Kedatangan Utusan dari Berbagai Kabilah – Nurul Yaqin

NŪR-UL-YAQĪN
 
Judul Asli:
Nūr-ul-Yaqīn fī Sīrati Sayyid-il-Mursalīn
Penulis: Muhammad al-Khudhari Bek

 
Alih Bahasa: Muhammad Faisal Fadhil
Penerbit: UMMUL QURA
 
(Diketik oleh: Zulfa)

Kedatangan Utusan dari Berbagai Kabilah

Pada tahun ke sepuluh hijriah dan tahun sebelumnya, datang utusan dari berbagai kabilah kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk berbaiat kepada beliau di atas Islam. Mereka datang secara berbondong-bondong.

Mengingat kisah tentang para utusan ini mengandung ajaran-ajaran yang terpuji dan sangat penting diketahui maka pada pembahasan berikutnya kami sengaja akan mengemukakannya.

Utusan dari Najrān (411)

Utusan kaum Nashrānī dari Najrān yang menghadap Rasūlullāh s.a.w. berjumlah enam puluh orang. Setelah sampai di Madīnah, mereka langsung memasuki masjid. Mereka memakai jubah dan ridā’ dari sutra yang memakai jahitan benang emas.

Mereka membawa permadani yang di dalamnya terdapat gambar-gambar patung dan kain yang terbuat dari bulu. Hal itu sengaja mereka bawa untuk dihadiahkan kepada Nabi s.a.w. Nabi s.a.w. ternyata hanya mau menerima kain yang terbuat dari bulu dan menolak pemberian permadani. Ketika waktu shalat datang, mereka shalat di dalam masjid dengan menghadap ke arah Baitul-Maqdis. Setelah mereka menunaikan shalat, Rasūlullāh s.a.w. mengajak mereka masuk Islam, tetapi mereka menolak dan berkata: “Sesungguhnya kami telah Muslim sebelum kalian.”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ada tiga hal yang menyebabkan kalian tidak mau masuk Islam, yaitu kalian menyembah salib, memakan daging babi, dan dugaan kalian yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak.

Lalu mereka bertanya: “Siapakah orang yang seperti ‘Īsā penciptaannya?”

Maka pada saat itu, Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya:

Sesungguhnya permisalan (penciptaan) ‘Īsā di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Ādam. Allah menciptakan Ādam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah”, (seorang manusia) maka jadilah dia.” (Āli ‘Imrān: 59).

Untuk menampakkan kepada mereka bahwa sebenarnya mereka masih dalam keraguan tentang perkara yang mereka yakini itu, Allah s.w.t. menurunkan firman-Nya, yaitu:

Siapa yang membantahmu tentang kisah ‘Īsā sesudah datang ‘ilmu (yang meyakinkan kamu) maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, diri kami dan diri kalian, kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah, dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Āli ‘Imrān: 61)

Rasūlullāh s.a.w. mengajak mereka untuk bermubāhalah, tetapi mereka menolak dan lebih suka membayar jizyah, banyaknya seribu hullah pada bulan Shafar dan seribu hullah yang lain pada bulan Rajab. Untuk setiap hullah terdapat satu uqiyah emas. Kemudian mereka berkata kepada Rasūlullāh: “Kirimkanlah kepada kami seseorang yang dapat dipercaya dari kalangan kalian.” Maka Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan shahabat Abū ‘Ubaidah ‘Āmir bin al-Jarrāḥ untuk melaksanakan tugas itu. Maka sesudah peristiwa tersebut Abū ‘Ubaidah diberi julukan sebagai Amīnu hādzih-il-ummah, orang yang dipercaya dari umat ini.

Kedatangan Dhimām bin Tsa‘labah (422)

Pada suatu hari, Rasūlullāh s.a.w. sedang duduk bersama para shahabatnya. Tiba-tiba datang menghadap seorang lelaki dari kampung. Rambut lelaki itu kusut dan dari mulutnya terdengar suara, tetapi tidak dapat dimengerti.

Lelaki itu menderumkan unta yang dinaikinya di depan masjid, lalu ia berkata: “Siapakah di antara kalian anak ‘Abd-ul-Muththalib?” Para shahabat menunjukkannya. Lalu lelaki itu mendekat dan berkata: “Sesungguhnya aku akan banyak bertanya kepadamu, maka aku mohon engkau jangan marah kepadaku.”

Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Katakanlah apa yang hendak engkau tanyakan!

Lelaki itu bertanya: “Demi Allah, aku bertanya, apakah Allah yang telah mengutusmu kepada seluruh umat manusia?”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ya, benar.”

Lelaki itu bertanya: “Demi Allah, aku bertanya kepadamu, apakah Allah telah memerintahkan kepadamu supaya kami melakukan shalat lima waktu setiap hari?”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ya Allah, memang benar.”

Lalu lelaki itu bertanya kembali: “Demi Allah, aku bertanya kepadamu, apakah Allah telah memerintahkanmu untuk melakukan shaum selama satu bulan dalam satu tahun?”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ya Allah, memang benar.”

Lalu lelaki itu bertanya: “Demi Allah, aku bertanya kepadamu, apakah Allah telah memerintahkanmu supaya ‘ibādah haji dilakukan oleh setiap orang yang mampu mengadakan perjalanan hingga sampai kepadanya?”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ya Allah, memang benar.”

Setelah itu, lelaki tersebut berkata: “Sesungguhnya kini aku telah beriman dan percaya, aku adalah Dhimām bin Tsa‘labah.” (433)

Setelah lelaki itu pergi, Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Alangkah pandainya lelaki itu.” Selanjutnya, lelaki itu kembali kepada kaumnya dan mengajak mereka masuk Islam dan meninggalkan penyembahan berhala. Akhirnya, semua kaumnya masuk Islam.

Utusan dari ‘Abd-ul-Qais (444)

Utusan lain yang datang kepada Rasūlullāh s.a.w. ialah utusan dari ‘Abd-ul-Qais. Kisah kedatangan mereka bermula ketika pada suatu hari Rasūlullāh s.a.w. dan para shahabat sedang duduk-duduk, lalu beliau berkata kepada mereka: “Kelak akan datang suatu kafilah ke hadapan kalian, dari arah ini. Mereka terdiri dari penduduk daerah timur yang paling baik. Mereka masuk Islam bukan karena terpaksa. Kendaraan mereka telah letih dan bekal mereka pun telah habis semua. Ya Allah, ampunilah ‘Abd-ul-Qais.”

Ketika para utusan dari ‘Abd-ul-Qais itu melihat Nabi s.a.w., mereka langsung turun dari kendaraannya di depan pintu masjid, lalu mereka segera menyalami Rasūlullāh. Di antara mereka terdapat orang yang bernama ‘Abdullāh bin ‘Auf al-Asyaj. Dia adalah orang yang paling muda usianya di antara mereka. Ia tidak tergesa-gesa seperti teman-temannya, tetapi terlebih dahulu menderumkan kendaraannya, lalu turun dengan tenang. Setelah itu, ia membenahi barang-barang bawaannya. Kemudian ia mengeluarkan dua buah pakaian putih yang dibawanya, selanjutnya ia memakainya. Ia datang menghadap Rasūlullāh dengan langkah yang tenang hingga mengucapkan salam kepada beliau. Dia adalah orang yang rapi dan sopan. Hal ini diketahui oleh Rasūlullāh s.a.w. ketika ia melihat sikap dan gerak geriknya. Kemudian ‘Abdullāh berkata: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya tidak pantas untuk menghadap kepadamu sore hari ini dalam keadaan berpakaian seperti orang-orang tersebut sekalipun seseorang itu hanya dinilai dari dua anggota kecil, yaitu hati dan lisannya.” Maka Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

Sesungguhnya di dalam dirimu itu terdapat dua perhiasan (akhlāq) yang disukai oleh Allah dan Rasūl-Nya, yaitu penyantun dan tenang (tidak terburu-buru).” (455)

Rasūlullāh s.a.w. menyambut kedatangan mereka dengan hangat seraya berkata: “Selamat datang kepada kaum yang tidak akan terhina dan tidak akan menyesal.

Mereka menjawab: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya kami datang kepadamu dari daerah yang jauh, (466) dan sesungguhnya di antara negeri kami dan negerimu terdapat penghalang, yaitu suatu kabilah yang terdiri dari orang-orang kafir Mudhar. Kami tidak dapat sampai kepadamu selain pada bulan haram (bulan suci) maka berikanlah kepada kami perintah yang paripurna.”

Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Aku memerintahkan kalian untuk beriman kepada Allah. Tidakkah kalian mengetahui arti iman kepada Allah? Yaitu bersaksi bahwa tiada ilāh (yang berhak diibadahi) selain Allah dan bahwa Muḥammad adalah Rasūlullāh; mendirikan shalat; menunaikan zakat; melakukan shaum pada bulan Ramadhān, dan kalian harus memberikan seperlima dari ghanīmah. Aku melarang kalian minum ad-duba’, al-hantam, an-naqir, dan al-muzaffat.” Yang dimaksud dari keseluruhan ini adalah wadah untuk membuat khamar.

Lalu Al-Asyaj berkata: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya daerah kami iklimnya sangat ganas. Bilamana kami tidak meminum minuman tersebut, niscaya perut kami akan menjadi busung (membengkak). Berikanlah kemurahan kepada kami dalam hal seperti itu.” Ia mengatakan demikian seraya berisyarat dengan tangannya.

Lalu Rasūlullāh s.a.w. berisyarat dengan kedua tangannya pula seraya berkata kepadanya: “Hai Asyaj, bilamana aku berikan kemurahan kepadamu dalam keadaan seperti ini, niscaya engkau akan meminumnya pula dalam keadaan seperti ini (seraya membuka kedua tangannya dan merentangkannya). Maka, apabila seseorang di antara kalian mabuk karena minuman yang diminumnya, niscaya ia akan bangkit ke arah anak pamannya, lalu ia menetak betisnya dengan pedang.”

Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. melarang mereka akan hal ini secara khusus, mengingat banyaknya macam minuman keras di kalangan mereka.

Utusan dari Bani Ḥanīfah

Di antara para utusan dari Bani Ḥanīfah itu terdapat Musailamah al-Kadzdzāb (Musailamah si Pendusta). Sebelum itu, ia pernah mengatakan: “Bilamana ia (Nabi Muḥammad) memberikan kenabiannya kepadaku sesudahnya, niscaya aku mau mengikutinya.” Lalu Rasūlullāh s.a.w. menemui mereka. Pada waktu itu, Rasūlullāh s.a.w. bersama Qais bin Syammās, sedangkan di tangannya terdapat pelepah kurma. Rasūlullāh s.a.w. berdiri di hadapan Musailamah yang pada waktu itu bersama teman-temannya, kemudian ia berkata: “Jika engkau meminta pelepah ini, niscaya aku tidak akan memperlihatkan kepadamu sesuai dengan apa yang telah aku lihat dalam mimpiku.

Sebelum itu, Rasūlullāh s.a.w. bermimpi, di tangannya terdapat dua gelang emas. Hal ini tentu saja beliau susah. Kemudian Allah memberikan wahyu kepada beliau supaya meniup kedua gelang emas tersebut. Lalu beliau meniupnya dan keduanya terbang. Hal ini dita’wīlkan oleh Rasūlullāh s.a.w. sebagai adanya dua pendusta yang bakal datang sesudahnya. Ternyata, salah satu di antaranya adalah Musailamah, sedangkan orang yang kedua adalah Al-Aswad al-Ansi dari Shan‘ā’. Pada saat itulah orang-orang Bani Ḥanīfah masuk Islam. (477)

Utusan dari Thayyi’

Utusan lain yang datang kepada Rasūlullāh s.a.w. ialah orang Thayyi’. Di antara rombongan utusan terdapat Zaid al-Khail, pemimpin mereka. Mengenai pribadi Zaid al-Khail ini, Rasūlullāh s.a.w. telah berkata: “Tiada seorang pun dari orang ‘Arab yang dituturkan perihalnya kepadaku kecuali aku melihatnya di bawah yang diceritakan tentangnya kecuali Zaid al-Khail.” Sejak saat itu, Rasūlullāh s.a.w. memberinya julukan Zaid al-Khair (Zaid yang baik).

Utusan dari Kindah

Di antara utusan dari Kindah, terdapat seseorang yang bernama al-Asy‘ats bin Qais. Dia sangat dihormati dan disegani oleh kaumnya. Ketika mereka menghadap Rasūlullāh s.a.w., mereka menyembunyikan sesuatu seraya bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Coba tebak apa yang kami sembunyikan untukmu.”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Mahasuci Allah, sesungguhnya hal itu hanya dilakukan oleh tukang ramal, dan sebenarnya tukang ramal dan orang-orang yang meminta diramal akan terjerumus ke dalam neraka.”

Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Sesungguhnya Allah telah mengutusku dengan membawa perkara yang ḥaqq, dan Dia telah menurunkan sebuah Kitāb yang tidak datang kepadanya kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya.”

Kemudian mereka berkata: “Kalau demikian, bacakanlah kepada kami sebagian dari al-Kitāb itu.” Maka Rasūlullāh s.a.w. membacakan firman-Nya:

Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya, dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat), dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran. Sesungguhnya Tuhan kalian benar-benar Esa, Tuhan langit dan bumi dan apa yang berada di antara keduanya, dan Tuhan tempat-tempat terbit matahari.” (Ash-Shaffāt: 1-5)

Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. diam dan tenang, sedangkan air matanya membasahi pipinya. Mereka bertanya: “Sesungguhnya kami melihatmu menangis. Apakah karena engkau takut kepada Dzat yang telah mengutusmu?”

Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Sesungguhnya aku menangis karena takut kepada-Nya. Dia telah mengutusku membawa jalan yang lurus bagaikan tajamnya pedang. Bilamana aku menyimpang, niscaya aku akan binasa.”

Selanjutnya, beliau s.a.w. membacakan firman Allah yang lainnya yaitu:

Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu kamu tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami, kecuali karena rahmat dari Rabb-mu. Sesungguhnya karunia-Nya atasmu besar.” (Al-Isrā’: 86-87)

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Tidakkah kalian masuk Islam?

Mereka menjawab: “Ya, tentu saja.”

Rasūlullāh s.a.w. bertanya lagi: “Kalau memang demikian, lalu apakah artinya sutra yang terdapat pada leher kalian itu?

Seketika itu juga mereka merobek-robek selendang sutra mereka dan langsung mencampakkannya.

Utusan dari Azdi Syanū’ah

Utusan yang juga datang kepada Rasūlullāh s.a.w. ialah dari Azdī Syanū’ah. Pemimpin utusan itu adalah Shurad bin ‘Abdullāh al-Azdī. Mereka masuk Islam, dan Rasūlullāh s.a.w. mengangkat Shurad bin ‘Abdullāh al-Azdī menjadi pemimpin kaumnya. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memerintahkannya untuk melawan kaum musyrikīn yang tinggal di sekitar mereka.

Catatan:

  1. 41). Zād-ul-Ma-‘ād (3/633), dan Al-Bidāyatu wan-Nihāyah (5/48).
  2. 42). Shaḥīḥ-us-Sīrat-un-Nabawiyyah, hlm. 631.
  3. 43). Dia adalah Dhimam bin Tsa‘labah As-Sa‘dī, seluruh kaumnya masuk Islam melalui perantara dirinya. Ibnu ‘Abbās berkata: “Sungguh, kami tidak pernah mendengar duta terbaik melebihi Dhimam.”
  4. 44). Shaḥīḥ-us-Sīrat-un-Nabawiyyah, hlm. 631.
  5. 45). HR al-Bukhārī (503) dan Muslim (17).
  6. 46). Karena memang asal mereka adalah dari daerah teluk.
  7. 47). HR. al-Bukhārī (3621, 7034) dan Muslim (2274).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *