Hati Senang

Makna Pengabulan – Al-Ma’tsurat (3/5)

Al-Ma’tsurat Kitab Doa Tertua
Al-Ma’tsūrāt Kitab Doa Tertua Diterjemahkan dari: Ad-Du‘ā-ul-Ma’tsūru wa Ādābuhu wa Mā Yajibu ‘alad-Dā’i Ittibā‘uhu Karya: Abū Bakr ath-Thurthūsyī al-Andalūsī   Penerjemah: Muhammad Zaenal Arifin Penerbit: Zaman

C. Ma‘na Pengabulan.

Ma‘na pengabulan (al-ijābah) mengandalkan adanya permintaan dan kemudian pemenuhan atau pengabulan.

Jika ditanyakan: “Allah telah berfirman: “Aku kabulkan (ujību) doa orang yang berdoa kepada-Ku.” (al-Baqarah [2]: 186). Tapi, kenapa seseorang yang sudah berdoa, doanya tidak dikabulkan?” maka jawabannya adalah sebagai berikut:

Pengabulan (al-ijābah) dalam arti bahasa berarti pemberian atas apa yang diminta. Dikatakan: “Langit mengabulkan dengan hujan., bumi mengabulkan dengan tumbuh-tumbuhan. Bumi meminta hujan kepada langit, dan langit meminta tumbuh-tumbuhan pada bumi; dan keduanya sama-sama memberikan.”

Zuhayr menyenandungkan sebuah sya‘ir:

Hujan awal musim semi dipenuhi warna kehijauan (tanaman)
Bukit-bukit kecil pun menjawab panggilan.

Ka‘b ibn Sa‘d al-Ghanāwī menyenandungkan sebuah sya‘ir:

Orang yang ketika berdoa mengucap: “Wahai orang yang menjawab seruan”
Maka orang yang bisa menjawab tidak menjawab saat itu.

Allah telah menjamin bahwa Dia akan mengabulkan orang-orang yang memohon kepada-Nya dengan tanpa perantara. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku dekat, Aku kabulkan.” (al-Baqarah [2]: 186).

Ini menuntut adanya kasih-sayang terhadap mereka, pemuliaan atas kemampuan mereka dan pengkhususan atas diri mereka. Tidakkah engkau merenungkan bahwa Allah menjawab pertanyaan orang-orang yang keras kepala dengan perantara lisan Rasūlullāh s.a.w. Allah berfirman: “Mereka menanyakan kepadamu (Muḥammad): “Kapan kiamat terjadi?” (al-A‘rāf [7]: 187). Allah s.w.t. kemudian menjawab: “Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahun atas kiamat itu ada pada Tuhanku.” (al-A‘rāf [7]: 187).

Pengabulan (al-ijābah) di dalam ayat di awal (al-Baqarah [2]: 186) adalah sesuatu yang mutlak, tetapi kemudian dibatasi oleh kehendak. Allah s.w.t. berfirman: “Jika Dia menghendaki, Dia hilangkan apa (bahaya) yang kamu mohonkan kepada-Nya.” (al-An‘ām [6]: 41) Jadi, seolah-olah Allah s.w.t. berfirman: “Jika Aku berkehendak, Aku kabulkan doa orang yang memohon kepada-Ku.” Padanan dari ini adalah firman: “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Syūrā [42]: 20).

Tidak sedikit orang yang ingin mendapatkan keuntungan di dunia, tapi itu tidak diberikan kepada mereka. Pengabulan adalah sesuatu yang mutlak, namun dibatasi oleh kehendak. Dalam ayat lain, Allah s.w.t. berfirman: “Maka Kami segerakan baginya (di dunia ini) apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.” (al-Isrā’ [17]: 18).

Dikatakan bahwa ma‘na ujību (aku kabulkan) ialah seperti penuturan sebuah hadits qudsi: “Apabila seorang hamba berkata: “Tuhanku,” maka Allah akan menjawab: “Ya, hambu-Ku.” Kami akan menjelaskan permasalahan ini lebih lanjut saat membahas kisah Nabi Dawud a.s. di lembaran berikutnya:

Seorang tuan terkadang menjawab keluhan budaknya dan ayah menjawab keluhan anaknya, tetapi tidak mengabulkan permintaannya karena itu akan menimbulkan kerusakan baginya. Saat itulah penolakan menjadi sebuah pemberian, bahkan menjadi pemberian yang paling bagus. Ketika pihak yang diminta itu mencegah untuk memberi, maka memberi ataupun menolak takkan mendatangkan mudarat ataupun manfaat baginya. Ini semua tak lain adalah prasangka baik terhadapnya.

Berkaitan dengan ini, beberapa syaikh mengatakan: “Penolakan Allah s.w.t. adalah pemberian.” Pandangan ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi s.a.w. bersabda: “Tak ada seorang muslim yang berdoa kepada Allah dengan doa yang tidak mengandung unsur permutusan tali silaturahmi atau dosa, kecuali Allah akan memberinya satu dari tiga hal; disegerakan pengabulan doanya, ditangguhkan pengabulannya hingga di akhirat, atau dirinya dijauhkan dari keburukan.

Jadi, ayat di awal (al-Baqarah [2]: 186) seolah-olah berbunyi: “Aku kabulkan doa orang yang berdoa dengan sesuatu yang paling tepat dan paling baik baginya.” Allah s.w.t. berfirman: “Dan seandainya Allah mau menyegerakan keburukan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pasti diakhiri umur mereka.” (Yūnus [10]: 11).

Bisa jadi, Allah s.w.t. seolah hendak berfirman: “Aku kabulkan doa orang yang berdoa jika doanya bertepatan dengan waktu mustajab.” Dalam hal ini, kita bisa menilik kembali sabda Nabi s.a.w. berikut: “Sebaik-baik hari saat matahari terbit adalah hari Jumat. Pada hari ini terdapat waktu yang seorang muslim takkan berdoa memohon sesuatu kepada Allah s.w.t. kecuali Dia s.w.t. akan memberikan sesuatu itu kepadanya.” (92) Dikatakan pada ‘Umar: “Meskipun yang beroda itu orang munafiq?” ‘Umar menjawab: “Sesungguhnya orang munafiq takkan mendapati waktu itu.”

Penafsiran ‘Umar ini menjadi bukti bahwa orang yang berdoa memohon sesuatu kepada Allah s.w.t. dan tidak dikabulkan, berarti ia tidak mendapati waktu-waktu mustajab seperti yang disebutkan oleh hadits-hadits Nabi s.a.w.

Bisa jadi pula, Allah s.w.t. seolah hendak berfirman: “Aku kabulkan doa orang yang berdoa jika mereka tidak melanggar batasan-batasanKu, tidak menzhalimi hamba-hambaKu, tidak mengabaikan shalat, zakat, puasa dan haji, tidak menyakiti orang muslim, dan tidak memakan harta anak yatim.” Pengertian seperti ini ditunjukkan oleh sebuah riwayat tentang perintah Allah s.w.t. kepada Nabi Dāwūd a.s. agar berkata kepada orang-orang zhalim dari Bani Isrā’īl: “(Seandainya) tak ada seorang pun yang berdoa kepada-Ku, Aku tetap Maha Tinggi atas Dzāt-Ku. Tak ada seorang pun dari mereka yang berdoa kepada-Ku kecuali Aku kabulkan doanya. Sesungguhnya jika mereka (Bani Isrā’īl) berdoa kepada-Ku, pasti Aku kabulkan doa mereka dengan laknat.”

Atas dasar ini maka dikatakan: “Doa adalah meninggalkan dosa.” Nabi s.a.w. bersabda pada Sa‘d: “Thayyib-kanlah (perbagus dan halalkanlah) makananmu, niscaya doamu dikabulkan.” (93).

Diriwayatkan bahwa Sa‘d bin Abī Waqqāsh pernah ditanya: “Kenapa doamu selalu dikabulkan di antara doa-doa sahabat Rasūlullāh s.a.w. lainnya?” Sa‘d menjawab: “Sesungguhnya aku tidak pernah memasukkan sesuap makanan ke mulutku sampai aku mengetahui dari mana itu berasal.”

Abū ‘Abd-ir-Raḥmān, budak Sa‘d, menuturkan: “Suatu malam, aku dan Sa‘d tiba di sebuah kebun kurma dalam sebuah perjalanan. Kami tidak memiliki makanan sedikit pun waktu ittu, dan kami pun tidak mendapati pemilik kebun tersebut. Sa‘d lalu berkata padaku: “Apa kamu senang jika menjadi seorang muslim sejati?! Jika kamu ingin menjadi seperti itu, jangan pernah sekali-kali memakan sesuatu pun dari kebun ini.” Kami lalu mengikat kendaraan (unta) kami dan tidur dalam keadaan lapar. Pagi harinya, pemilik kebun datan menghampiri kami, dan kami lalu membeli darinya kurma dan makanan unta dengan satu dirham.”

Kisah Isrā’īliyyat menyebutkan tentang seorang tiran yang takut atas doa orang-orang shalih dan pilihan. Ia kemudian menjamin kehidupan dunia mereka dengan memberi mereka makan sepuasnya. Doa mereka menjadi tidak dikabulkan. Sang tiran kemudian menolak memberi mereka makan selama 40 hari. Mereka pun lantas mendoakannya agar celaka. Sang tiran akhirnya ditelan bumi bersama seluruh harta kekayaannya.

‘Umar ibn ‘Abd-il-‘Azīz mengisahkan bahwa ayahnya, ‘Abd-ul-‘Azīz ibn Marwān, mencegah diri untuk memakan makanan yang tidak jelas hukumnya, apakah halal atau haram. Keputusannya ini membuat badannya menjadi sangat kurus hingga seperti tulang tanpa daging. Setelah itu, ia hanya memakan makanan yang halal saja, lalu menggauli istrinya hingga mengandung anak seperti ‘Umar ibn ‘Abd-il-‘Azīz.

Sufyān ats-Tsawrī menuturkan bahwa dirinya telah mendengar kisah bahwa Bani Isrā’īl pernah mengalami masa paceklik selama tujuh tahun. Mereka sampai memakan bangkai di tempat-tempat sampah dan memakan anak-anak kecil. Mereka keluar dan pergi ke pegunungan untuk berkhalwat dan bermunajat. Allah s.w.t. kemudian mewahyukan kepada nabi-nabi mereka: “Katakanlah pada Bani Isrā’īl: “Seandainya kalian berjalan menuju-Ku sampai lutut kalin copot, lengan kalian menjuntai ke langit, dan lidah kalian kelu karena selalu berdoa; Aku tetap takkan mengabulkan doa orang yang berdoa di antara kalian dan takkan mengasihi orang yang menangis di antara kalian, sampai kalian semua menghentikan kezhaliman dan mengembalikan hak kepada pemiliknya.” Mereka pun melakukan ini semua, dan hujan lebat langsung turun saat itu juga.”

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.