1.
Kata “doa” (du‘ā’) itu umum. Maknanya bisa bermacam-macam. Doa bisa berarti penyembahan hanya kepada Allah (tauhid). Kata doa dalam pengertian ini misalnya terdapat dalam firman Allah: “Sesungguhnya masjid-masjid itu untuk Allah. Janganlah kamu menyembah (tad‘ū) apa pun (di dalamnya) selain Allah.” (al-Jinn [72]: 18). Maksudnya, esakanlah Allah dengan tauhid. Juga dalam firman Allah: “Sesungguhnya ketika hamba Allah (Muḥammad) berdiri menyembah-Nya (yad‘ūhu).” (al-Jinn [72]: 19). Maksudnya, Muḥammad berkata: “Lā ilāha illā Allāh,” dan menyembah-Nya.
Doa dalam konotasi penyembahan juga terdapat dalam ayat: “Sesungguhnya mereka (berhala-berhala) yang kamu seru (tad‘ūna) selain Allah adalah makhluk (lemah) yang sama sepertimu. Seru saja mereka (fad‘ūhum), lalu coba biarkan mereka memperkenankan permintaanmu.” (al-A‘rāf [7]: 194). Ada dua kata doa dalam ayat ini; yang pertama merujuk pada penyebutan berhala sebagai tuhan-tuhan, dan yang kedua merujuk pada permintaan kepada berhala agar diberi manfaat dan dijauhkan dari bahaya.
Doa bisa berarti penghambaan (ibadah), seperti dalam ayat: “Aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang engkau pertuhankan (tad‘ūn) selain Allah.” (Maryam [19]: 48).
Doa bisa juga bermakna “meminta pertolongan” (ista‘ānah). Allah berfirman: “….dan mintalah pertolongan (ud‘ū) penolong-penolongmu selain Allah.” (al-Baqarah [2]: 23).
Doa dapat pula berarti “memohon dan meminta”. Allah berfirman: “Berdoalah kepada-Ku (ud‘ūnī), niscaya akan Aku perkenankan bagimu.” (Ghāfir [40]: 60). Artinya, mintalah kepada-Ku, Aku akan beri kalian. Allah juga berfirman: “…. maka berdoalah (kepada Tuhanmu) untuk kami, agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan oleh bumi.” (al-Baqarah [2]: 61).
Doa bisa pula berarti panggilan/sebutan, seperti dalam ayat: “Yaitu pada hari ketika Dia memanggil kamu (yad‘ūkum), dan kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya.” (al-Isrā’ [17]: 52). Juga dalam ayat: “Katakanlah (Muḥammad): “Serulah (ud‘ū) Allah atau serulah ar-Raḥmān. Dengan nama apa saja yang kamu dapat menyeru.” (al-Isrā’ [17]: 110).
Allah berfirman: “Dan janganlah engkau menyembah (tad‘ū) sesuatu yang tidak bisa memberimu manfaat dan tidak pula bisa memberimu mudarat.” (Yūnus [10]: 106). Allah juga berfirman: “Katakanlah (Muḥammad): “Apakah kita akan menyeru (nad‘ū) sesuatu selain Allah, yang tidak dapat memberi kita manfaat dan tidak pula bisa mendatangkan kepada kita mudarat.” (al-An‘ām [6]: 71). Dalam kedua ayat ini, doa berarti mempertuhankan dan menyembah.
Jika engkau berdoa kepada Allah agar kebutuhanmu di dunia atau akhirat dipenuhi, berarti engkau adalah seorang peminta. Jika engkau berdoa kepada-Nya agar dosa-dosamu diampuni, berarti engkau adalah seorang yang memohon ampunan. Semuanya termasuk “doa”.
***
Seperti halnya doa “pemberian” maknanya juga bermacam-macam. Jika yang diberikan adalah barang yang tampak, itu disebut sedekah dan hibah. Jika yang diberikan adalah manfaat, itu disebut jasa. Jika yang diberikan adalah tenaga, itu disebut bantuan tenaga. Jika yang diberikan adalah barang yang pada waktunya harus dikembalikan, itu namanya pinjaman.
Bagi aliran Qadariyyah (yang meyakini bahwa setiap hamba menciptakan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan), doa itu satu macam saja, yaitu sebentuk ibadah kepada Allah (ta‘abbud), tidak mencakup permintaan. Dengan begitu mereka mengingkari adanya syafā‘at (pertolongan) dan mengabaikan nash-nash al-Qur’ān. Menurut mereka, tidak adil kalau ada dua hamba yang meminta kepada Allah lalu yang satu dikabulkan sementara yang lain tidak. Ini keliru.
Doa itu juga permintaan. Alasannya, Allah memerintahkan berdoa, dan memerintahkan agar hamba meminta apa yang dimiliki-Nya, dan menjanjikan dikabulkannya permohonan sebagai ni‘mat dari-Nya yang Dia karuniakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Tidakkah anda tahu bahwa setiap nabi dan rasul yang berdoa kepada Allah itu ingin agar keperluan dan kebutuhannya dipenuhi? Tidakkah anda tahu bahwa al-Qur’ān pun menceritakan terkabulnya apa yang mereka minta?
Allah berfirman kepada Mūsā dan Hārūn: “Sungguh telah diperkenankan permohonan kamu berdua.” (Yūnus [10]: 89).
Zakariyyā memohon kepada Allah agar diberikan seorang anak: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan), dan Engkaulah pewaris yang terbaik.” (al-Anbiyā’ [21]: 89). Untuk menjawab permohonannya, Allah berfirman: “Maka Kami kabulkan doanya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yaḥyā.” (al-Anbiyā’ [21]: 90).
Allah juga berfirman pada Mūsā: “Sungguh telah diperkenankan permintaanmu, wahai Mūsā!”(Thāhā [20]: 36).
Seandainya doa itu tidak mencakup permintaan, lalu untuk apakah seorang pendoa perlu menyebut sesuatu yang dimintainya? Untuk apa pula ada isitlah “terkabul” bila permintaannya diberikan? Padahal, Allah berfirman: “Ingatlah, ketika kamu memohon pertolongan pada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu.” (al-Anfāl [8]: 9). Dia juga berfirman: “Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan doa orang yang dalam kesulitan jika dirinya berdoa kepada-Nya.” (an-Naml [27]: 62).
Al-Qur’ān menyebutkan bahwa Allah menyandang nama al-Mujīb (yang mengabulkan), sementara orang yang berdoa disebut al-mujāb (yang dikabulkan permohonannya).
Allah adalah tempat berlindung bagi para nabi dan wali-Nya. Allah berfirman: “Sungguh, Nūḥ telah berdoa kepada Kami, maka sungguh Kamilah sebaik-baik yang memperkenankan doa. Kami telah menyelamatkan dia dan pengikutnya dari bencana yang besar.” (ash-Shāffāt [37]: 75-76).
Allah juga berfirman: “Dan ingatlah kisah Ayyūb, ketika dia berdoa kepada Tuhannya: “Ya Tuhanku, sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” Maka Kami kabulkan doanya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya, dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat-gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami.” (al-Anbiyā’ [21]: 83-84).
Allah berfirman: “Dan ingatlah kisah Nūḥ, sebelum itu, ketika dia berdoa maka Kami perkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia bersama pengikutnya dari bencana yang besar.” (al-Anbiyā’ [21]: 76).
Allah juga berfirman: “Dan ingatlah kisah Dzun-Nūn (Yūnus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap: “Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zhalim. Maka Kami kabulkan doanya dan Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (al-Anbiyā’ [21]: 87-88).