1-1 Tantangan Awal – Isra’ Mi’raj Mu’jizat Terbesar

Isra’ Mi‘raj Mu‘jizat Terbesar
Judul Asli: Al-Mu‘jizat-ul-Kubrā, al-Isrā’u wal-Mi‘rāj
Oleh: Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya‘rawi

Penerjemah: H. Salim Basyarahil
Penerbit: GEMA INSANI PRESS

Rangkaian Pos: Bab I - Latar Belakang Diberikannya Mu‘Jizat Isra’ Mi‘Raj Kepada Rasulullah S.A.W.

1. Tantangan Awal yang Dihadapi Muḥammad S.A.W.

Allah ta‘ala memilih Muḥammad s.a.w. yang sudah terkenal akan kejujurannya di kalangan kaumnya sebagai Rasūl-Nya. Muḥammad hidup di tengah-tengah kaumnya selama empat puluh tahun sebelum diutus sebagai Rasūl dan sebelum dibebani amanat membawa risalah. Selama itu kaumnya belum pernah mendengar atau menyaksikan beliau berbohong, sampai-sampai beliau diberi gelar oleh kaumnya dengan gelar al-Amin.

Akan tetapi setelah beliau dibebani amanat oleh Allah untuk membawa risalah, dan agar menyeru kaumnya dengan teran-terangan, tokoh-tokoh Quraisy merintanginya. Ini disebabkan karena mereka melihat dakwah Islam yang disebarkan Muḥammad dari hari ke hari semakin mencuat. Tentu saja cepat atau lambat ini akan mengakhiri pengaruh dan kekuasaan mereka. Maka karena itulah sejak awal mereka mati-matian merintangi dakwah Muḥammad. Bagaimana mereka tidak khawatir, Islam menyamakan kedudukan budak dengan majikan dan menyamaratakan manusia. Islam tidak memandang derajat manusia dari warna kulit, keturunan dan darahnya tapi dari ketaqwaannya. Islam memberikan hak yang sama kepada semua orang, entah itu kepada bangsawan maupun harijan (Salah satu suku di India yang dianggap paling rendah bahkan tidak boleh disentuh oleh kasta lain.).

Pekik-pekik Islam yang senantiasa didengungkan Muḥammad kepada kaumnya terdengar keras dan memekakkan telinga tokoh-tokoh Quraisy. Mereka panik dan kalap. Karena itulah mereka berusaha menumpas ajaran yang dibawa Muḥammad s.a.w. dengan segala cara. Setelah dengan cara kompromi melalui perundingan tidak berhasil, mereka melakukan kekerasan dan memerangi kaum muslimin. Namun al-ḥamdulillāh, pada awal dakwahnya Rasūlullāh memiliki dua orang pelindung yang mempunyai pengaruh cukup besar di kalangan kaumnya sehingga tokoh-tokoh Quraisy tidak gegabah “menindak”nya. Kedua orang yang amat menyayangi dan amat melindungi beliau itu adalah pamannya, Abū Thālib dan istri yang sangat mencintai dan membelanya, Khadījah binti Khuwailid r.a.

Khadījah adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang pandai memberikan ketenangan kepada suaminya tatkala suaminya gundah-gulana. Ia memberikan semangat dengan ucapan, cinta dan hartanya agar suaminya terus berjuang menegakkan al-ḥaqq. Apabila Rasūlullāh kembali ke rumah dengan hati galau dan pikiran kacau karena sikap dan tindakan kaum Quraisy, maka Khadījah segera menyambutnya dengan senyum dan wajah cerah seperti menyambut seorang ksatria yang baru pulang dari medan laga sehingga derita yang dialami Rasūlullāh lenyap sebelum senyuman istrinya berakhir.

Kaum Quraisy dan tokoh-tokohnya terus mencari jalan keluar dalam menghadapi agama yang dibawa Muḥammad, yang tampak jelas kedatangannya hendak merampas kekuasaan dan pengaruh duniawi mereka. Pikiran pertama yang muncul dalam benak mereka adalah menyuap Muḥammad dengan harta, tahta dan wanita dengan syarat beliau mau meninggalkan dakwahnya. Sebagai penyembah dunia, mereka mengukur Muḥammad s.a.w. dengan materi. Mereka mengira Muḥammad dapat ditaklukkan dengan dunia pula. Untuk itu mereka berunding dan berunding terus dalam mempersiapkan bujuk-rayu yang ampuh. Setelah usai berunding, maka mereka pun pergilah menemui Abū Thālib guna menyampaikan tawaran tersebut. Kata mereka: “Kalau anda membawa kisah itu untuk mendapatkan harta, kami akan mengumpulkan harta kami untuk anda sehingga anda akan menjadi orang terkaya di antara kami. Kalau anda meminta kekuasaan dan wibawa, kami pun akan mengangkat anda menjadi raja kami, dan kalau yang datang kepada anda itu (maksudnya: wahyu yang dibawa malaikat Jibrīl) suatu kekuatan jinn, maka kami akan mencarikan seorang tabib yang mahir untuk menyembuhkan anda dari gangguan jinn ‘Ifrit yang jahat itu.”

Namun ternyata, bujuk-rayu mereka tidak mengenai sasaran. Muḥammad sama sekali tidak terpengaruh oleh dunia yang ditawarkan mereka karena memang beliau datang untuk mengundang orang agar memperbanyak bekal perjalanan ke akhirat. Ini terbukti bahwa Muḥammad datang dan menyeru bukan untuk menggalakkan kaumnya agar memburu harta dan kesenangan duniawi karena kehidupan akhirat adalah kehidupan yang hakiki bagi manusia. Di sanalah manusia kekal abadi.

Allah s.w.t. berfirman:

وَ إِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ، لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ.

Sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan kalau mereka mengetahui.” (Al-‘Ankabūt: 64).

Ketika pamannya, Abū Thālib menyampaikan amanat kaumnya itu, Muḥammad s.a.w. menjawab dengan tegas: “Ya ‘Ammi! Wallāhi, kalau sekiranya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tetap tidak akan menghentikan dakwahku ini hingga akhir hayatku.”

3 Komentar

  1. Asep Jamil berkata:

    Terimakasih

    1. Majlis Dzikir Hati Senang berkata:

      Alhamdulillah, sama-sama saudara Asep, semoga bermanfaat. 🙂

  2. Dedi berkata:

    alhamdulillah….
    sebagai awam saya jadi banyak tahu….

Tinggalkan Balasan ke Dedi Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *