Allah s.w.t. menyebut kata “dekat” sebagai pengikat bagi hati orang-orang yang dikasihi-Nya dan yang dikehendaki-Nya. Bahkan, seandainya pun “dekat” dalam arti jarak diperbolehkan bagi diri-Nya, tentu saja itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi-Nya.
Mengenai hal ini, Nabi s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian mengutamakan aku atas Yūnus ibn Mattā.” (761). Artinya: “Janganlah kalian menganggap bahwa saat aku dimi‘rajkan ke atas, melewati satu langit ke langit lain, hingga akhirnya sampai ke Sidrat-ul-Muntahā, lalu sampai ke hijab dari emas, dan Jibrīl berada di belakangku. Aku bertanya pada Jibrīl: “Aku harus ke mana?” Ia menjawab: “Wahai Muḥammad! Tidak ada bagi kami kecuali memiliki tempat yang sudah diketahui. Sesungguhnya ini adalah penghujung semua makhluq, tetapi aku diidzinkan (oleh Allah) untuk mendekat ke hijab demi menghormati dan memuliakanmu.” Aku masih tetap seperti itu, beralih dari satu hijab ke hijab lain sampai aku berhasil melewati tujuh-puluh hijab, yang tebal setiap hijab adalah setara dengan perjalanan selama 500 tahun. Aku kemudian dibawa hingga sampai ke ‘Arsy. Janganlah kalian semua mengira bahwa ketika aku berada dalam keadaan seperti ini maka aku lebih dekat kepada Allah s.w.t. ketimbang Yunus ibn Matta saat ditelan oleh ikan, lalu turun ke bawah dan ke bawah lagi hingga sampai ke daratan.”
Maha Suci Allah s.w.t. Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.
Seandainya aku mati maka aku akan beristirahat,
Sesungguhnya setiap kali aku berkata: “Aku telah dekat” maka aku telah jauh!
Dalam sebuah sya‘ir lain disebutkan:
Cukup sedih kiranya aku menyeru-Mu dengan sungguh-sungguh
Seolah-olah aku jauh atau seolah-olah Engkau tidak ada.
Orang-orang yang sangat merindukan Allah s.w.t. (kalangan shūfī) juga biasa mengucapkan sya‘ir:
Kasih-Mu pergi dan cinta-Mu menyingkir
Kedekatan-Mu jauh dan damai-Mu perang
Abū Bakr asy-Syiblī (772) menuturkan:
Wahai penyembuhku dari penyakit
Meskipun Engkau yang memberiku sakit,
Yang memberiku ujian sebelumnya
Sesungguhnya aku tidak peduli dengan ujianku
Didekat-Mu seperti jauh dari-Mu
Lalu kapan waktu istirahatku? (783).
Ketika Abul-Ḥasan an-Nūrī (794) menemui sejumlah sahabat Abū Ḥamzah, an-Nūrī berkata: “Apakah kalian sahabat Abū Ḥamzah yang mengisyaratkan tentang kedekatan (kepada Allah)? Jika kalian bertemu dengannya, katakan padanya: “Abul-Ḥusyain an-Nūrī mengucapkan salam kepadamu dan berkata: Dekatnya kedekatan yang kami berada di dalamnya adalah jauhnya kejauhan!”
Ketahuilah, dekat adalah sifat hati, bukan hukum lahiriah (fisik) dan wujud. Dekatnya hamba kepada Allah s.w.t. takkan mungkin terjadi kecuali dengan menjauhkan diri dari makhluq.
Adapun “jauh” (al-bu‘d) adalah sebagaimana dikatakan bahwa dekatnya Allah s.w.t. adalah sebuah kemuliaan dan jauhnya Allah s.w.t. adalah sebuah penghinaan. Jauh adalah berpikir untuk menentang-Nya dan berangan-angan untuk tidak menaati-Nya. Jauh yang dari realisasi perintah-Nya. Bahkan, jauh dari menyetujui-Nya adalah jauh dari realisasi perintah-Nya.
Berapa banyak hamba yang telah menyentuh ketaatan, lalu diterpa kekecewaan sehingga membuatnya berbuat kemaksiatan, lalu mengerti dan memahami taufiq, dan bangkit kembali menuju ketaatan.
Inilah Iblīs laknat, yang telah menyembah Allah s.w.t. ribuan tahun di bumi, lalu diterpa kesengsaraan hingga kemudian tetap seperti itu untuk selamanya.
Inilah Ādam yang telah bermaksiat kepada Allah s.w.t. lalu menerima ināyah-Nya, kemudian Allah s.w.t. pun menerima tobatnya dan memberinya hidāyah.
Beberapa syaikh shūfī mengatakan: “Ināyah itu sebelum air dan tanah.” (805).
Orang yang berhasil mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. maka minimal dirinya pasti akan mendapatkan pengawasan dari-Nya – sebab dirinya diawasi oleh ketaqwaan, lalu oleh penjagaan dan pemenuhan, lalu oleh kehidupan. Ini sebagaimana dikemukakan oleh sya‘ir berikut:
Seolah-olah pengawas dari-Mu memelihara jiwa dan pikiranku,
Dan pengawas lain memelihara penglihatanku dan lisanku,
Kedua mataku tidak melirik setelah-Mu, pada pemandangan yang,
Menyenangkan-Mu kecuali aku berkata bahwa kedua mataku telah melirikku.
Tidak pula terlintas dalam kesenangan setelah-Mu,
Untuk selain-Mu kecuali jiwa dan pikiranku telah membelok-belokkan kendaliku.
Aku telah mendengar pembicaraan saudara-saudara yang jujur,
Maka aku menahan penglihatan dan lisanku dari mereka.
Tidak pula zuhud mereka. Hanya saja, aku
Mendapati-Mu menyaksikan diriku di semua tempat. (816).
Abū Bakr al-Wāsithī (827) mengatakan: “Allah s.w.t. memutuskan orang yang memutuskan-Nya dan mendekat pada orang yang mendekatkan diri pada-Nya. Dia s.w.t. berfirman: “Tetapi secara khusus Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang Dia kehendaki.” (al-Baqarah [2]: 105), Dia s.w.t. juga berfirman: “Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah maka dia tidak memiliki cahaya sedikit pun.” (An-Nūr [24]: 40).
Abū Sulaimān ad-Dārānī (838) pernah ditanya tentang bagaimana dirinya mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Ia lalu menangis dan berkata: “Orang sepertiku ditanya tentang ini? Itu adalah ketika Allah s.w.t. memenuhi hatimu dengan keyakinan bahwa engkau tidak menginginkan sesuatu pun dari dua dunia (kehidupan di dunia dan di akhirat) selain Dia s.w.t.” (849).
Ibrāhīm ibn Adham (8510) pernah berkata: “Ya Allah, sekiranya Engkau mengetahui bahwa surga itu bagiku sepadan dengan sebiji gandum sebagai tambahan pada ma‘rifat yang telah Engkau rezekikan kepadaku, maka haramkanlah diriku atasnya.”
Ditanyakan: “Apa tanda-tanda dekat dengan Allah s.w.t.?” Ibnu Adham berkata: “Mencurahkan semua tenaga, pikiran, dan jiwa kepada Allah s.w.t.”
Abū Bakr al-Warrāq (8611) berkata: “Barang siapa yang melihat Allah s.w.t. dengan hatinya maka dia jauh dari segala sesuatu selain Allah s.w.t.”
Al-Muḥāsibī ditanya tentang dekatnya seorang hamba pada Allah s.w.t. Ia menjawab: “Dekat adalah upaya seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui ketaatan.”
Dalam penafsiran ayat: “Jika dia (orang yang mati) itu termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah).” (al-Wāqi‘ah [2]: 88). Al-Kalabī (8712) mengatakan: “Maksudnya didekatkan ke surga ‘Adn. Yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang yang paling dahulu beriman (as-sābiqūn), sebagaimana termaktub dalam firman: “Dan orang-orang yang paling dahulu (beriman), merekalah yang paling dahulu (masuk surga). Mereka itulah orang-orang yang dekat (kepada Allah).” (al-Wāqi‘ah [56]: 11).
Sejumlah riwayat memiliki perbedaan penafsiran terhadap lafal as-sābiqūn dalam ayat di atas. Ayat tersebut diikuti oleh ayat: “Segolongan besar (tsullah) dari orang-orang terdahulu, dan segologan kecil dari orang-orang yang datang kemudian.” (al-Wāqi‘ah [56]: 13-14). Kata tsullah berarti qith‘ah, yaitu sekelompok orang terdahulu.
Menurut sejumlah ‘ulamā’, ma‘na as-sābiqūn adalah sekelompok besar orang terdahulu dari umat-umat zaman dulu, dan sedikit orang yang datang kemudian dari kalangan umat Muḥammad s.a.w. Sebab, orang yang paling dahulu menerima seruan Nabi s.a.w. itu jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan orang-orang yang terlebih dahulu menerima seruan para nabi sebelum Muḥammad s.a.w. (8813).
Al-Ḥasan berkata: “Orang-orang yang paling dahulu beriman dari umat-umat terdahulu itu jauh lebih banyak ketimbang orang-orang yang paling dahulu beriman dari kalangan kita. Oleh karena itu dikatakan, qalīl min-al-ākhirīn (segolongan kecil dari orang-orang yang datang kemudian).” (8914).
Diriwayatkan dari Ibnu Sīrīn bahwa mereka (sekelompok ‘ulamā’) mengatakan: “Mereka semua berasal dari kalangan umat ini (umat Muḥammad s.a.w.).”
Ibnu ‘Abbās berkata: “Orang-orang yang paling dahulu berhijrah adalah orang-orang yang paling dahulu (mendapat kenikmatan surga) di akhirat.”
‘Ali berkata: “Mereka adalah orang-orang yang paling dahulu mengerjakan shalat lima waktu.” (9015) Dikatakan: “Ayat tersebut bersifat umum dan mencakup semua orang dari setiap umat, dan juga semua orang dari umat ini yang paling dahulu mengikuti seruan para nabi sehingga mereka menjadi umat yang berpetunjuk.”
Sa‘id ibn Jubayr (9116) berkata: “Orang-orang yang berlomba-lomba (as-sābiqūn) dalam bertobat dan berbuat kebaikan, sebagaimana dikatakan dalam firman: “Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu.” (al-Ḥadīd [57]: 21).