Asma’ Allah Teragung dalam Berdoa – Al-Ma’tsurat (1/3)

Al-Ma’tsūrāt
Kitab Doa Tertua

Diterjemahkan dari: Ad-Du‘ā-ul-Ma’tsūru wa Ādābuhu wa Mā Yajibu ‘alad-Dā’i Ittibā‘uhu
Karya: Abū Bakr ath-Thurthūsyī al-Andalūsī
 
Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Asma’ Allah Teragung dalam Berdoa - Al-Ma’tsurat

7.

Asmā’ Allah Teragung dalam Berdoa

 

Tersiar di kalangan umat dan tersebut luas di kalangan penganut kitab al-Qur’ān, penganut kitab Taurat, dan penganut kitab Injil bahwa Allah s.w.t. mempunyai nama paling agung yang jika dibuat untuk berdoa maka Dia s.w.t. pasti akan mengabulkan dan jika dibuat untuk memohon sesuatu maka Dia s.w.t. pasti akan memberikannya.

Kami akan menghadirkan sejumlah riwayat dari Nabi s.a.w., beberapa teks al-Qur’ān, dan teks-teks sahabat, tabi‘in, dan generasi salaf terkait hal tersebut.

Allah s.w.t. berfirman: “Dan bacakanlah (Muḥammad) kepada mereka, berita orang yang telah Kami berikan ayat-ayat Kami kepadanya, kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu.” (al-A‘rāf [7]: 175). Menurut Ibnu ‘Abbās, Ibnu Isḥāq, as-Suddī, al-Muqātil, dan selainnya: “Orang yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah seorang laki-laki dari Bani Isrā’īl bernama Bal‘ām ibn Bā‘ūrā’. Laki-laki itu memiliki nama agung Allah s.w.t. (karena saking alimnya, dan doanya selalu mustajab, penerj.).”

Bani Isrā’īl dipimpin oleh seorang raja. Di antara mereka, terdapat seorang laki-laki yang diberi nama dengan nama agung Allah s.w.t. (doanya selalu dikabulkan Allah s.w.t.). Sang raja pun meminta agar Bal‘ām didatangkan ke hadapannya. Tapi, ia bersembunyi hingga kemudian ditemukan dan dibawa ke hadapan raja. Sang raja berkata: “Berdoalah untukku terhadap sapi jantan yang belum pernah dipekerjakan ini (belum jinak).” Dihadirkanlah seekor sapi jantan warna merah yang tak seorang pun bisa mendekatinya karena saking galaknya. Bal‘ām kemudian berdiri dan membisikkan sesuatu ke telinga sapi. Sapi jantan itu seketika jerum dan diam. Bal‘ām lalu berkata pada sang raja: “Engkau pasti akan berhenti memimpin Bani Isrā’īl dan berhenti dari semua perbuatan yang engkau lakukan terhadap mereka. Jika tidak, engkau akan mengalami seperti yang dialami oleh sapi jantan ini.” Setelah kejadian ini, sang raja mencegah dirinya untuk mempimpin kembali Bani Isrā’īl.

Allah s.w.t. berfirman: “Seseorang yang mempunyai ilmu dari Kitab berkata: “Akulah yang akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” (an-Naml [27]: 40). Menurut sebagian besar mufassir, seperti Qatādah dan selainnya, yang dimaksud oleh ayat ini adalah Āshif ibn Barkhiyā, seorang laki-laki yang jujur dan mengetahui nama Allah s.w.t. paling agung – nama Allah s.w.t. yang jika dibuat untuk berdoa maka Dia s.w.t. pasti akan mengabulkan dan jika dibuat untuk memohon sesuatu maka Dia s.w.t. pasti akan memberikannya. (431)

Menurut Ibnu ‘Abbās, Āshif berkata pada Nabi Sulaimān: “Bukalah lebar-lebar kedua matamu dan tahanlah sampai engkau berkedip.” Nabi Sulaimān pun melakukan permintaan ini. Āshif lalu berdoa kepada Allah s.w.t., dan Allah s.w.t. kemudian mengirimkan malaikat yang membawa ranjang dari bawah tanah dengan sangat cepat sekali sampai-sampai tanah itu terbelah.

Diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah bahwa Nabi s.a.w. pernah bersabda: “Nama teragung Allah s.w.t. yang dipakai berdoa oleh Āshif adalah Yā Ḥayy ya Qayyūm.” (442).

Menurut az-Zuhrī, doa yang diucapkan oleh orang yang mengetahui ilmu dari Kitāb adalah: “Ya Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan melainkan Engkau. Datangkanlah untukku singgasananya (maksudnya; singgasana ratu Balqis).” (453).

Menurut Mujāhid, nama teragung Allah s.w.t. yang dipakai berdoa oleh orang tersebut adalah: Yā dzal-Jalāli wal-Ikrām.

‘Alī ibn Shāliḥ berkata: Seorang laki-laki berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dengan nama-Mu yang dipakai berdoa oleh orang yang mempunyai ilmu dari Kitāb dan Engkau mengabulkannya.” Doa laki-laki ini pun dikabulkan oleh Allah s.w.t.

Menurut Ibnu Zayd, orang yang memiliki ilmu dari Kitāb adalah seorang laki-laki shalih yang berasal dari daerah laut. Pada hari itu, ia keluar untuk melihat siapa saja yang tinggal di bumi dan apakah mereka menyembah Allah s.w.t. atau tidak. Ia pun bertemu dengan Sulaimān, lalu berdoa dengan salah satu nama Allah s.w.t. hingga tiba-tiba sebuah singgasana sudah berada di depan mata Sulaimān sebelum kedua mata Sulaimān berkedip. (464).

Allah s.w.t. berfirman: “Dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babilonia, yaitu Hārūt dan Mārūt.” (al-Baqarah [2]: 102).

*Missing(475)

Qatādah, as-Suddī dan al-Kalbī berkata: “Hārūt dan Mārūt menjadi hakim di antara manusia. Saat malam tiba, keduanya menyebut nama teragung Allah s.w.t. dan naik ke langit. Suatu hari, keduanya melihat Zuhrah (486), seorang perempuan tercantik pada masanya dan merupakan raja di negerinya. Keduanya pun tergila-gila dan tergoda pada diri Zuhrah. Tapi, Zuhrah menolak dan berkata: “Kalian berdua takkan pernah bisa mendapatkan diriku sampai kalian berdua mau memberitahuku tentang bagaimana cara kalian bisa naik ke langit.”

Hārūt dan Mārūt menjawab: “Dengan nama Allah yang paling mulia dan agung.” Keduanya lalu mengajarkan nama itu kepada Zuhrah. Zuhrah pun mengucapkan apa yang telah diajarkan oleh keduanya hingga dirinya bisa naik ke langit. Allah s.w.t. kemudian mengubah wujud Zuhrah menjadi satu bintang.

Al-Qādhī Abū Bakar Muḥammad ath-Thayyib (497) di kitab al-Muqni‘ berkata: Banyak ahli ilmu yang menyebutkan bahwa yang diturunkan oleh Allah s.w.t. kepada dua malaikat (Hārūt dan Mārūt) di Babilonia adalah nama teragung Allah s.w.t. yang membuat Zuhrah bisa naik ke langit. Sebelum mendapat murka dari Allah s.w.t., kedua malaikat ini naik ke langit dengan menggunakan nama teragung Allah s.w.t. tersebut. Nama ini diketahui oleh syaithan, dan syaithan lalu mengajarkannya pada anak-anaknya dan juga mengajarkan sihir pada mereka. Zuhrah adalah seorang pelacur di Bani Isrā’īl, yang – saat mengetahui nama teragung Allah s.w.t. tersebut – naik ke langit, lalu ditahan dan diubah wujudnya menjadi sebuah bintang.

Al-Qādhī berkata: “Akal takkan menolak sedikit pun dari itu semua. Jadi, ketahuilah itu.”

Diriwayatkan bahwa malaikat maut menggenggam ruh-ruh dengan doa dan dengan nama teragung Allah s.w.t. yang dikhususkan untuknya. Riwayat ini menggugurkan pandangan orang yang mengingkarinya. Bagaimana mungkin malaikat maut bisa merenggut ruh (nyawa) dari kejauhan?! Bagaimana mungkin malaikat maut bisa menggenggam banyak ruh di berbagai belahan bumi yang berbeda dan berjauhan?!

Ayat-ayat al-Qur’ān yang kami sebutkan di awal mengundang perbedaan pandangan di kalangan sahabat dan tabi‘in dalam menafsirkannya. Menurut kami, permasalahan ini bisa dilihat dari dua sisi.

Pertama, nama Allah s.w.t. yang paling agung sudah dikenal di kalangan sahabat, tabi‘in, dan orang-orang muslim sesudah mereka. Tak ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya. Mereka hanya berbeda pendapat tentang penafsiran ayat-ayat tersebut. Sebagian mengatakan bahwa yang dimaksud oleh ayat-ayat itu adalah nama teragung Allah s.w.t., tapi sebagian lain menyatakan bahwa yang dimaksud adalah hal lain. Yang jelas, mereka tidak mengingkari adanya nama Allah s.w.t. yang paling agung dan mulia.

Kedua, ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam mena’wīlkan atau menafsirkan sebuah ayat, maka yang harus dimenangkan adalah pendapat Ibnu ‘Abbās. Alasannya, Nabi s.a.w. pernah menepuk dada Ibnu ‘Abbās dan bersabda: “Ya Allah, ajarkanlah ia ta’wīl” (508) Terbukti, Ibnu ‘Abbās termasuk salah satu pakar tafsir dan ta’wīl terkemuka.

Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd (519) dalam Sunan-nya berkata: Telah berkata pada kami ‘Abd-ur-Raḥmān ibn ‘Ubaydillāh al-Ḥalbī: telah berkata pada kami Khalaf ibn Khalīfah dari Ḥafsh ibn Anas, dari Anas berkata bahwa dirinya tengah duduk bersama Rasūlullāh s.a.w., dan melihat seorang laki-laki tengah mengerjakan (shalat) dan berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan segala puji untuk-Mu. Tidak ada Tuhan selain Engkau, wahai Dzāt Yang Maha Memberi, Pencipta langit dan bumi, wahai Dzāt Yang Maha Mulia dan Maha Sempurna, wahai Dzāt Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri.” Nabi s.a.w. lalu bersabda: “Ia (laki-laki itu) telah berdoa pada Allah s.w.t. dengan nama-Nya yang paling agung, yang jika dibuat untuk berdoa maka Dia pasti akan mengabulkan dan jika dibuat untuk memohon sesuatu maka Dia pasti akan memberikannya.”

Rantai periwayatan dalam hadits ini telah dibahas oleh kalangan ahli hadits. Terkait Khalaf ibn Khalīfah, Yaḥyā ibn Mu‘īn berkata: “Mereka (kalangan ahli hadits) menuduhnya sebagai pembohong, dan dianggap cacat oleh Aḥmad ibn Ḥanbal dan selainnya.” (5210).

Adapun Ḥafsh ibn ‘Amr adalah dha‘īf (tidak bisa dipercaya) dan tidak diterima riwayatnya. (5311).

Diriwayatkan juga oleh Abū Dāwūd melalui sanad yang shalih (layak): Telah berkata pada kami ‘Abdullāh ibn Buraydah, dari ayahnya bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah mendengar seorang laki-laki berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku bersaksi bahwa Engkau, Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Yang Maha Esa dan tempat meminta segala sesuatu, Yang tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya.” Nabi s.a.w. lalu bersabda pada laki-laki ini: “Engkau telah memohon kepada Allah s.w.t. dengan nama-Nya yang jika dibuat untuk berdoa maka Dia s.w.t. pasti akan mengabulkan dan jika dibuat untuk memohon sesuatu maka Dia s.w.t. pasti akan memberikannya.”

Diriwayatkan pula oleh Abū Dāwūd, Rasūlullāh s.a.w. pernah mendengar seorang laki-laki berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa Engkau, Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Engkau, Yang Maha Esa dan tempat meminta segala sesuatu, Yang tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya.” Nabi s.a.w. lalu bersabda pada laki-laki ini: “Engkau telah memohon kepada Allah s.w.t. dengan nama-Nya yang jika dibuat untuk berdoa maka Dia s.w.t. pasti akan mengabulkan dan jika dibuat untuk memohon sesuatu maka Dia s.w.t. pasti akan memberikannya.” (5412)

Abū Dāwūd meriwayatkan dari jalur lain, dari Mālik ibn Mighwal. Nabi s.a.w. bersabda: “Engkau telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang paling agung.” (5513)

Abū Dāwūd berkata (5614): Telah berkata pada kami Musaddad ibn Musarhid: telah berkata pada kami ‘Īsā ibn Yūnus: telah berkata pada kami ‘Ubaydillāh ibn Abī Ziyād dari Syahr ibn Hawsyab, dari Asmā’ binti Yazīd bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Nama Allah s.w.t. yang paling agung terdapat di dua ayat ini: “Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (al-Baqarah [2]: 163) dan pembuka surah Āli ‘Imrān: “Alif Lām Mīm. Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri.” (Āli ‘Imrān [3]: 1-3).

Syahr ibn Hawsyab (5715) cacat dalam penukilan riwayat tersebut. Menurut sebagian ahli hadits, ia adalah seorang laki-laki shalih dan termasuk kategori perawi yang lemah (tidak bisa dipercaya). Bahkan, ia pernah mengambil kharīthah (sejenis kantong dari kulit) dari Bait-ul-Māl – sampai-sampai sebuah penyair mengatakan:

Syahr telah menjual agamanya dengan kharithah
Maka siapa yang akan percaya padamu setelahmu, wahai Syahr!

Dikatakan: “Ia (Syahr) mempunyai hak di Bait-ul-Māl, dan orang yang mengambil haknya tidak bisa dikatakan cacat.”

Diriwayatkan oleh Abū Ja‘far ath-Thaḥāwī di Musykil-ul-Ḥadīts, Nabi s.a.w. pernah mendengar Seorang laki-laki berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu karena Engkau adalah Maha Esa dan tempat meminta segala sesuatu, tidak mengambil teman ataupun anak.” Nabi s.a.w. lalu bersabda: “Ia telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang jika dibuat untuk berdoa maka Dia s.w.t. pasti akan mengabulkan dan jika dibuat untuk memohon sesuatu maka Dia s.w.t. pasti akan memberikannya.” (5816).

Abū Ja‘far berkata: (5917), Rasūlullāh s.a.w. mendapati seorang laki-laki yang tengah mengerjakan shalat dan berdoa: “Ya Allah, bagi-Mu segala pujian, tidak ada tuhan selain Engkau, wahai Dzāt Yang Maha Memberi, Dzāt Yang Menciptakan langit dan bumi, wahai Dzāt Yang Maha Mulia dan Maha Sempurna.” Rasūlullāh s.a.w. lalu bertanya pada sekelompok sahabat: “Apakah kalian tahu doa apa yang telah diucapkan oleh laki-laki ini?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasūl-Nya jauh lebih tahu.” Beliau kemudian bersabda: “Ia berdoa pada Tuhannya dengan nama-Nya yang paling agung, yang jika dibuat untuk berdoa maka Dia s.w.t. pasti akan mengabulkan dan jika dibuat untuk memohon sesuatu maka Dia s.w.t. pasti akan memberikannya.”

Catatan:

  1. 43). Tafsīr ath-Thabarī, XIX/103-104 dan Tafsīr al-Qurthubī, XIII/203-206.
  2. 44). Tafsīr al-Qurthubī, XIII/204.
  3. 45). Tafsīr ath-Thabarī, XIX/102 dan Tafsīr al-Qurthubī, XIII/204.
  4. 46). Dalam Tafsīr ath-Thabarī, XIX/102-103 disebutkan: Yūnus telah berkata padaku: Ibnu Wahb telah mengkhabarkan kepada kami: Ibnu Zayd berkata: ‘Ifrīt dari bangsa Jinn berkata: “Aku akan menghadirkannya (singgasana) ke hadapanmu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu. Sungguh, aku orang yang kuat dan bisa dipercaya.” Pada hari yang sama, seorang lelaki dari daerah laut keluar dan mendengar janji ‘Ifrit tersebut. Laki-laki ini lalu berkata: “Aku akan menghadirkannya ke hadapanmu sebelum kedua matamu berkedip.” Laki-laki ini lalu berdoa menggunakan salah satu nama Allah s.w.t. yang agung. Tiba-tiba dengan sekejap singgasana sudah berada di hadapannya.
  5. 47). Tafsīr ath-Thabarī, I/1359-365 dan Tafsīr al-Qurthubī, II/51-52.
  6. 48). Di sejumlah kitab tafsir, namanya adalah Yadkhat dalam bahasa Nibthi, Nāhid dalam bahasa Persia, dan Zuhrah dalam bahasa ‘Arab. Beberapa kitab tafisr menyebutkan bahwa Suhayl (bintang terkenal) adalah pengambil 10 % harta manusia di bumi.

    Menurut al-Qurthubī, semua kisah ini dha‘īf (lemah) dan jauh dari riwayat Ibnu ‘Umar dan selainnya. Kisah ini sama saja menentang prinsi-prinsip pokok dalam malaikat, di mana mereka adalah makhluq Allah s.w.t. yang memegang teguh wahyu-Nya. “Mereka tidak bermaksiat kepada Allah atas apa yang telah diperintahkan kepada mereka dan mengerjakan apa yang diperintahkan.”

    Akal memang tidak mengingkari terjadinya kemaksiatan dari malaikat, penentangan mereka atas apa yang dibebankan, dan diciptakannya syahwat pada diri mereka. Sebab, semua itu tentu berada di bawah kekuasaan Allah s.w.t., dan Allah s.w.t. pasti mampu mengadakan itu semua. Tetapi, realisasi sesuatu yang jā’iz (bisa dan boleh terjadi) ini hanya terjadi melalui pewahyuan. Kisah di atas tidaklah shahih. Salah satu dalil yang menunjukkan ketidakshahihannya adalah bahwa Allah s.w.t. menciptakan bintang-bintang tersebut saat Dia s.w.t. menciptakan langit. Dalam sebuah riwayat diserbutkan bahwa saat langit diciptakan, diciptakan juga di dalamnya tujuh rasi bintang, yaitu Zuhl, Musytarī, Bahrām, ‘Athārid, Zuhrah, Syamsy (matahari) dan Qamar (bulan). Inilah ma‘na dari firman Allah s.w.t.: “Semua yang ada di jagad raya ini bertasbih. Kesimpulannya, Zuhrah dan Suhayl telah ada sebelum Nabi Adam diciptakan.

    Dalam Mu‘jam Folklore (hlm. 137) disebutkan bahwa bangsa Mesir kuno dan Yunani menyembah bintang Zuhrah yang dikenal sebagai tuhan cinta dan kasih-sayang.

  7. 49). Al-Qādhī Abū Bakr adalah Muḥammad ibn ath-Thayyib yang terkenal dengan sebutan al-Baqillānī, penulis kitab I‘jāz-al-Qur’ān dan kitab-kitab lainnya. Lahir di Bashrah (338 H.) dan pernah menjadi delegasi ke penguasa Romawi, hingga terjadila perdebatn antara dirinya dan ‘ulamā’ Nashrani di Konstantinopel. Ia tinggal di Baghdād dan meninggal di sana pada tahun 403 H.

    Kitab Muqni‘ yang dimaksud di sini adalah kitab al-Muqni‘ fī Ushūl-il-Fiqh, dan tampaknya kitab ini hilang dan tidak diketemukan. Penyunting kitab I‘jāz-al-Qur’ān, Syaikh Sayyid Aḥmad Shaqr, menyebut kitab al-Muqni‘ ini dengan nomor 25 dari silsilah karangan-karangan al-Baqillānī, dan tidak menyebutkan sesuatu pun yang menunjukkan bahwa kitab ini hilang.

  8. 50). Diriwayatkan oleh al-Bukhārī, I/169 (hadits no. 75) pada bab al-‘Ilm; oleh Muslim (hadits no. 2477) pada bab Fadhā’il-ush-Shaḥābati wa Ghayruh; oleh at-Tirmidzī (hadits no. 3823 dan 3824) pada bab al-Manāqib; dan oleh Aḥmad di Musnad-nya, I/264. Menurut at-Tirmidzī, hadits ini termasuk hadits ḥasan shaḥīḥ.
  9. 51). Sunan Abī Dāwūd, Kitab ash-Shalāh, Bab ad-Du‘ā’. (hadits no. 1495).
  10. 52). Ibnu Mu‘īn mengatakan perihal Khalaf: “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentangnya,” dan dinukil oleh Ibnu Abī Ḥātim di al-Jarḥu wat-Ta‘dīl. Ibnu Abī Ḥātim berkata: “Ia shadūq, bisa dipercaya.” Di kitab Siyar A‘lām an-Nubalā’, Ibnu ‘Addī berkata: “Aku berharap tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentangnya.” Di kitab Taqrīb-ut-Tahdzīb disebutkan: “Ia shadūq. Ia mengklaim telah melihat (bertemu) ‘Amr ibn Ḥārits, seorang sahabat Nabi. Klaim Khalaf ibn Khalīfah ini disangkal oleh Ibnu ‘Uyaynah dan Aḥmad ibn Ḥanbal. Barangkali atas dasar inilah Imām Aḥmad menganggapnya cacat.” Khalaf ibn Khalīfah meninggal dunia pada tahun 181 H.
  11. 53). Ḥafsh ibn ‘Umar ibn ‘Abdillāh ibn Abī Thalḥah (anak dari saudara seibu Anas ibn Mālik). Di kitab al-Jarḥu wat-Ta‘dīl diriwayatkan dari ayahnya berkata: “Ia (Khalaf) orang yang meriwayatkan hadits yang baik.”
  12. 54). Sunan Abī Dāwūd, Kitab ash-Shalāh, Bab ad-Du‘ā’. (hadits no. 1493).
  13. 55). Sunan Abī Dāwūd, Kitab ash-Shalāh, Bab ad-Du‘ā’. (hadits no. 1494).
  14. 56). Sunan Abī Dāwūd, Kitab ash-Shalāh, Bab ad-Du‘ā’. (hadits no. 1496).
  15. 57). Lihat: adh-Dhu‘afā’ karya an-Nasā’ī, hlm. 56; al-Majrūḥīna wadh-Dhu‘afā’ karya Ibnu Ḥibbān, I/357; Taqrīb-ut-Tahdzīb, I/355; dan Ghāyat-un-Nihāyah karya Ibn-ul-Jauzī, I/339.
  16. 58). Di kitab Musykil-ul-Ātsār (I/61) – dengan sanad yang sama – disebutkan: Rasūlullāh s.a.w. mendengar seorang laki-laki berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Engkau, Yang Maha Esa dan tempat meminta segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya.” Nabi s.a.w. lalu bersabda pada laki-laki ini: “Ia telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang jika dibuat untuk berdoa maka Dia s.w.t. pasti akan menggabulkan dan jika dibuat untuk memohon sesuatu maka Dia s.w.t. pasti akan memberikannya.”
  17. 59). Musykil-ul-Ātsār (I/62).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *