Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. A. Wahab Hasbullah (3/6)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

(lanjutan)

Dan yang perlu diketahui, Kiai Wahab adalah satu-satunya orang nahdliyyin tempo dulu yang pernah menjalankan kegiatan ekonomi di bidang jasa perjalanan haji. Kiai Wahab juga menjadi pedagang beras yang dibeli dari keluarganya di Tambakberas. Dia juga pernah menjadi grosir gula dan batu mulia. Ini menunjukkan Kiai Wahab adalah tipe seorang kiai yang memiliki naluri bisnis yang bagus, selain naluri politik tentunya. Dan yang tidak kalah penting untuk diketahui, Kiai Wahab adalah satu di antara sedikit orang pribumi yang telah memiliki motor besar Harley Davidson!

Dengan pakaian kebesarannya, sarung, sorban putih dan sepatu, Kiai Wahab mengendarainya keliling Jombang-Surabaya. Pada tahun 1918 Kiai Wahab juga mendirikan madrasah yang diberi nama Mubdilfann di Pesantren Tambakberas Jombang, Kata mubdilfann berasal dari 2 kata dalam bahasa Arab, mubdi yang artinya “memperlihatkan” atau “mengekspresikan” dan fann yang artinya “disiplin ilmu”. Dengan nama ini, Kiai Wahab berharap madrasah ini dapat mengantarkan santri Tambakberas untuk menguasai disiplin ilmu dengan baik.

Yang menarik, Kiai Wahab memperkenalkan metode baru ke dalam madrasah yang didirikannya, yakni menggunakan sistem klasikal dan ada bangku belajarnya. Kiai Wahab melihat metode belajar di pesantren sebelumnya kurang efektif karena tidak ada jenjang pendidikan atau kelas dan tidak ada bangku sehingga kurang nyaman untuk belajar. Namun ternyata metode baru ini kurang disetujui ayahnya, Kiai Hasbullah. Menurut sang ayah, metode yang diperkenalkan Kiai Wahab ini menyerupai cara yang dipakai penjajah Belanda yang kafir. Oleh karena itu, Kiai Wahab memindahkan tempat belajarnya ke sebuah pesantren milik pamannya, Kiai Syafi’i, kurang lebih 1 km sebelah barat Pesantren Tambakberas. Dalam perkembangannya, madrasah yang didirikan Kiai Wahab mengalami kemajuan, sehingga Kiai Hasbullah mulai menyukai metode yang diperkenalkan anaknya ini. Lambat laut Kiai Hasbullah menerima ‘pembaharuan’ yang dilakukan Kiai Wahab. Lokasi Madrasah Mubdilfann sekarang menjadi kantor Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.

Sejak awal tahun 1920-an, mulai ada serangan dari kaum Muslim modernis kepada kaum Muslim tradisionalis. Kiai Wahab yang mewakili pihak Muslim tradisionalis tidak tinggal diam. Tahun 1924 Kiai Wahab membuka kursus masail diniyyah, yaitu kursus masalah- masalah agama untuk gererasi muda agar dapat mempertahankan pendapatnya dari serangan kaum Muslim modernis. Kursus ini dilaksanakan di gedung Madrasah Nahdlatul Wathan. Pertemuannya dilakukan seminggu 3 kali. Ada 65 peserta yang ikut. Mereka tidak hanya berasal dari Surabaya, tapi Jawa Timur pada umumnya, termasuk Madura, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Kiai Wahab dibantu oleh para kiai lainnya, sepertu Kiai Bisri Syansuri Denanyar Jombang, Kiai Abdul Halim Leuwimunding Cirebon, Kiai Mas Alwi Abdul Aziz Surabaya, Kiai Ridlwan Abdullah Bubutan Surabaya, Kiai Ma’shum Lasem Rembang, dan Kiai Khalil Lasem Rembang. Adapun dari generasi muda yang membantu Kiai Wahab adalah Abdullah Ubaid, Thahir Bakri, Abdul Hakim, Hasan, dan Nawawi. Semuanya berasal dari Surabaya dan kelak masuk dalam susunan kepengurusan NU periode awal.

Tahun 1925 Kiai Wahab menemui Kiai Mas Mansur, sahabatnya yang memilih bergabung ke dalam Muhammadiyah. Kiai Wahab ingin mendirikan organisasi untuk kalangan pemuda. Ide ini lahir karena adanya Indonesische Studie Club yang didirikan oleh Dokter Sutomo tahun 1924. Ini adalah organisası kalangan pemuda untuk memperdalam pengetahuan politik. Kiai Wahab juga aktif mengikuti diskusi di organisasi ini yang bermarkas di Bubutan Surabaya (sekarang sebelah utara Rumah Sakit Mardisantoso Bubutan).

Nah, Kiai Wahab ingin membentuk organisası sejenis namun khusus untuk pemuda Islam. Sayangnya, tidak ada kesepakatan antara Kiai Wahab dengan Kiai Mas Mansur. Persoalan khilafiyah adalah penyebab perbedaan pendapat dua sahabat ini. Kiai Mas Mansur akhirnya mendirikan organisasi yang bernama Pemuda Mardisantoso, sedangkan Kiai Wahab mendirikan organisasi dengan nama Syubbanul Wathan yang artinya “pemuda tanah air”. Sesuatu dengan artinya, organisasi ini didirikan untuk menghimpun kaum muda agar digodok menjadi kader-kader yang siap menjadi pemimpin masa depan. Syubbanul Wathan saat itu dipimpin oleh Abdullah Ubaid, kiai muda yang menjadi tangan kanan Kiai Wahab.

Sebagai seorang aktifis, Kiai Wahab memiliki pergaulan yang luas. Terkadang Kiai Wahab pergi ke Yogyakarta menemui KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, untuk menjalin tali silaturahmi dan berdiskusi dengannya. Kiai Wahab juga biasa berdialog dengan Syaikh Ahmad Soorkati, seorang ulama asal Sudan yang menjadi pemimpin Al-Irsyad, organisasi keturunan Arab non-Alawi (non-Ba’alawi / non-Habib –ed.).

Seperti disebutkan sebelumnya, Kiai Wahab memprakarsai didirikannya SI cabang Mekkah. Maka Kiai Wahab bersahabat dengan HOS. Tjokroaminoto yang menjadi ketuanya maupun tokoh-tokoh Sl lainnya. Kiai Wahab kenal baik dengan teman-teman HOS Tjokroaminoto, seperti KH. Agus Salim, Ki Hadjar Dewantoro, Wondoamiseno, Hendrik Sneevliet, Alımın, Muso, Abikusno Tjokrosujoso, maupun Soekarno muda yang saat itu indekos di rumah pimpinan SI ini. Oleh karena itu, tidaklah heran jika kelak Kıai Wahab dikenal dekat dengan Sang Proklamator ini.

Kiai Wahab dapat bersahabat akrab dengan orang- orang di luar pesantren, bahkan orang-orang sekuler, karena dua hal. Pertama, Kiai Wahab memang seorang kiai yang berjiwa aktifis yang menyukai organisası dan dunia pergerakan. Kedua, Kiai Wahab tinggal di Surabaya, kota yang saat itu menjadi tempat berkumpulnya tokoh- tokoh besar yang kelak menentukan perjalanan negeri ini Rumah HOS. Tjokroaminoto adalah tempat berkumpul-nya tokoh-tokoh tersebut. Pada tahun 1930-an, Kiai Wahab selain aktif di organisası, terutama NU, juga menggeluti dunia bisnis dan pengacara. Kiai Wahab menjadi agen perjalanan haji meneruskan mertuanya, agen beras dan gula-seperti disebutkan sebelumnya-serta menjadi pengacara yang handal di Jawa Timur.

MENDIRIKAN DAN BERKHIDMAH KEPADA NAHDLATUL ULAMA

Tahun 1920-an hubungan antara Muslim tradisionalis dan Muslim modern mulai memburuk. Untuk mengurangi ketegangan antara keduanya, umat Islam menyelenggarakan Kongres Al-Islam pertama di Cirebon, Jawa Barat, tahun 1921. Kongres ini berdasarkan usulan tokoh SI asal Cirebon, Bratanata. Pelaksanaannya dipimpin langsung oleh HOS. Tjokroaminoto yang dibantu KH. Agus Salim.

Namun dalam kongres ini justru perdebatan sengit yang terjadi. Kaum Muslim modernis diwakili oleh Muhammadiyah dan Al-Irsyad dengan juru bicaranya Syaikh Ahmad Soorkati melawan kaum Muslim tradisionalis dengan juru bicaranya Kiai Wahab dan Kiai Asnawi Kudus, dua tokoh yang kelak berperan dalam berdirinya NU. Kaum Muslim modernis mengecam tindakan kaum Muslim tradisionalis yang menjalankan agama dengan bermadzhab sebagai biang keladi kemunduran Islam. Sebaliknya, Kiai Wahab menuduh Muhammadiyah dan Al-Irsyad yang membuat madzhab baru dengan menafsirkan al-Qur’an semaunya sendiri. Kongres ini tidak berhasil menyatukan dua kubu yang berseberangan itu.

Meskipun tidak berhasil menyatukan dua kubu, kongres ini berhasil membentuk Central Comite Al-Islam (CCI), yaitu suatu badan khusus yang membahas soal khilafiyah (perbedaan pendapat) yang dipimpon oleh tokoh SI asal Garut yang bernama Soeroso. SI memang punya kepentingan dalam kongres ini maupun CCI, yaitu menyatukan umat Islam guna memperoleh dukungan politik yang besar setelah mengalami kemunduran akibat perpecahan dalam tubuhnya. Kongres Al-Islam kedua diselenggarakan di Garut Jawa Barat, tahun 1922. Kali ini kongres dipimpin oleh KH. Agus Salim dan seorang tokoh Muhammadiyah Agendanya adalah membahas anggaran dasar yang disebut ‘aturan permainan’ CCI. Sayangnya, kaum Muslim tradisionalis yang biasanya dipimpin Kiai Wahab tidak hadir. Kaum Muslim modernis dapat menyalurkan aspirasinya dengan leluasa tanpa ‘gangguan’ dari Kiai Wahab dan kawan-kawan.

Pada tahun 1924 terjadi sedikit ‘kegoncangan’ di dunia Islam: kekhalifahan Turki Utsmani telah dihapus oleh Mustafa Kemal dan tanah suci dikuasai oleh Ibnu Saud yang bergabung dengan kelompok Wahabi. Lalu, Raja Faisal dari Mesir mengusulkan agar diselenggarakan Kongres Islam Sedunia untuk membahas masalah khilafah (siapakah yang berhak menjadi khalifah), bukan masalah khilafiyah. Rencananya kongres ini berlangsung di Kairo Mesir pada bulan Maret 1925. Undangan pun disebar ke seluruh dunia Islam, termasuk CCI di negeri ini.

Namun karena CCI tidak begitu kuat mewakili umat Islam di tanah air akibat persoalan khilafiyah yang tidak selesai, maka pada tahun 1924 dibentuk badan khusus yang dinamakan Central Comite Chilafat (CCC) dengan anggota beberapa organisasi Islam. Yang terpilih sebagai ketua adalah W. Wondoamiseno. Pada tanggal 24-26 Desember 1924 CCC mengadakalan Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya. Kongres ini memutuskan bahwa khilafah harus dipegang ‘majelis ulama’. Dan yang terpilih sebagai …

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *