Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. A. Wahab Hasbullah (2/6)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

MEMBANGUN RUMAH TANGGA

Tercatat Kiai Wahab telah 8 kali melangsungkan perkawinan. Istri-istri Kiai Wahab adalah Maimunah binti Kiai Mas Musa Kertopaten Surabaya, Alwiyah binti Kiai Alwi Tamim Kertopaten Surabaya, Asna binti Said Surabaya, Fathimah binti Burhan, Fathimah binti Alı Mojokerto, Masmah (sepupu Asna binu Said), Aslıhah binti Abdul Majid dari Bangil Pasuruan, dan Sa’diyah (kakak Aslihah binti Abdul Majid).

Dari perkawinannya dengan Maumunah, Kiai Wahab dikaruniai seorang putra yang diberi nama Muhammad Wahib. Kelak Wahib menjadi Menteri Agama RI pada masa Orde Lama. Lalu dari pernikahannya dengan Alwiyah, Kiai Wahab memperoleh seorang putri yang diberi nama Khadijah (w. 1987). Khadijah menikah dengan Kiai Abdul Mun’im dari Bangil Pasuruan. Perkawinan Kiai Wahab dengan Asna membuahkan seorang putra yang bernama Muhammad Najib (w. 1987).

Fathimah binti Burhan dinikahi Kiai Wahab dengan status janda. Ketika itu, Fathimah telah memiliki seorang putra yang bernama Achmad Syaichu. Kelak Syaichu menjadi tokoh NU dan pernah menjadi wakil ketua DPR Gotong Royong (DPRGR) serta memprakarsai dibangunnya beberapa kompleks perumahan anggota DPR dan karyawannya.

Adapun pernikahan Kiai Wahab dengan Masmah membuahkan seorang putra yang diberi nama Muhammad Adib. Pernikahan dengan Aslihah membuahkan 2 orang putri yang diberi nama Djumiyatin dan Muktamarah. Dan dari pernikahan dengan Sa’diyah, Kiai Wahab mempunyai lima anak, yaitu Machfudhah, Hizbiyah, Mundjidah, Muhammad Hasıb, dan Muhammad Roqib. Sa’diyah dinikahi Kiai Wahab setelah Aslihah meninggal tahun 1939. Sa’diyah adalah kakak Aslihah. Dari istri-istri yang lain, Kiai Wahab tidak dikaruniai anak.

AKTIF BERORGANISASI

Kiai Wahab sedikit berbeda dengan para kiat pada umumnya. Meskipun perawakan tubuhnya kecil, dia adalah seorang kiai yang enerjik, penuh ide-ide segar, tegas sekaligus humoris. Tokoh NU dari Tambakberas Jombang ini dapat disebut sebagai aktifis dalam istilah mahasiswa sekarang. Dia banyak terlibat dalam pendirian beberapa organisasi. Pengalaman organisasinya diawali dari Pesantren Tebuireng. Ketika belajar kepada Kiai Hasyim, Kiai Wahab telah dipercaya sebagai lurah pondok atau ketua pondok. Lurah pondok dapat disejajarkan dengan ketua OSIS di kalangan siswa sekolah.

Kemudian ketika belajar di Mekkah, Kiai Wahab terlibat dalam pendirian Sarekat Islam (SI) cabang Mekkah. Kiai Wahab dibantu oleh Kiai Abbas dari Jember, Kiai Asnawi dari Kudus, dan Kiai Dahlan dari Kertosono. Sekedar informasi, Sarekat Islam adalah organisasi politik umat Islam Indonesia yang didirikan di Solo tahun 1911 dengan tokohnya yang paling terkenal adalah Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. SI adalah kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang berdiri di Solo tahun 1905 dengan tokoh utamanya adalah Hadji Samanhoedi. Kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya untuk mendirikan cabang organisasi ini di Mekkah menunjukkan rasa nasionalisme mereka yang tinggi. Mereka ingin agar Indonesia (Hindia Belanda) segera terlepas dari cengkraman penjajah asing. Dan SI merupakan kendaraan yang tepat saat itu karena merupakan organisasi dengan jumlah pengikut paling besar.

Pada tahun 1914 Kiai Wahab pulang ke tanah air setelah melakukan rihlah ilmiah selama 3 tahun di Mekkah. Tahun itu juga Kiai Wahab menikahi Maimunah, putri Kiai Mas Musa Kertopaten Surabaya. Kiai Wahab tinggal di daerah Kertopaten, tempat tinggal mertuanya. Awalnya Kiai Wahab mengajar al-Qur’an di madrasah yang dibangun mertuanya. Lalu mulailah Kiai Wahab menjadi kiai muda yang juga aktifis di Surabaya. Kiai Wahab tinggal di Surabaya sebelum ayahnya, Kiai Hasbullah Tambakberas, meninggal tahun 1926.

Kiai Wahab juga bergaul dengan tokoh-tokoh penting di kota ini. Kiai Wahab mendekati KH. Ahmad Dahlan, pengasuh Pesantren Kebondalem Surabaya. Kiai Wahab segera mengutarakan keinginannya mendirikan Taswirul Afkar, kelompok diskusi yang diikuti oleh para ulama dan kiai muda untuk mempertahankan sistem bermadzhab dalam beragama. Kiai Dahlan menyetujui-nya. Akhirnya tahun 1914 Kiai Wahab bersama KH. Mas Mansur berhasil mendirikan Taswirul Afkar.

Kegiatan kelompok diskusi ini berkembang pesat. Pada tahun 1919 Taswirul Afkar ditingkatkan menjadi madrasah untuk mendidik para pemuda Islam agar mengerti dasar-dasar agama. Kelompok diskusi tetap berjalan, tapi ada madrasah yang bernama Taswirul Afkar. Madrasah ini dipimpin oleh Kiai Dahlan dan muridnya mencapai ratusan yang semuanya berasal dari Surabaya. Awalnya madrasah ini bertempat di Ampel Suci, dekat Masjid Ampel Surabaya, lalu dipindahkan ke Jalan Pegiringan Surabaya.

Kelompok diskusi Tawirul Afkar sangat populer saat itu sehingga berkembang di hampir seluruh Jawa Timur. Gaungnya juga terdengar dari luar Jawa. Nama Taswirul Afkar sekarang dipakai sebagai nama jurnal yang diterbitkan oleh Lajnah Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU.

Kiai Wahab bersama Kiai Mas Mansur juga mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan di Kampung Kawatan Gang IV, Surabaya, pada tahun 1916. Kata nahdlatul wathan artinya “kebangkitan tanah air”. Sesuai dengan namanya, madrasah ini didirikan Kiai Wahab untuk membangun kesadaran politik melalui jalur pendidikan. Lagi-lagi di sini terlihat betapa besar rasa nasionalisme yang dimiliki Kiai Wahab.

Di madrasah ini, Kiai Wahab sebagai pimpinan dewan guru, Kiai Mas Mansur sebagai kepala madrasah, KH. Ridlwan Abdullah sebagai wakil kepada madrasah, dan KH. Abdul Kahar sebagai direktur. Biaya pembangunannya juga disokong tokoh-tokor besar saat itu, seperti Kiai Abdul Kahar, HOS. Tjokroaminoto, Soenjata dan R. Panji Soeroso. Ini tidaklah mengherankan karena HOS. Tjokroaminoto adalah pimpinan SI dan Kiai Wahab adalah pendiri SI cabang Mekkah.

Yang menarik, dalam susunan kepengurusan pengelola madrasah ini, Kiai Wahab memasukkan nama Sugeng, seorang sekretaris Pengadilan Tinggi Pemerintah Hindia Belanda. Ini menunjukkan naluri politik Kiai Wahab yang bagus. Dengan Kiai Wahab menarik Sugeng menjadi pengurus, pemerintah Hindia Belanda tidak akan curiga dengan Madrasah Nahdlatul Wathan atau akan membiarkannya berkembang. Dan ternyata strategi ini berhasil.

Di Malang, tepatnya di wilayah Singosari, KH. Masykur (kelak menjadi Ketua Umum Tanfidzıyah PBNU tahun 1952-1955) juga mendirikan madrasah yang diberi nama Misbahul Wathan (lampu tanah air). Karena tidak melibatkan orang pemerintah Hindia Belanda, madrasah ini banyak mengalami kesulitan dalam perkembangannya. Kiai Masykur segera menemui Kiai Hasyim di Tebuireng untuk mencari solusi atas permasalahannya. Kiai Hasyim menasehatinya agar menemui kiai muda yang tunggal di Kertopaten, Surabaya. Siapakah kiai muda yang dimaksud Kiai Hasyim? Tidak lain dia adalah Kiai Wahab Hasbullah.

Kiai Masykur segera menuju Surabaya untuk menemui Kiai Wahab. Oleh Kiai Wahab, Kiai Masykur dianjurkan agar menjadikan madrasah yang dibangunnnya di Singosari menjadi cabang dari Madrasah Nahdlatul Wathan. Kiai Masykur menyetujuinya. Beberapa saat kemudian Kiai Wahab pergi ke Singosari. Kemudian Kiai Wahab mengajak Kiai Masykur ke Kawedanan (semacam pemerintah setempat dalam istilah sekarang) dan mengatakan kepada pejabat setempat, bahwa Madrasah Misbahul Wathan adalah cabang dari Madrasah Nahdlatul Wathan di Surabaya. Cara ini akhirnya berhasil. Madrasah Misbahul Wathan aman dari gangguan pemerintah Hindia Belanda.

Tahun 1922 Kiai Mas Mansur yang bergabung ke dalam Muhammadiyah mengundurkan diri darı Taswirul Afkar dan Madrasah Nahdlatul Wathan. Kiai Mas Mansur bergabung ke dalam Muhammadiyah, bahkan menjadi pendiri Muhammadiyah cabang Surabaya dan kemudian menjadi pimpinan Pengurus Pusat Muhammadiyah. Kiai Mas Mansur tertarik dengan Muhammadiyah setelah kunjungan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, ke Surabaya tahun 1921.

Jabatannya di Nahdlatul Wathan diserahkan kepada KH. Mas Alwi Abdul Aziz yang masih tergolong sepupu Kiai Mas Mansur. Pada masa kepemimpinan Kiai Mas Alwi ini, Madrasah Nahdlatul Wathan mempunyai cabang di beberapa daerah lain, selain Singosari Malang, seperti Akhul Wathan di Semarang, Far’ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jombang, Far’ul Wathan di Malang, Ahlul Wathan di Wonokromo, Khitabatul Wathan di Pancarkeling, dan Hidayatul Wathan di Jagalan.

Kiai Wahab juga berperan dalam berdirinya Nahdlatut Tujjar tahun 1918 di Surabaya. Nahdlatut Tujjar adalah sebuah koperasi dagang dengan para kiai sebagai pemilik sahamnya. Organisasi ini dipimpin oleh Kiai Hasyım Tebuireng, sedangkan Kiai Wahab duduk sebagai bendahara. Para pemilik sahamnya adalah Kiai Hasyim, Kiai Wahab, Kiai Abdul Hamid Hasbullah (adik Kiai Wahab), Kiai Bisri Syansuri, dan lain-lain. Jalur usaha kegiatannya adalah Surabaya, Jombang dan Kediri. Surabaya di kawasan Ampel, dan Kediri di kawasan Pare. Adapun Jombang di daerah Tebuireng, Balung Ombo, Garuk (ketiganya di wilayah Kecamatan Diwek), Tambakberas, Denanyar, Pasar, Gedangan, Sembung (semuanya di wilayah Kecamatan Jombang), Ngelo (Ploso), Krapak, Gedong (keduanya di wilayah Gedong), Mayangan, Kapas (keduanya di wilayah Kecamatan Peterongan), Kabuan (Kudu), dan Ampel (Ngoro).

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *