Biografi 7 Rais Am PBNU – KH. A. Wahab Hasbullah (1/6)

7 Rais Am PBNU
oleh: M. Solahudin

Penerbit: Nous Pustaka Utama
Kediri, Jawa Timur

Rais Am Syuriyah PBNU ke-2

KH. A. WAHAB HASBULLAH

KH. A. WAHAB Hasbullah adalah orang yang pertama kali bergelar Rais Am Syuriyah PBNU. Sebelumnya, KH M. Hasyim Asy’ari bergelar Rais Akbar. Kiai Wahab adalah tokoh NU yang dikenal akrab dengan Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno. Dialah tokoh NU memimpin NU keluar dari Masyumi sehingga menjadi partai politik tersendiri.

ASAL-USUL KELUARGA

Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro berakhir tahun 1830. Ada beberapa pembantu Pangeran Diponegoro yang berhasil meloloskan diri dari sergapan tentara penjajah Belanda. Di antara mereka adalah Abdussalam yang lebih terkenal dengan sebutan Mbah Shihah. Dalam pelariannya, Abdussalam sampai di kampung yang disebut Tambakberas, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang. Abdussalam bersama 25 pengikutnya sampai di Tambakberas tahun 1838. Lalu mengapa Abdussalam dipanggil dengan sebutan Mbah Shihah?

Konon suatu ketika Abdussalam menaiki kendaraan yang mendahului kendaraan yang dinaiki Orang Belanda tersebut merasa tersinggung karena orang Belanda. kendaraannya disalip kendaraan orang pribumi. Lalu dia diarahkan moncong senjatanya ke arah Abdussalam Abdussalam bukannya berlari, namun malah berteriak dengan keras sehingga orang Belanda tersebut jatuh pingsan. Nah, berteriak dalam bahasa Arab adalah shaihah, yang di lidah orang Jawa menjadi shihah. Maka, sejak saat itu orang-orang memanggil Abdussalam dengan sebutan Mbah Shihah. Jika melihat cerita ini, masyarakat Tambakberas saat itu telah mengenal Islam atau bahasa Arab. Karena, mereka tahu bagaimana mengarabkan kata ‘teriak’ ke dalam bahasa Arab.

Mbah Shihah ini adalah pendiri Pesantren Tambakberas, pesantren yang kelak diasuh oleh Kiai Wahab Hasbullah, Rais Am Syuriyah PBNU ke-2. Awalnya pesantren ini dinamakan Pesantren Selawe yang dalam bahasa Jawa berarti ‘pesantren duapuluh lima’ karena Mbah Shihah diikuti 25 orang pengikutnya. Mbah Shihah mempunyai istri bernama Muslimah. Pasangan Mbah Shihah dan Muslimah dikaruniai 10 orang anak, yaitu Layyinah, Fathimah, Marfu’ah, Jama’ah, Abu Bakar, Abdus Syakur, Ali, Mustahal, Fatawi dan Ma’un.

Mbah Shihah memiliki 2 murid yang paling disayanginya, yaitu Utsman dan Said. Mereka lalu dijadikan menantu oleh Mbah Shihah. Utsman dikawinkan dengan Layyinah, dan Said dikawinkan dengan Fathimah. Ustman lebih mendalami ilmu tasawuf atau tarekat, sedangkan Said lebih mendalami ilmu fikih. Utsman mempunyai anak yang bernama Asy’ari, dan Asy’ari punya anak yang diberi nama Muhammad Hasyim. Nama yang disebut terakhir ini kelak lebih dikenal dengan nama Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng Jombang dan Rais Akbar Nahdlatul Ulama. Pendapat lain menyebutkan bahwa Asy’ari adalah murid Utsman yang diambil menantu, bukan anak Utsman. Lalu Said mempunyai anak yang bernama Hasbullah, dan Hasbullah punya anak yang diberi nama Abdul Wahab. Nah, tokoh yang disebut terakhir ini adalah KH. A. Wahab Hasbullah. Jadi, Kiai Hasyim masih bersaudara dengan Kiai Wahab, sama-sama keturunan Mbah Shihah.

Kiai Wahab lahir di Tambakberas tahun 1888. Silsilah Said (kakek Kiai Wahab) jika ditelusuri ke atas akan sampai kepada Jaka Tingkir, penguasa Kerajaan Pajang, hingga akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w. Silsilah Kiai Wahab selengkapnya adalah Kiai Abdul Wahab bin Kiai Hasbullah bin Kiai Said bin Kiai Syamsuddin (menurunkan para pengasuh Pesantren Krapyak Yogyakarta) bin Kiai Nur Khalifah altas Pangeran Paku Praja (Trenggalek) bin Kiai Husain Fata Shalih alas Prabu Anom Kusuma bin Sayyid Abdul Jalil bin Sayyid Zainuddin bin Sayyid Isa bin Sayyid Abdul Wahid bin Sayyid Shalih alias Pangeran Santri bun Abdurahman alias Jaka Tingkir alias Sultan Pajang (menurunkan Mbah Nyai Lathifah, istri Kiai Hasbullah) bin Pangeran Pandan Arum ahas Abdullah Faqih alias Syihabuddin bin Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri) bin Sayyid Jamaluddin Husain (dikuburkan di pekuburan Al Baqi’ Mekkah) bin Sayyid Abdullah Khan bin Sayyid Amir Abdul Malik bin Sayyid Ali Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Ahmad Muhajir bin Sayyid al-Bashri bin Sayyid Muhammad an Naqib bin Sayyid Ali al-Andli bin Sayyid Ja’far ash Shadiq bin Sayyid Muhammad al-Baqir bin Sayyid Zainul Abidin bin Sayyid Husain bin Sayyidah Fathimah al-Zahra’ (istri Ali bin Abi Thalib) binti Nabi Muhammad s.a.w.

Seperti disebutkan di atas, Nyai Lathifah, istri Kiai Hasbullah, adalah keturunan dari Jaka Tingkir atau Sultan Pajang. Jadi, silsilah Kiai Hasbullah dan Mbah Nya Lathifah bertemu pada Jaka Tingkir. Selengkapnya silsilah Nyai Lathifah adalah Nyai Lathifah binti Nyai Abdul Wahab Tawangsari Sepanjang binti Nyai Abdullah Jayareka binti Nyai Urfiyah Awal Mojoduwur binti Kiai Jamali Tuyuhan Lasem bin Sayyid Abdurrahman alias Pangeran Sambu Lasem bin Sayyid Abdul Hakim Awal alias Benawa Surabaya bin Abdurrahmam alias Sultan Pajang alias Jaka Tingkir.

Kiai Hasbullah dan Nyai Lathifah mempunyai 5 orang anak. Kiai Wahab adalah anak tertua. Adik-adik Kiai Wahab adalah KH. Abdul Hamid, KH. Abdurrahim, Nyai Fathimah, dan Nyai Noor Khadijah yang diperistri KH. M. Bisri Syansuri, Rais Am Syuriyah PBNU ke-3.

MENUNTUT ILMU

Kiai Wahab hidup di lingkungan pesantren. Ayahnya, Kiai Hasbullah, adalah pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang. Hingga usia 13 tahun Kiai Wahab diajar langsung oleh ayahnya. Kiai Hasbullah mengajarkan dasar-dasar agama Islam, seperti tata cara shalat, cara membaca al-Qur’an, dan lain-lain. Ketika menginjak usia 15 tahun, Kiai Wahab mulai belajar di sejumlah pesantren. Memang biasanya anak kiai tetap belajar di pesantren lain, meskipun di rumah telah ada pengajian kitab kuning. Hal ini dilakukan untuk menambah pengalaman sang calon kiai (anak kiai) tersebut.

Beberapa pesantren yang pernah menjadi tempat Kiai Wahab belajar adalah Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Kademangan Bangkalan Madura, Pesantren Branggahan Kediri, dan Pesantren Tebuireng Jombang. Di Pesantren Mojosari, Kiai Wahab memperdalam ilmu fikih selama 4 tahun. Di Pesantren Kademangan Madura, Kiai Wahab memperdalam nahwu sharaf (tata bahasa Arab) kepada kiai paling kharismatik abad ke-19, Syaikhana KH. Muhammad Khalil. Di Bangkalan inilah Kiai Wahab berkenalan dengan Kiai Bisri Syansuri yang akhirnya menjadi sahabat akrab sekaligus adik iparnya. Tiga tahun lamanya Kiai Wahab belajar kepada Kiai Khalil.

Setelah selesai belajar, Kiai Khalil menganjurkan Kiai Wahab agar mondok ke Tebuireng yang diasuh oleh Hadratusy Syaikh H. M. Hasyim Asy’ari. Saat itu Kiai Hasyim telah terkenal sebagai ahli hadis yang sulit mencari tandingannya di tanah Jawa. Namun sebelum ke Tebuireng, Kiai Wahab menuju Kediri terlebih dahulu untuk belajar kepada Kiai Faqihuddin di Pesantren Branggahan. Di tempat ini Kiai Wahab memperdalam tasawuf dan tafsir. Baru kemudian Kiai Wahab menuju Tebuireng untuk memperdalam ilmu hadis kepada Kiai Hasyim. Empat tahun lamanya Kiai Wahab belajar di Tebuireng. Di pesantren ini Kiai Wahab juga bersama sahabat akrabnya, Kiai Bisri Syansuri. Kiai Wahab juga dipercaya sebagai lurah pondok atau ketua pondok Penunjukannnya sebagai lurah pondok adalah karena memang Kiai Wahab memang dikenal berjiwa aktivis atau menyukai organisasi.

Selanjutnya Kiai Wahab menuju tanah suci untuk memperdalam ilmu agama. Lagi-lagi dia bersama sahabat akrabnya, Kiai Bisri Syansuri. Tradisi para kiai tempo dulu memang seakan-akan harus belajar di tanah suci untuk menyempurnakan keilmuwannya setelah mondok di sejumlah pesantren. Di Mekkah Kiai Wahab berguru kepada sejumlah ulama besar yang di antara mereka berasal dari Indonesia, seperti Syaikh Muhammad Mahfuzh al-Turmusi (atau at-Tarmasi -ed.) (Tremas, Pacitan), Syaikh Muchtarom Banyumas, Syaikh Baqir Yogyakarta, Syaikh Abdul Hamid Kudus, Syaikh Ahmad Khatib al-Minankabawi (Sumatra Barat), Syaikh Sa’id al-Yamani, Syaikh Asy’arı Bawean, Syaikh Sa’id Ahmad Bakri, Syaikh Abdul Karim al-Daghistani, dan Syaikh Umar Bajnejed. Tiga tahun lamanya Kiai Wahab bermukim di tanah suci. Beberapa disiplin ilmu keislaman dipelajari Kiai Wahab, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, akidah, tasawuf, nahwu, sharaf, balaghah, mantiq, arudl, dan lain-lain. Kiai Wahab hafal sejumlah nazham atau syair-syair dalam bahasa Arab, seperti Alfiyah Ibnu Malik (nahwu-sharaf) dan Burdah (shalawat).

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *