BĀB IV.
Imām Ibnu Al-Jauzi (Lihat Talbis Iblis, hlm. 2321-?), Imām Qurthubi (Lihat Tafsir Qurtuhbi, Jilid XIV, hlm. 51-54), Asy-Syaukāni (Lihat Nail-ul-Authar, Jilid VIII, hlm. 442) telah mencantumkan berbagai dalil tentang haramnya nyanyian dan penggunaan alat-alat musik, antara lain sebagai berikut:
(وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَ يَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِيْنٌ) (لقمان:6)
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahw-ul-hadis) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh ‘azab yang menghinakan. (31:6).
Sebagian sahābat seperti Ibnu ‘Abbās, Ibnu Mas‘ud dan tābi‘in seperti Mujāhid, Hasan Al-Basri, ‘Ikrimah, Sa‘id bin Zubair, Qatadah dan Ibrāhim An-Nakha‘i menafsirkan lahw-al-hadis dengan arti nyanyian atau menjualbelikan (menyewakan) biduanita (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 442). Begitu juga pendapat sebagian ahli tafsir, antara lain Imām Ibnu Katsir yang berkata (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 442): “Orang-orang celaka itu telah berpaling dari mendengarkan Kalāmullāh dan mengambil manfa‘atnya. Mereka cenderung mendengarkan suara seruling nyanyian dengan irama alat-alat musik yang melenakan.”
(أَ فَمِنْ هذَا الْحَدِيْثِ تَعْجَبُوْنَ وَ تَضْحَكُوْنَ وَ لاَ تَبْكُوْنَ وَ أَنْتُمْ سَامِدُوْنَ) (النجم:59 – 61)
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?. Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?. Sedang kamu melengahkan(nya)?” (53:59-61).
Ibnu ‘Abbās mengatakan bahwa maksud SĀMIDUUN ialah AL-GHINĀ (nyanyian) ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm.261). Kata tersebut diambil dari bahasa Kabilah Himyar. Kabilah ini sering berkata: SAMADA LANĀ GHANNA LANĀ” (mereka bernyanyi untuk kita). Pendapat Ibnu ‘Abbās ini didukung oleh pendapat yang sama dari Mujāhid dan ‘Ikrimah (Lihat Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis hlm. 231; dan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV, hlm.261).
(وَ اسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ….) (الإسراء:64)
“Dan asunglah (kobarkanlah, bujuklah, incite, stir up) siapa yang kamu sanggupi diantara mereka dengan suaramu (shautika)….” (17:64).
Perkataan Shautika (suaramu) yang ditujukan kepada Iblis serta digunakan untuk membujuk manusia. Maksudnya tidak lain adalah agar melakukan perbuatan maksiat, menurut Mujāhid ia tidak lain adalah nyanyian dan hiburan. ((Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid III, hlm. 50; Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis hlm. 232).
(لِيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَّ وَ الْحَرِيْرَ وَ الْخَمْرَ وَ الْمَعَازِفَ وَ لَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيْهِمْ يَعْنِي الْفَقِيْرُ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُوْا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَ يَضَعُ الْعَلَمَ وَ يَمْسَخُ الآخَرِيْنَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيْرَ إِلى يَوْمِ الْقِيَامَةِ)
“Sesungguhnya akan terdapat di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutra, arak dan alat permainan (musik). Kemudian segolongan (dari kaum Muslimin) akan pergi ke tebing bukit yang tinggi. Lalu para pengembala dengan ternak kambingnya mengunjungi golongan tersebut. Lalu mereka didatangi oleh seorang fakir untuk meminta sesuatu. Ketika itu mereka kemudian berkata: “Datanglah kepada kami esok hari.” Pada malam hari Allah membinasakan mereka, dan menghempaskan bukit itu ke atas mereka. Sisa mereka yang tidak binasa pada malam tersebut ditukar rupanya menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat.”
(تَبِيْتُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ عَلى أَكْلٍ وَ شُرْبٍ وَ لَهْوٍ وَ لَعْبٍ ثُمَّ يُصْبِحُوْنَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيْرَ وَ تُبْعَثُ عَلى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَائِهِمْ رِيْحٌ فَتَنْسِفُهُمْ كَمَا نُسِفَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِاسْتِحْلاَلِهِمْ الْخَمْرَ وَ ضَرْبِهِمْ بِالدُّفُوْفِ وَ اتِّخَاذِهِمِ الْقَيِّنَاتِ)
“Sekumpulan umatku melewati malam dengan makan, minum, hiburan, dan permainan. Esok harinya mereka ditukar dengan (rupa) monyet dan babi. Lalu kepada orang yang masih hidup di kalangan mereka diutus angin untuk memusnahkan mereka sebagaimana telah memusnahkan orang-orang terdahulu disebabkan karena sikap mereka menghalalkan arak, memukul rebana dan mengambil biduanita (untuk menyanyi) bagi mereka.”
Hadis ini datang melalui Sallam bin Miskin yang didengarnya dari seorang tua yang melihat Abi Wail hadir di suatu pesta pernikahan. Di pesta itu orang-orang asyik bermain, bersenang-senang dan bernyanyi bergembira. Waktu itu timbul hasrat Abu Wail untuk mencegahnya. Sambil melepaskan sorban Abu Wail berkata: “Kudengar dari Abdullāh bin Mas’ud bahwa dia pernah mendengar Rasulullāh bersabda:
(الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ)
“Lagu atau nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati.”
(فِيْ هذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ قَذْفٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ مَتَى ذلِكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْقِيَانُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ الْخُمُوْرُ)
“Pada umat ini berlaku tanah longsor, pertukaran rupa, dan kerusuhan.” Bertanya salah seorang di antara kaum Muslimin: ” Kapankah yang demikian itu akan terjadi, ya Rasulullāh?” Beliau menjawab: “Apabila telah muncul biduanita, alat-alat musik dan minuman arak di tengah kaum Muslimin.”
Pada suatu ketika Rasulullāh s.a.w. memegang tangan Abd-ur-Rahmān bin Auf. Beliau mengajaknya bersama-sama untuk membesuk (pay visit to patient) Ibrahim (anak beliau) yang sedang sakit. Ketika itu beliau melihat anaknya dalam keadaan sakaratul maut. Lalu Rasulullāh s.a.w. mengangkat anaknya dan memangkunya sambil menangis. Melihat hal ini Abd-ur-Rahmān bin Auf berkata: Adakah engkau, ya Rasulullāh menangis? Padahal engkau melarang kaum Muslimin melakukannya.”
Mendengar perkataan tersebut Rasulullāh s.a.w. bersabda:
(لاَ وَ لَكِنْ نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ خَمْشِ وُجُوْهٍ وَ شَقِّ جُيُوْبٍ وَ رَنَّةِ الشَّيْطَانِ) و في الحديث كَلام أكثر من هذا
“Tidak, aku tidak pernah melaramg orang menangis. Tetapi yang aku larang adalah mengenai dua macam suara dari orang tolol: suara ratapan orang yang ditimpa musibah yang disertai dengan mencakar muka dan merobek baju, dan teriakan Syaithān. (yakni suara suruhan dari setan yang mendorong orang untuk berteriak histeris).”
(لاَ يَحِلُّ تَعْلِيْمُ الْمُغَنِّيَاتِ وَ لاَ بَيْعُهُنَّ وَ لاَ شِرَاؤُهُنَّ وَ ثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ)
“Tidak boleh mengajari wanita-wanita (untuk menyanyi), tidak halāl memperjualbelikan mereka. Harga jual belinya juga harām.”
Imām Ath-Thabari kemudian berkata lagi: “Terhadap merekalah ayat enam surat Luqman diturunkan.”
(بُعِثْتُ بِكَسْرِ الْمَزَامِيْرِ)
“Aku diutus untuk menghancurkan seruling-seruling.”
Ibnu Ghailān juga meriwāyatkan bahwa Rasulullāh s.a.w. pernah bersabda:
(كَسْبُ الْمُغَنِّي وَ الْمُغَنِّيَةِ حَرَامٌ)
“Penghasilan penyanyi lelaki maupun perempuan adalah harām.”