Kisah-kisah Doa Mustajab – Al-Ma’tsurat (2/2)

Al-Ma’tsūrāt
Kitab Doa Tertua

Diterjemahkan dari: Ad-Du‘ā-ul-Ma’tsūru wa Ādābuhu wa Mā Yajibu ‘alad-Dā’i Ittibā‘uhu
Karya: Abū Bakr ath-Thurthūsyī al-Andalūsī
 
Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit: Zaman

5

Mutharrif ibn Mush‘ab berkata, ia menemui al-Manshūr. Ia mendapatinya dalam keadaan gundah, sangat bersedih, dan bahkan tidak mau berbicara karena telah kehilangan orang-orang yang dicintainya. Al-Manshūr berkata kepadanya: “Wahai Mutharrif, bantulah saya agar bisa keluar dari kedukaan yang tak bisa dihilangkan kecuali oleh Allah s.w.t. yang telah mengujiku dengannya ini. Apakah ada doa yang bisa aku haturkan kepada Allah s.w.t. supaya Dia s.w.t. menghilangkan kedukaan ini dariku?”

Mutharrif pun kemudian berkata: “Wahai Amīr-ul-Mu’minīn. Telah berbicara kepadaku Muḥammad ibn Tsābit, dari ‘Amr ibn Tsābit al-Bashrī berkata: “Seekor nyamuk masuk ke telinga seorang laki-laki dari Bashrah hingga ke rongga telinganya, membuatnya tidak bisa tidur memalaman. Seorang laki-laki pengikut al-Ḥasan lalu berkata padanya: “Berdoalah dengan doa al-‘Alā’ ibn al-Ḥadhramī (381), sahabat Nabi, yang pernah diucapkannya di padang pasir dan laut.”

Al-Manshūr lalu berkata kepada Mutharrif: “Doa apa itu? Semoga Allah s.w.t. merahmatimu.” Ia menjawab: “Suatu ketika, ‘Alā’ ibn al-Ḥadhramī diutus ke Bahrain. Di padang pasir ‘Alā’ dan rombongannya kehabisan perbekalan air. mereka sangat kehausan sekali sampai hampir meninggal dunia. ‘Alā’ lalu mengambil wudhu’, shalat dua rakaat, dan berdoa: “Wahai Dzāt Yang Maha Pemurah, wahai Dzāt Yang Maha Mengetahui. Wahai Dzāt Yang Maha Agung Siramilah kami!” Tiba-tiba kami melihat awan tebal bercampur halilintar seolah-olah seperti sayap burung, lalu turunlah hujan hingga membuat semua wadah kami penuh dengan air. Kami pun kemudian melanjutkan perjalanan sampai tiba di teluk, dan kami tidak mendapati satu buah kapal pun. ‘Alā’ lalu shalat dua rakaat dan berdoa lagi: “Wahai Dzāt Yang Maha Pemurah, wahai Dzāt Yang Maha Mengetahui. Wahai Dzāt Yang Maha Agung. Buatlah kami bisa melewati laut ini!” [Abū Hurairah berkata]: Kami pun bisa berjalan di atas air. Demi Allah, kaki kami sama sekali tidak basah, begitu pun khuff (sepatu) kami dan kuku binatang kami. Pasukan kami kala itu berjumlah sekitar 4000 penunggang kuda.”

Mutharrif berkata lagi: “Laki-laki dari Bashrah membaca doa itu. Tak lama berselang, sebuah dengungan keluar dari telinganya sampai membentur dinding telinganya, membuat nyamuk keluar dari telinganya.”

Al-Manshūr kemudian langsung menghadap kiblat, dan mengucapkan doa seperti doa ‘Alā’ selama beberapa saat. Setelah selesai, ia datang menghampiriku dan berkata: “Wahai Mutharrif. Allah s.w.t. telah menghilangkan dariku kedukaan.” Ia lalu mengundangku makan, dan aku pun makan bersamanya.

 

6

Dalam sebuah riwayat tentang doa orang yang tengah mengalami kesusahan yang amat-sangat dan darurat, dikisahkan bahwa seorang perempuan datang menemui Baqiyy ibn Makhlad (392), salah satu Syaikh terkemuka di Andalusia. Perempuan itu mengadu: “Anakku telah ditawan orang Romawi. (403), dan aku tidak memiliki apa-apa kecuali sebuah rumah kecil milikku, dan aku pun tidak mampu menjualnya. Seandainya engkau menunjuk orang yang menebusnya dengan sesuatu maka aku takkan memiliki malam dan siang, takkan bisa tidur dan tenang!”

Ibnu Makhlad berkata: “Ya, tunggulah sebentar sampai aku bisa mengetahui masalahnya, in sya’ Allah,” lalu menundukkan kepala dan menggerakkan kedua bibirnya. Beberapa waktu kemudian, si perempuan datang lagi menemui Ibnu Makhlad. Kali ini, ia membawa serta anaknya yang sudah bebas setelah ditawan. Ia berkata pada anaknya: “Ceritakan pengalamanmu.”

Sang anak pun mengisahkan:

“Aku ditawan oleh sejumlah raja di Romawi. Mereka memperlakukan kami dengan kasar dan selalu menyakiti kami, sementara kami terus dibelenggu. Suatu malam, kami kembali dari bekerja. Tiba-tiba belenggu di kakiku lepas begitu saja dan tergeletak jatuh di tanah. [Malam terjadinya ini adalah malam saat-saat sang Syaikh (Ibnu Makhlad) berdoa] Seorang penjaga langsung berteriak ke arahku: “Engkau telah melepaskan belunggu?!” Aku berkata: “Tidak! Belenggu ini lepas begitu saja dari kakiku.” Mereka lalu memanggil tukang pandai besi dan membelenggu kakiku untuk kali kedua. Ketika aku baru berjalan beberapa langkah, belenggu di kakiku pun lepas lagi. Mereka pun bingung, lalu memanggil sejumlah orang pintar di kalangan mereka. Salah satu dari mereka bertanya padaku: “Apa kamu mempunyai ibu?” Aku menjawab: “Ya.” Ia lalu berkata padaku: “Doa ibumu telah dikabulkan. Allah telah membebaskanmu, dan kami takkan menawanmu”. Mereka kemudian memberiku perbekalan dan mengantarkanku menuju daerah umat Islam.” (414).

 

7.

Dikisahkan bahwa terdapat seorang laki-laki yang rajin beribadah di istana Lūzah di daerah Munsatīr (425), yaitu sebuah dataran di Qayrawān. Laki-laki ini mengisahkan: Suatu malam, beberapa orang pencuri masuk ke istana dan mencuri isi rumah-rumah kaum Murābithīn. Mereka menghampiriku dan langsung menghentikan shalatku, lalu berteriak keras: “Serahkan semua barang milikmu. Jika tidak, kami akan menyiksamu!”

Aku berkata pada mereka: “Bertaqwalah kepada Allah s.w.t. Sekali-kali kemurahan Allah s.w.t takkan pernah menyesatkan kalian.” Mereka balik berkata: “Kami takkan melakukan apapun terhadapmu kecuali menyiksamu, jika engkau tidak mau menyerahkan barang-barangmu.” Mereka lalu mengluarkan seutas tali, menyingkap sarungku, dan ingin mengikat biji testisku dengan tali itu. Saat melihat bahaya mengancamku, aku melihat ke arah langit dengan dua mata yang menangis sembari mengucap: “Ya Tuhanku. Ini bukanlah prasangkaku kepada-Mu! Aku menyembah-Mu dan tidak pernah menyekutukan-Mu selama 70 tahun. Apakah Engkau akan merusak dan mengabaikan diriku di akhir hidupku? Tidak! Demi kemuliaan-Mu, ini bukanlah prasangkaku kepada-Mu.” Tiba-tiba tali yang mereka pegang terlepas begitu saja dari tangan mereka dan jatuh ke lantai. Mereka pun berlarian, kabur keluar meninggalkanku. Aku pun berkata: “Ya Allah, jangan biarkan seorang pun dari mereka tersisa di muka bumi ini!” Belum sampai 30 hari, mereka semua telah mati terbunuh.

 

8

Diriwayatkan oleh Ibrāhīm ibn ‘Aysyūn, dari ayahnya – seorang hamba Allah s.w.t. yang shalih dan rajin beribadah di Munsatīr – berkata: Ketika ayahku dalam kondisi naza‘ (hampir meninggal dunia), ia berkata: “Bawalah aku keluar ke satu tempat yang doaku pernah dikabulkan di sana, supaya aku bisa berdoa lagi.” Aku lalu menanyakan kisahnya. Ayahku pun menjawab: “Beberapa orang pencuri pernah mendatangiku, lalu menghentikan shalatku, dan berkata padaku: “Serahkan barang-barangmu!” Aku lalu berkata: “Segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah s.w.t., Mā syā’ Allāh. Tidak ada kebaikan yang datang kecuali dari Allah s.w.t., dan tidak ada keburukan yang hilang kecuali oleh Allah.” Aku mengucapkan ini terus-menerus dan hampir tak berhenti. Mereka kemudian merobek bajuku dan meninggalkanku di tempat ibadahku.

Terdapat enam kelompok di satu sisi, dan enam kelompok lain di sisi lain. Mereka semua mengangkat pedang hendak membunuhku. Saat melihat bahaya mengancam, aku langsung mengangkat kepalaku ke langit di bawah kilatan pedang dan berdoa: “Wahai Dzāt Yang Maha Penolong orang-orang yang memohon pertolongan, tolonglah aku.” Tiba-tiba pedang yang ada di tangan mereka berputar-putar begitu saja, dan jatuh ke tanah. Aku sendiri mendapati diriku berdiri di atas istana; aku tidak tahu bagaimana aku bisa berada di situ.”

Catatan:

  1. 38). Al-‘Alā’ ibn ‘Abdillāh al-Ḥadhramī, salah seorang sahabat yang ikut dalam berbagai penaklukan, yang ditugaskan oleh Nabi s.a.w. untuk menaklukkan Bahrain. Dikatakan bahwa al-‘Alā’ adalah orang muslim pertama yang melintasi laut untuk berperang. Ia meninggal dunia pada tahun 21 H.
  2. 39). ‘Abd-ur-Raḥmān Baqiyy ibn Makhlad ibn Yazīd al-Qurthubī (200-276), salah satu fuqahā’ besar di Andalusia, hafal al-Qur’ān, mufassir, ahli ibadah dan zuhud. Ia menimba ilmu ke Timur dan kembali dengan menguasai ilmu yang melimpah dan menulis sejumlah kitab penting, seperti at-Tafsīru wal-Musnad. Ia ahli wara‘ dan zuhud. Ia menyaksikan 70 peperangan. Baqiyya adalah orang pertama yang memperbanyak hadits di Andalusia dan menyebarkannya. Lihat: Siyaru A‘lam-in-Nubalā’, XIII/285 dan Nafḥ-uth-Thibb, II/518).
  3. 40). Dulu, orang ‘Arab menyebut pihak musuh asal Eropa dengan sebutan ar-Rūm (Romawi). Yang dimaksudkan di sini adalah negara-negara kecil di utara Spanyol.
  4. 41). Lihat: ash-Shilah, I/118; Jadzwat-ul-Muqtabis, hlm. 168; Nafḥ-uth-Thibb, II/519; Bughyat-ul-Multamis, hlm. 231; al-Muntazham, V/100-101; Mu‘jam-ul-‘Ubadā’, VII/84-85; dan al-Bidāyatu wan-Nihāyah, XI/56-57.
  5. 42). Munsatīr adalah benteng sangat tinggi dan besar antara al-Mahdiyyah dan Sūsah di Afrika, yang di dalamnya terdapat beberapa istana kaum Murābithīn, yang sudah sejak lama menjadi tempat beribadah bagi banyak orang.