Keutamaan Dzikir atas Sedekah

Dari Buku: Mutiara Ahli Dzikir (Judul Asli: Tuḥfat-udz-Dzākirīn)
Oleh: Ibnu al-Jazari
Penerjemah: Kamran As‘ad Irsyady, Zulfikri Muhammad. Editor: M. Iqbal K.
Syarah: Imam asy-Syaukani
Tahqiq: Abu Sahal Najah ‘Iwadh Shiyam
Pustaka Azzam

Rangkaian Pos: Mutiara Ahli Dzikir - Ibnu al-Jazari

1.2. Keutamaan Dzikir atas Sedekah

مَا صَدَقَةٌ أَفْضَلُ مِنْ ذِكْرِ اللهِ

“Tidak ada sedekah yang lebih utama daripada dzikir kepada Allah.” (H.R. ath-Thabrani). (71).
Takhrij hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab Mu‘jam Ausath, dari hadits Ibnu ‘Abbas r.a. Begitu juga diriwayatkan dalam al-Jāmi‘ ash-Shaghīr karya as-Suyuthi. Sementara al-Mundziri menyebut hadits ini di dalam at-Targhību wat-Tarhīb fī adz-Dzikr dengan menisbatkannya pada ath-Thabrani dari hadits Abu Musa dan dia menilai hadits tersebut ḥasan. Menurut al-Haitsami (penulis Majma‘ az-Zawā’id), para perawi dalam hadits Ibnu ‘Abbas tsiqah.

Makna hadits

Hadis ini merupakan dalīl (yang menjelaskan) bahwa dzikir (menyebut/mengingat nama dan keagungan) Allah s.w.t. lebih memiliki nilai keistimewaan dari semua jenis sedekah, sebab kata “sedekah” dalam hadits di atas berbentuk nakirah (indefinite) dalam konteks kalimat negatif, sehingga konotasi makna yang dimunculkan adalah sedekah yang bersifat umum. Akibatnya, tidak ada satupun jenis sedekah yang lebih utama daripada aktivitas dzikir kepada Allah s.w.t. Jika nilai sedekah tidak sejajar, maka sedekah lainnya pun berstatus di bawah dzikir. Sementara dzikir bisa jadi memiliki nilai pahala yang sama atau lebih utama, dan tidak pernah lebih rendah daripada sedekah.

Tanggapan ulama terhadap hadits ini dan jawabannya

Ketika menanggapi hadits ini, ada ulama yang mengatakan bahwa manfaat yang diperoleh dari sedekah māl (materi) bisa dirasakan oleh orang lain, sementara dzikir hanya dirasakan manfaatnya oleh diri pribadi si pedzikir, dan sesuatu yang melikili manfaat lebih luas lebih utama daripada sesuatu yang manfaatnya terbatas.

Menjawab tanggapan pendapat tersebut, al-Haitsami mengatakan bahwa yang dimaksud dzikir di sini bukan sekedar dzikir lisan (verbal), tetapi juga meliputi dzikir lisan sekaligus dzikir hati, dan dzikir dengan hati lebih afdhal, karena ia lebih efektif membentengi pelakunya dari kelalaian menjalankan ketaatan (ibadah) sekaligus menjauhkan dirinya dari segala perbuatan maksiat dan dosa.

Jawaban senada disampaikan pula oleh al-Baihaqi dalam kitab Syu‘ab al-Īmān, yang kemudian dinukil dan lebih dipertegas lagi oleh an-Nawawi, bahwa dzikir lisan (verbal) dengan melibatkan hati pengaktifan kedua organ tubuh (lisan dan hati) dalam aktivitas yang diridhai Allah s.w.t. lebih utama daripada pengaktifan satu orang saja, kemudian pengaktifan tiga organ tubuh lebih utama daripada pengaktifan dua organ tubuh, dan begitu seterusnya. Keterangan lebih lengkap mengenai masalah ini akan dibeberkan dalam uraian hadits berikutnya dan in sya’ Allah kami akan menyebutkan apa saja yang patut dijadikan patokan dan sandaran.

Catatan:


  1. 7). Diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani dalam ad-Du‘ā’ (1873). Lihat Majma‘ az-Zawā’id (X/74), at-Targhīb karya al-Mundziri (II/231), dan al-Jami‘ ash-Shaghīr karya as-Suyuthi (V/451). 

Sanggahan (Disclaimer): Artikel ini telah kami muat dengan izin dari penerbit. Terima kasih.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *