1-1 Mukasyafah-mukasyafah Rohaniah yang Mendahului Mi‘raj – Mendaki Tangga Langit – Ibnu ‘Arabi

MENDAKI TANGGA LANGIT
Pengalaman Eksistensi Isrā’ Mi‘rāj Ibnu ‘Arabī
Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī

 
Diterjemahkan dari:
Al-Isrā’u ilal-Maqām-il-Asrā’i aw Kitāb-ul-Mi‘rāj
Karya:
Syaikh al-Akbar Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī
 
Penerjemah: Imām Nawawī
Diterbitkan oleh: Institute of Nation Development Studies (INDeS)

Rangkaian Pos: Bab I - Mukasyafah-mukasyafah Rohaniah yang Mendahului Mi‘raj - Mendaki Tangga Langit - Ibnu 'Arabi

BAB I

  • Perjalanan Hati
  • ‘Ain-ul-Yaqīn
  • Sifat Roh Universal
  • Hakikat
  • Akal dan Bekal Isrā’
  • Jiwa yang Tenang dan Samudra Bergelombang (Yang Menyala)

 

[Dapat disimpulkan, bagian pertama ini merupakan mukāsyafah-mukāsyafah rohaniah yang mendahului Mi‘rāj itu sendiri. Di sini Seorang Salik (penempuh jalan spiritual – penj.) sudah matang secara akidah maupun amaliah fisik. Demikian juga perjumpaan Sālik dengan Roh Universal sekaligus Rasūl Pembawa Taufik sudah cukup memuaskan. Seluruh bagian ini adalah persiapan, kehadiran, dan pengajaran].

PERJALANAN HATI

Sālik mengatakan:

Aku pergi meninggalkan negeri Andalus, menuju Bait-ul-Qudus. Aku menganggap kepatuhan sebagai kebaikan, kesungguhan sebagai lantai, tawakkal sebagai bekal. Aku berjalan di jalan lurus, mencari orang-orang yang mengetahui wujud dan hakikat, dengan harapan mendapat kejelasan di tengah-tengah mereka.

Sālik mengatakan:

Lalu aku menemukan anak sungai yang airnya melimpah-ruah, mata airnya tawar; (11) seorang pemuda yang dzātnya rohani, sifat-sifatnya rabbani, dan sikap-sikapnya bagai malaikat.

Aku bertanya kepada pemuda itu: “Apa yang ada di belakangmu, wahai ‘Ishām?” (22)

Ia menjawab: “Wujud yang tak putus dan tak mengenal akhir!”

Aku bertanya: “Dari mana si pengendara datang?”

Ia menjawab: “Dari mata kepala ‘Ishām!”

Aku bertanya: “Apa yang membuatmu ingin keluar?”

Ia menjawab: “Sesuatu yang membuatmu ingin masuk!”

Aku berkata: “Aku ini seorang pencari (thālib) yang tak punya.”

Ia jawab: “Aku seorang penyeru kepada wujud.”

Aku bertanya: “Ingin ke mana dirimu?”

Ia jawab: “Aku tak ingin ke mana-mana. Namun aku diutus ke dua tempat terbitnya cahaya; tempat munculnya dua bulan purnama; tempat menginjakkan dua kaki, sembari meminta siapa saja yang kutemui untuk melepaskan dua sandalnya.”

Aku berkata: “Ini adalah roh-roh makna, dan aku sampai detik ini tidak bisa melihat apapun kecuali wadah-wadah luar saja. Mudah-mudahan engkau berkenan memberitahuku tentang hakikat al-Qur’ān dan Sab‘-ul-Matsānī (surat al-Fātiḥah).”

Ia jawab: “Engkau adalah awan bagi mataharimu. Pertama, kenalilah hakikat dirimu. Sebab tidak bisa paham akan perkataanku kecuali orang yang mendaki ke maqāmku, dan tidak bisa mendaki ke maqām itu kecuali aku. Bagaimana mungkin engkau ingin tahu hakikat asma-asmaku?! Namun engkau di-mi‘rāj-kan ke langitku.”

Ia bersenandung dan membuatku bingung:

Aku al-Qur’ān dan Sab‘-ul-Matsānī…. rohnya roh, bukan rohnya wadah-wadah

Hatiku, di hadapan apa yang keketahui, berdiri… berbicara dengannya, dan di hadapan kalian adalah lidahku

Janganlah engkau menatap, dengan kelopak matamu, ke arah jisimku…. lampauilah kenikmatan dengan (menggali) makna-makna.

Selamilah samudra dzātnya dzāt maka engkau akan lihat….keajaiban-keajaiban yang tak pernah dilihat mata

Dan rahasia-rahasia terlihat kabur…. tertutup oleh roh-roh makna

Siapa yang paham isyarat ini maka jagalah (simpan!)… jika tidak maka ia akan ditusuk dengan ujung tombak

Seperti al-Ḥallāj (33) (pencetus) cinta, sebab matahari hakikat menampak kepadanya dengan sangat dekat

Lalu ia berkata: aku adalah Tuhan (al-Ḥaqq) yang dzāt-Nya tak berubah oleh perputaran zaman.

 

“Maka beritahu aku, wahai sahabat,” kata pemuda rohaniah tersebut: “Ke mana engkau ingin pergi, aku akan memberimu petunjuk jalan? Dari mana engkau datang? Tempat mana yang engkau bayangkan?”

Aku jawab: Aku pergi berlari meninggalkan kehinaan, (44) aku ingin tiba di kotanya Rasūlullāh (madīnat-ur-Rasūl), (55) untuk mencari maqām paling indah, kibrit merah.”

Ia berkata kepadaku: “Wahai sang pencari (thālib) seperti diriku. (66) Apaka engkau tidak mendengar ucapanku yang ini:

Wahai sang pencari yang menempuh jalan rahasia….

pulanglah, (sebab) di dalam dirimu (tersimpan) rahasia dan jalan ke tujuan itu.

Wahai rahasia yang halus, (77) antara dirimu dan tujuan pencarianmu terdapat tiga tabir, (88) baik yang halus maupun tebal: tabir pertama dihiasi yaqut merah, dimiliki oleh ahl-ut-taḥqīq, tabir kedua dihiasai yaqut kuning, yang dijadikan sandaran oleh ahl-ut-tafrīq, tabir ketiga dihiasi yaqut hitam, yang menjadi sandaran ahl-ul-barāzikh (99) di jalan (tharīq). Yaqut merah untuk dzāt, yaqut hitam untuk sifat, dan yaqut kuning untuk sikap dan perbuatan. Inilah tabir pemisah.

Kemudian ia bertanya kepadaku: “Siapa teman di perjalananmu?”

Aku jawab: “Penalaran yang benar, dan berita yang benar.”

Ia berkata: “Itulah teman yang paling mulia, ia akan menempatkannya pada tempat yang paling nyata.”

Aku berkata: “Aku tidak tahu akar mendasar ini (al-ushūl), tapi aku ingin bisa sampai (al-wushūl). Aku jadikan keinginanku sebagai imamku, dan Gunung Thūr (1010) di hadapanku.”

Lalu aku mendengar (suara): “Tidak akan pernah melihatku kecuali orang yang mendengar kalamku.”

Aku pun terjerembab pingsan. Tubuhku gemeretak seakan mau lepas semua. Aku berdampar dalam sebuah lembah. Sepasang sandalku raib, dan bekalku masih tersisa. Ketika aku tidak melihat alam semesta, akau baru bisa melihat dengan mata.

‘AIN-UL-YAQĪN

Sālik mengatakan:

Mata (1111) itu memanggilku: “Wahai pemuda, hendak ke mana?”

Aku jawab: “Kepada Sang Amir!”

Ia berkata: “Engkau butuh bantuan sekretaris dan menteri. Keduanya akan mengantarkanmu kepada tujuanmu. Engkau akan melihat hakikat keyakinanmu.”

Aku bertanya kepadanya: “Di mana tempat sekretaris dan menteri itu?”

Ia menjawab: “Turunmu dari tahta, kepergianmu dari ruang (1212) (dan waktu) penanggulanmu atas baju keinginan, pembiaranmu atas amanat Tuhan, diammu dalam perbedaan. (1313) dan masukmu ke dalam sifat tanah. Sebab engkau tidak akan bisa melihat Yang Maha Esa kecuali melalui dari-Nya. Di sanalah antara Yang Ghaib dan Yang Syāhid (menyaksikan dan hadir) dapat bersatu (ittihad), keghaiban-Nya adalah tabir penghalangmu dari-Nya. Sedangkan menteri akan membantumu kepada-Nya atas seidzin-Nya. Dia (menteri) adalah khalifah-Nya (wakil) di langit maupun di bumi, yang tahu terhadap seluruh sifat dan asma’-asma’Nya. Dia (Tuhan) memerintahkan seluruh malaikat bersujud kepadanya (khalifah). (1414) Tuhan menjauhkannya dari sujud yang dilakukan makhluk terlaknat (Iblis). Sungguh bodoh siapa saja yang mengingkari dan iri hati, dan kekallah khalifah yang satu itu. Dialah Raja sekaligus khalifah, yang memiliki semua sifat-sifat mulia. Jika engkau sampai di hadapan khalifah itu, dan tiba di sana, maka dia akan memuliakan kedudukanmu, menjagamu, menjadikanmu kekasih, dan mengantarkanmu kepada Tuhanmu.”

SIFAT ROH UNIVERSAL

Sālik mengatakan:

Aku berkata kepadanya: (1515) sebutkanlah sifat-sifatnya kepadaku, (1616) supaya aku bisa mengenalnya saat aku melihatnya, dan aku bisa bersujud di hadapannya saat aku mendatanginya.

Ia menjawab: ia tidak sederhana juga tidak tersusun, tidak mengarah ke satu arah juga tidak berpaling dari arah itu, tidak bulat juga tidak berbagi-bagi, tidak ḥulūl (turun menyatu) ke dalam tubuh fisik, ia adalah pembawa amanat Tuhan, tempat berkumpulnya dengan benda-benda yang ada di hadapannya bagaikan unsur-unsur Dzāt (Tuhan) yang mengangkatnya menjadi khalifah jika dibandingkan dengan dirinya sendiri. Ia tidak berada di dalam Dzāt (Tuhan) juga tidak berada di luar sifat-sifat (Tuhan). Ia adalah sifat yang bisa kita kenal, dan sifat tidak terlepas dari apa yang disifati. Ia adalah baharu, yang muncul (shadara) dari Dzāt yang Qadīm dan Maha Kaya. Tuhan menganugerahinya seluruh rahasia yang tersembunyi dan makna yang agung nan terhormat. Ia tidak memiliki bayangan, tidak satu pun ada yang serupa serupa dengannya. Ia adalah cermin yang disinari. Engkau akan melihat hakikat dirimu tergambar dalam cermin itu. Jika engkau melihat gambarmu sendiri maka gambar itu betul-betul sudah tampak padamu. Ketahuilah itu. Itulah keinginanmu, dan engkau telah sampai pada keinginan itu. Pertahankanlah!

Aku tak henti-hentinya (1717) minta ditemani, melintasi cakrawala, mengendarai tunggangan, menempuh hamparan penuh puing-puing, menunggangi unta Ya‘malat, dan berjalan searah hembusan angin. Aku pun berlayar di lautan, merobek hijab dan tabir-tabir, dalam rangka mencari rupa (shūrah) yang agung ini, yang dipanggil Khalīfah. Shūrah-ku sendiri belum pernah terlihat olehku semenjak aku meninggalkan “mata”, sampai kini aku melihatmu. (1818) Aku pun lalu melihat diriku sendiri tanpa dusta. Karena itulah, ceritakan kepadaku, siapa dirimu dan dari mana engkau?

Catatan:

  1. 1). “Mata air tawar” dimaksudkan bahwa ilmu pengetahuan yang muncul dalam martabat ini bersifat netral, dan tidak condong pada kepentingan tertentu.
  2. 2). Susunan kalimat semacam ini, pada dasarnya ditujukan kepada ‘Ishām bin Syahīr al-Jurmī, penjaga pintu (rumah) an-Nu‘mān bin Mundzir. Selanjutnya, susunan kalimat tersebut lebih banyak digunakan untuk ungkapan pertanyaan terhadap orang yang tak dikenal.
  3. 3). Al-Ḥallāj: al-Ḥusain bin Manshūr, lahir sekitar 244 H/857 M di Thūr, Persia, seorang sufi yang berlebihan dalam cinta Ilahi, sehingga seluruh gerak hidupnya mengarah pada Tuhan. Ia meninggalkan kedamaian yang dirasakan para ahli Sulūk. Ia mati dipancung karena tarik-menarik dendam pribadi dan kepentingan politik pada 309 H/922 M.
  4. 4). Boleh jadi di sini pergi meninggalkan kemudahan yang hina untuk mencari maqām-maqām yang jauh lebih tinggi.
  5. 5). Madīnat-ur-Rasūl adalah simbol tentang maqām Muḥammad. Sedangkan maqām Muḥammad di sini bukan maqām Muḥammad itu sendiri, sebab maqām itu adalah suatu keistimewaan khusus untuk beliau, namun yang dimaksud dengan maqām Muḥammad adalah maqām sebagai pengikut Muḥammad s.a.w.
  6. 6). Ini adalah sebuah isyarat bahwa seluruh makhluk berlomba menjadi pengikut Muḥammad, termasuk maqām Muḥammad.
  7. 7). Pemuda rohaniah di sini mengarahkan pembicaraannya kepada rahasia rohaniah Sang Sālik (Ibnu ‘Arabī). Hal ini mempertegas bahwa Mi‘rāj di sini adalah mi‘rāj yang bersifat rohaniah, bukan dengan tubuh fisik.
  8. 8). Tiga tabir di sini, menurut kami, bahwa pembaca akan menemukan sendiri tafsirannya apabila merenungi posisi dan ucapan-ucapan Nabi Khidir tentang tiga tema pembicaraan ketika sedang berkomunikasi dengan Nabi Mūsā a.s.: pengrusakan kapal, membunuh anak kecil, dan membangun tembok.
  9. 9). Barāzikh adalah bentuk jama‘ dari Barzakh. Menurut Ibnu ‘Arabī, Barzakh adalah pemisah antara dua hal. Akan tetapi dalam realitasnya, Barzakh menampung kedua hal tersebut. Ahl-ul-Barāzikh adalah orang-orang yang berada pada tempat di antara dua tempat (manzilah bain-al-manzilatain). Mereka berhiaskan sifat-sifat dari dua tempat tersebut dengan sedikit-sedikit.
  10. 10). Ini isyarat pada Gunung Thūr Sīna, di mana Tuhan menampakkan Diri ketika Mūsā a.s. berkeinginan untuk dapat melihat-Nya.
  11. 11). “Mata” di sini adalah mata yang dilihat oleh Sang Sālik di akhir bab sebelumny, yaitu bab perjalanan hati. Pada bab kali ini, pengertian tentang makna itu semakin jelas, yaitu, mata keyakinan yang dapat bicara kepada Sang Sālik.
  12. 12). Ruang di sini, menurut pendapat kami, sebuah isyarat terhadap unsur tanah yang menyusun tubuh manusia. Seakan-akan “Mata” di sini meminta Sang Sālik untuk melepaskan beban badan yang memberatkannya, dan membuangnya ke tanah, yaitu, melepaskan diri dari segala tuntutan-tuntutan manusiawi.
  13. 13). Perbedaan di sini adalah ḥāl-ul-farq, sebuah kesadaran Sālik tentang statusnya sebagai hamba ketika dihadapkan dengan status ketuhanan Allah s.w.t.
  14. 14). Ini sebuah isyarat tentang peristiwa bersujudnya para malaikat kepada Ādam a.s. – sebagai manusia sempurna, dan peristiwa pengingkaran yang dilakukan oleh Iblīs terlaknat. Seperti dalam firman Allah:

    Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama, kecuali Iblīs. Ia enggan ikut bersama-sama (malaikat) yang sujud itu.” (QS. al-Ḥijr: 30-31)

    Firman yang lain:

    Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblīs; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir.” (QS. Shād: 73-74).

  15. 15). Di sini Sang Sālik mengatakan kepada “mata keyakinan” (‘ain-ul-yaqīn) yang telah memperkenalkannya kepada Sang Khalīfah – yaitu Roh Univesal, pada bab sebelumnya.
  16. 16). Di sini Sang Sālik meminta ‘ain-ul-yaqīn untuk menyebutkan sifat-sifat Roh Universal tersebut setelah sebelumnya telah dijelaskan tentang hakikatnya saja.
  17. 17). Sang Sālik terus meminta pemuda rohaniah tersebut agar merampungkan kisahnya.
  18. 18). Di sini Sālik berbicara dengan pemuda rohaniah.

3 Komentar

  1. Akhyar berkata:

    Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.Terimakasih banyak jazakallohu khoiron katsiron fidunya wal akhiroh sangat bermanfaat sekali semoga semua tulisan2 juga postingan2 menjadi amal jariah bagi saya kususnya juga muslimin muslimat pada umumnya. Menjadi insan kamil dan semoga termasuk golongan para anbiya wasuhada washolihin. Aamiin

    1. Muslim berkata:

      Wa ‘alaikum salam wr. wb.

      Alhamdulillah wa syukru lillah. Terima kasih banyak atas do’anya. Aamiiinx3 Ya Allah ?.

  2. M Yan Adrian berkata:

    mohon bisa di share kitab kitab aslinya….. ibnu arabi

Tinggalkan Balasan ke Akhyar Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *