Golongan yang Membolehkan Nyanyian dan Main Musik – Seni Dalam Pandangan Islam

SENI DALAM PANDANGAN ISLĀM.
Seni Vocal, Musik dan Tari.

Oleh: ‘Abd-ur-Raḥmān Al-Baghdādī.
 
Penerbit: GEMA INSANI PRESS.

BĀB V.

GOLONGAN YANG MEMBOLEHKAN NYANYIAN DAN MAIN MUSIK.

 

Imām Mālik, Imām Ja‘far, Imām Al-Ghazālī, dan Imām Abū Dāūd azh-Zhāhirī telah mencantumkan berbagai dalil tentang bolehnya nyanyian dan menggunakan alat-alat musik. Alasan-alasan mereka antara lain:

  1. Firman Allah Ta‘ālā:

(…وَ اغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتِ الْحَمِيرِ) (لقمان:19).

“….dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah bunyi keledai.” (31:19).

Imām al-Ghazālī mengambil pengertian ayat ini dari mafhūm mukhālafah. Allah s.w.t. memuji suara yang baik. Dengan demikian dibolehkan mendengarkan nyanyian yang baik. (Lihat Imām al-Ghazālī, IYĀ’ ‘ULŪM-ID-DĪN, Juz VI, Jilid II, hlm. 141).

  1. Ḥadīts Bukhāri, Tirmidzī, Ibnu Mājah, dan lain-lain dari Rubayyi‘ binti Mu‘awwidz ‘Afra.

Rubayyi‘ berkata bahwa Rasūlullāh s.a.w. datang ke rumah pada pesta pernikahannya (Pesta yang dimaksud di sini adalah pesta pernikahan yang didalamnya ada lelaki dan perempuan, tetapi dipisahkan jaraknya. Di dalam Islam ada tiga pesta, yakni (1) pesta pertunangan, (2) pesta pernikahan, (3) pesta percampuran). Lalu Nabi s.a.w. duduk di atas tikar. Tak lama kemudian beberapa orang dari jāriah (wanita budak)nya segera memukul rebana sambil memuji-muji (dengan menyenandungkan) untuk orang tuanya yang syahid di medan perang Badar. Tiba-tiba salah seorang dari jāriah itu berkata: “Di antara kita ini ada Nabi s.a.w. yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada esok hari.” Tetapi Rasūlullāh s.a.w. segera bersabda (Lihat SEJARAH AL-KARMĀNĪ, Jilid IX, hlm. 108-109; SUNAN AT-TIRMIDZĪ, Jilid III, hlm. 398-399; dan SUNAN AL-MUSTHAFĀ, hlm. 586):

(لاَ تَقُولِي هكَذَا وَ قُولِي كَمَا كُنْتِ تَقُولِينَ)

Tinggalkanlah omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.”

  1. Ḥadīts riwāyat Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a. Katanya (Lihat SHAḤĪḤ BUKHĀRĪ, adīts No. 949, 952; lihat juga SHAḤĪḤ MUSLIM, adīts No. 892 dengan lafazh lain):

“Pada suatu hari Rasulullāh masuk ke tempatku. Ketika itu disampingku ada dua gadis perempuan budak yang sedang mendendangkan nyanyian (tentang hari Bu’ats) (Bu’ats adalah nama salah satu benteng untuk Al-Aws yang jaraknya kira-kira dua hari perjalanan dari Madinah. Di sana pernah terjadi perang dahsyat antara kabilah Aus dan Khazraj tepat 3 tahun sebelum hijrah.) Kulihat Rasulullāh s.a.w. berbaring tetapi dengan memalingkan mukanya. Pada saat itulah Abū Bakar masuk dan ia marah kepadaku. Katanya: “Di tempat/rumah Nabi ada seruling syaithan?”. Mendengar seruan itu Nabi lalu menghadapkan mukanya kepada Abū Bakar seraya berkata:

(دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ)

Biarkanlah keduanya, hai Abū Bakar.”

Tatkala Abū Bakar tidak memperhatikan lagi maka aku suruh kedua budak perempuan itu keluar. Waktu itu adalah hari raya di mana orang-orang Sudan sedang menari dengan memainkan alat-alat penangkis dan senjata perangnya (di dalam masjid).”

  1. Ḥadīts riwāyat Imām Aḥmad, Bukhāri dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a. Katanya: “Aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshār. Maka Nabi s.a.w. bersabda:

(يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ مِنْ لَهْو فَإِنَّ الأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ)

Hai ‘Ā’isyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshār senang dengan hiburan (nyanyian).

Dalam ḥadīts yang diriwayatkan oleh Imām Aḥmad terdapat lafaz (Lihat Imām Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VI, hlm. 187):

(لَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّيهِمْ وَ يَقُولُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّونَا نُحَيِّيكُمْ فَإِنَّ الأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيهِمْ غَزَلٌ)

“Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang) wanita untuk bernyanyi sambil berkata dengan senada: “Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshār senang menyanyikan (lagu) tentang wanita.”

  1. Ḥadīts riwayat Imām Aḥmad dan Tirmidzī dari Buraidah yang berkata:

“Suatu hari Rasūlullāh s.a.w. pergi untuk menghadapi suatu peperangan. Setelah beliau pulang dari medan perang, datanglah seorang jāriah kulit hitam seraya berkata: “Ya Rasūlallāh, aku telah bernazar, yaitu kalau tuan dipulangkan Allah dengan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapan tuan.” Mendengar hal itu Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

(إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَ إِلاَّ فَلاَ)

Jika demikian nazarmu, maka tabuhlah. Tetapi kalau tidak, maka jangan lakukan.”

Maka jadilah ia menabuh rebana. Ketika tengah menabuh masuklah Abū Bakar. Tapi jāriah itu masih terus menabuh rebananya. Tak lama kemudian ‘Utsmān juga masuk, dan si penabuh masih asyik dengan rebana. Begitu pula halnya ketika ‘Alī masuk. Namun tatkala ‘Umar masuk, jāriah itu cepat-cepat menyembunyikan rebananya di bawah pinggulnya setelah dilemparkan, lalu didudukinya rebana itu. Melihat peristiwa itu Rasūlullāh s.a.w. berkata:

(إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَ هِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَ هِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَ هِيَ تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ)

“Sesungguhnya syaithan pun takut kepadamu, hai ‘Umar. Tadi ketika aku duduk di sini, jāriah ini masih memukul rebananya. Begitu pula ketika Abū Bakar, ‘Alī, ‘Utsmān masuk, dia masih memukulnya. Tetapi ketika engkau yang masuk hai ‘Umar, dia buru-buru melemparkannya.” (Tirmidzī menyebutkan bahwa adīts ini SHAḤĪḤ tingkatannya. Lihat Imām Asy-Syaukānī , NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VII, hlm. 119).

  1. Ḥadīts riwāyat an-Nasā’ī (dari) Qurazhah bin Sa‘ad (seorang tābi‘ī) yang pernah meriwāyatkan tentang apa yang terjadi dalam suatu pesta pernikahan. Ia berkata (Lihat SUNAN AN-NASĀĪ, Jilid VI, hlm. 135):

“Saya masuk ke rumah Qurazhah bin Ka‘ab dan Mas‘ūd Al-Anshārī. Tiba-tiba beberapa perempuan budak (jawārī) mulai bernyanyi-nyanyi. Maka saya bertanya:

(أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُوْلَ اللهِ (ص) وَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ وَ يُفْعَلُ هذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ: اِجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا وَ إِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ)

“Kalian berdua adalah sahabat Rasūlullāh s.a.w. dan pejuang di perang Badar. Kenapa hal yang begini kalian lakukan?” Qurazhah menjawāb: “Duduklah, kalau engkau mau. Mari kita dengar bersama. Kalau tidak, silahkan pergi. Sesungguhnya telah diperbolehkan bagi kita untuk mengadakan hiburan (nyanyian) apabila ada pesta perkawinan.” (Lihat SUNAN AN-NASĀĪ, Jilid VI, hlm.127):

  1. Ḥadīts ‘Abdullāh bin Aḥmad bin Ḥanbal dari ‘Amr ibnu Yaḥyā al-Mazinī dari datuknya, Abū Ḥasan yang mengatakan bahwa ḥadīts ini menceritakan kebencian Rasūlullāh s.a.w. terhadap pernikahan sirri (yang rahasia). Karena Itulah rebana ditabuh seraya didendangkan.(Lihat Imām Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VI, hlm. 187):

(كَانَ يَكْرَهُ نِكَاحَ السِّرِّ حَتّى يُضْرَبَ بِدُفٍّ وَ يُقَالُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّونَا نُحَيِّيكُمْ)

“Kami datang kepadamu, kami datang kapadamu, (karenanya) hormatilah kami. (Sebagai gantinya) kami akan menghormatimu.”

  1. Ḥadīts riwāyat Ibnu Mājah dari Anas bin Mālik.

Anas bin Mālik berkata: “Sesungguhnya Nabi s.a.w. melewati beberapa tempat di Madīnah. Tiba-tiba beliau berjumpa dengan beberapa jāriah yang sedang memukul rebana sambil menyanyikan: “Kami jāriah bani Najjār. Alangkah bahagianya bertetangga dengan Nabi besar.” Mendengar dendang mereka, Nabi s.a.w. bersabda (Lihat SUNAN MUSTHAFĀ, hlm. 586):

(اللهُ يَعْلَمُ إِنِّي لأُحِبُّكُمْ)

Allah mengetahui bahwa aku benar-benar sayang kepada kalian.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *