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, (hadits no. 4653).
  11. 124). Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, (hadits no. 5675).