الْحَدِيْثُ
AL-ḤADĪTS
Ḥadīts artinya: yang baru, khabaran.
Ḥadīts dalam istilah ahli Ḥadīts, ditujukan kepada: “khabaran yang berisi ucapan, perbuatan, kelakuan, sifat atau kebenaran, yang orang katakan dari Nabi s.a.w., maupun khabaran itu sah dari Nabi s.a.w. atau tidak.”
Ḥadīts disebut juga: “Sunnah”, “Khabar”, dan “Atsar”.
Tetapi acapkali, yang mengandung sabda Rasūlullāh s.a.w. saja yang dikatakan Ḥadīts.
Ḥadīts yang menurut pemeriksaan, benar datangnya dari Nabi s.a.w., ‘ulama namakan “Shaḥīḥ” atau “Sah”.
Ḥadīts yang menurut pemeriksaan, tidak betul atau belum nyata benarnya dari Nabi s.a.w., ‘ulama sebut “Dha‘īf” atau “Lemah”.
Contoh yang “Shaḥīḥ”:
قَالَ النَّبِيُّ (ص): تَجِدُ مِنْ شَرِّ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِنْدَ اللهِ ذَا الْوَجْهَيْنِ الَّذِيْ يَأْتِيْ هؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَ هؤُلَاءِ بِوَجْهٍ. (البخاري)
Artinya: Telah bersabda Nabi s.a.w.: “Engkau akan dapati sejahat-jahat manusia pada hari Qiyāmat di sisi Allah, ialah orang bermuka dua, yaitu orang yang datang kepada satu golongan dengan satu muka, dan kepada golongan lain dengan satu muka (lain).” (Bukhārī) (11).
Ḥadīts ini, kita katakan “Shaḥīḥ” atau benar ucapan Rasūlullāh s.a.w., karena orang-orang yang menceritakannya semua kepercayaan, tidak ada yang tercela.
Contoh yang “Dha‘īf”:
عَنْ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ (ص) قَالَ: لَا يَقْرَإِ الْحَائِضُ وَ لَا النُّفَسَاءُ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْئًا. (الدارقطني)
Artinya: Dari Jābir, dari Nabi s.a.w., Beliau bersabda: “Tidak boleh perempuan yang berhaidh, dan tidak boleh (juga) perempuan yang bernifas (22), membaca satupun Ayat dari Qur’ān. (Dāraquthnī) (33).
Khabaran ini, kita namakan Ḥadīts, karena ada ucapan yang disandarkan kepada Nabi.
Ḥadīts ini, sesudah diperiksa, terdapat “Dha‘īf” atau “Lemah”, yakni bukan sabda Nabi, karena di antara orang-orang yang membawa omongan tersebut ada seorang tukang cerita yang oleh ‘ulama’ Ḥadīts dianggap suka memalsu Ḥadīts, namanya: Muḥammad bin al-Fadhl. (44).
Jelasnya: Dalam Ilmu Ḥadīts, tetap khabaran tersebut boleh dinamakan Ḥadīts, walaupun lemah.
Jadi, yang sebenarnya lemah itu, bukan sabda Rasūlullāh s.a.w., tetapi sabda yang orang katakan dari Nabi kita, padahal tidak dari Nabi s.a.w., atau belum tentu timbulnya dari Junjungan kita.
Catatan: