‘Uzlah Adalah Satu-satu Jalan Mendekatkan Diri Kepada Allah – Hakikat Hikmah Tauhid & Tashawwuf

Hakikat Hikmah Tauhid dan Tashawwuf
(al-Hikam)

Karya: Dr. Muhibbuddin Waly

Penerbit: Gunung Jati – Jakarta.

12. ‘UZLAH ADALAH SATU-SATU JALAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA ALLAH.

 

  1. مَا نَفَعَ الْقَلْبَ شَيْئٌ مِثْلَ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مِيْدَانُ فِكْرَةٍ.

Yang dapat bermanfaat pada hati ialah sesuatu yang berupa ‘uzlah di mana dengannya si hamba Allah bisa masuk dalam keluasan berfikir.

Ini adalah Kalam Hikmah yang ke-12 oleh al-Imām Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī. Kalam Hikmah ini mendalam sekali dan perlu kita terangkan tujuan-tujuan yang terkandung di dalamnya sebagai berikut:

  1. Apabila dalam Kalam Hikmah yang lalu menggambarkan kepada kita sebagian jalan untuk bagaimana mencapai kesempurnaan ‘ibādah dan ta‘abbud kepada Allah s.w.t. maka dalam kalam hikmah ini beliau menerangkan kepada kita jalan bagaimana melaksanakan ajaran sebelumnya.

Ketahuilah, bahwa mengobati penyakit-penyakit hati adalah wajib hukumnya pada hamba-hamba Allah yang bermaksud Ma‘rifat kepada-Nya.

Penyakit-penyakit hati itu timbul disebabkan mengerasi tabiat kemanusian yang terjadi dari mendekati atau menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan kebaikan, cenderung pada memperkenankan kehendak hawa nafsu, bahkan juga terjadi dari rasa sayang dan cinta kepada alam lahiriyyah sehingga dapat melalaikan untuk melaksanakan ta‘abbud dan ‘ibādah dengan sempurna kepada Allah s.w.t.

  1. Untuk mengobati penyakit hati sebagai yang telah kita ketahui bermacam-macam jalannya. Tetapi jalan yang paling bermanfaat dan berhasil ialah dengan “‘UZLAH”.

“‘UZLAH” ialah menjauhkan diri untuk tidak bergaul dengan orang-orang yang menurut kaca mata agama dan akhlāq adalah tidak baik bergaul dengan mereka. Misalnya karena orang-orang itu tidak mengerjakan ajaran agama dan sering melanggar larangan-larangan Allah. Ya‘ni menjauhkan diri kita dengan orang-orang yang tidak sembahyang, bahkan mengerjakan yang haram atau orang-orang itu sering berbohong, mencela orang-orang lain dan lain-lain sebagainya. Ini tempatnya apabila kita bergaul dengan mereka pasti banyak sedikitnya akan membawa pengaruh yang tidak baik pula kepada kita. Terkecuali apabila pendirian kita sudah kuat dan tidak terpengaruh dari keadaan mereka, di samping tujuan kita ialah untuk menarik mereka pada jalan keridhaan Allah s.w.t. Apabila kita menjauhkan diri dari manusia-manusia yang tidak baik, maka kita akan pasti selamat dari akhlāq-akhlāq dan pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Terpeliharalah agama kita dan terpeliharalah diri kita dari aneka perselisihan dan perebutan duniawi, juga dari segala macam kejahatan dan fitnah.

Menjauhkan diri dari bergaul dengan manusia-manusia yang tidak baik adalah bermacam-macam coraknya menurut kekuatan keimanan kita.

Apabila kita kuat bergaul dengan mereka dan pasti saja payah kita memisahkan diri dari mereka, maka wajib bagi kita pindah tempat ke daerah di mana kita bisa jauh dari pengaruh-pengaruh itu. Karena itulah ‘ulamā’-‘ulamā’ dan hamba Allah yang shāliḥ selalu mereka memilih tempat tinggal di pinggir-pinggir kota atau daerah-daerah pegunungan dan lain-lain demi maksud tersebut di atas.

Lihatlah Rasūlullāh s.a.w. sebelum beliau menerima wahyu dan jabatan Rasūlullāh dari Allah s.w.t. Nabi Muḥammad s.a.w. meng‘uzlah-kan dirinya ke satu bukit di dalam gua Ḥirā’; memisahkan diri dari bahaya-bahaya kemaksiatan yang telah meraja lela dalam masyarakat manusia sambil beliau bertafakkur kepada alam lahiriyyah demi untuk melihat kebesaran Allah dan memperbaiki diri beliau untuk memperdalam ma‘rifat kepada Allah s.w.t. Inilah sebabnya Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda dalam satu Hadits yang diriwayatkan oleh Imām Muslim dari Sa‘ad bin Abī Waqqāsh:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ النَّقِيَّ الْخَفِيَّ.

Sesungguhnya Allah cinta kepada hamba-Nya yang Taqwā lagi yang bersih (dari segala penyakit hati) lagi yang menyembunyikan dirinya (demi menjauhkan diri dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik).

Inilah yang menyebabkan ribuan tahun dalam zaman dahulukala beberapa orang hamba Allah shāliḥ, demi untuk menyelamatkan iman dan ‘ibādah mereka kepada Allah dari pengaruh masyarakat yang sudah luar biasa kedurhakaannya kepada Allah, maka mereka memisahkan diri mereka masuk gua yang sunyi sepi, jauh terpisah dari pergaulan masyarakat manusia.

Allah berfirman dalam surat al-Kahfi juz 15, ayat 16:

وَ إِذِ اعْتَزَلْتُمُوْهُمْ وَ مَا يَعْبُدُوْنَ إِلَّا اللهَ فَأْوُوْا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِّنْ رَّحْمَتِهِ و يُهَيِّئْ لَكُمْ مِّنْ أَمْرِكُمْ مِّرْفَقًا

Dan ketika kamu meninggalkan mereka dan apapun mereka sembah selain dari Allah, carilah tempat perlindungan ke dalam gua semoga Allah Tuhan kamu menyebarkan kurnia-Nya kepadamu dan menyediakan untukmu apa yang berguna dalam pekerjaan kamu itu.”

Ayat ini memberikan pengertian kepada kita, bahwa apabila kemungkinan telah meraja lela di mana tidak mungkin diatasi selain kita pasti terjebak ke dalamnya dan jatuh ke dalam jurangnya, maka Allah memerintahkan kita ‘uzlah dan hijrah ke bumi lain di mana agama kita selamat dan hati kita tenteram dan tenang menjalankan perintah-perintah Allah s.w.t.

  1. Dengan ‘uzlah hati kita dapat melihat, dan otak kita dapat berfikir pada segala sesuatu yang bermanfaat demi untuk kebahagiaan kita dunia akhirat. Kita dapat mengoreksi tubuh kita dan anggota-anggota badan kita, apakah pakaian yang kita pakai betul-betul halal atau tidak. Apabila tidak, kita wajib mencabutnya dan menukarnya dengan yang halal.

Kita lihat pula lidah kita apakah sering mengucapkan kebohongan-kebohongan fitnah-fitnah, mencela, mengejek dan mengatakan sesuatu yang ada manfaatnya ataukah sebaliknya. Apabila kita memperbuat itu semuanya di mana tidak diridhai oleh Allah s.w.t., maka hendaklah kita fikirkan bagaimana kita memelihara lidah kita agar tidak sampai mengucapkan hal-hal yang demikian. Demikianlah seterusnya, fikiran kita, kepala kita, tangan kita, kaki kita, dua mata kita, dua telinga kita dan lain-lain. Maka dengan ‘uzlah, demi memisahkan diri, in syā’ Allāh semuanya itu dapat kita jauhkan, apabila semua penyakit hati dan dosa lahiriyyah, kita fikirkan untuk maksud ini adalah ‘ibādah yang paling besar nilainya dari semua ‘ibādah-‘ibādah yang besar.

Karena itulah maka Imām Ghazālī telah mengutip Hadits Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan oleh Ibnu Ḥibbān dari Abū Hurairah r.a. sebagai berikut:

تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ سَبْعِيْنَ سَنَةً.

Berfikir satu saat adalah lebih baik dari ‘ibādah selama 70 tahun.”

Soalnya tidak lain, karena dengan berfikir itu kita dapat melihat segala penyakit-penyakit hati kita, segala tipu-daya syaithān terhadap diri kita, dan segala pengaruh duniawi yang telah menjauhkan kita dari jalan ‘ibādah yang sempurna.

Apabila semua ini telah dapat kita lihat dan kita berusaha untuk bagaimana menjauhkannya, maka in syā’ Allāh ma‘rifat kita kepada Allah s.w.t. akan terus bertambah dalam juga. Di dalam kita ‘uzlah maka hendaklah kita jaga musuh kita yang empat seperti yang telah disebutkan dalam ajaran ‘ilmu Tashawwuf.

  1. DUNIA.

Ini menjadi musuh kita, apabila kita tidak dapat mengemudikannya, sehingga kita terbawa oleh arus masyarakat yang tidak baik kepada jalan yang tidak diridhai oleh Allah s.w.t. Oleh sebab itu kita wajib “‘UZLAH”, wajib hijrah supaya tidak dilanda oleh dunia yang jahat dan kejam itu.

  1. SYAITHĀN.

Ini musuh kita yang terang-terangan. Ia menggoda kita supaya kita patuh dalam tipu-dayanya. Godaan syaithān ini biasanya datang apabila perut kita penuh kekenyangan dengan makanan-makanan. Oleh sebab itu, maka hendaklah kita latih perut kita dengan lebih cenderung kepada lapar daripada kenyang, karena kekenyangan perut menyebabkan berat ‘ibadah dan lebih senang tidur dan lain-lain dengan pekerjaan yang sifatnya bukan ‘ibādah. Makan adalah suatu keharusan dan juga minum tetapi janganlah makan dan minum itu sampai ke taraf di mana kita berat melaksanakan perintah-perintah Allah s.w.t.

  1. NAFSU.

Ini adalah musuh kita. Nafsu timbul pada umumnya apabila kita kebanyakan tidur. Dan nafsu ini dapat dicegah apabila kita lebih banyak berjaga daripada tidur.

  1. ḤAWĀ’.

Musuh ini biasanya kumat-kamit apabila kita tidak mengerem lidah kita berkata-kata ya‘ni, apabila kita banyak berkata-kata tanpa bermanfaat dan tak ada batasnya maka keluarlah hawa menggoda kita untuk lebih leluasa kita mengatakan sesuatu yang tidak benar.

Karena itu, lawannya adalah kita harus lebih banyak diam dan tidak bercakap apabila tidak ada manfaatnya.

4. Ketahuilah pula bahwa ‘uzlah itu terbagi kepada dua (2):

  1. ‘Uzlah dengan hati dan diri, ya‘ni menjauhkan diri kita dan hati kita dari segala makhlūq, ya‘ni dari manusia. Seperti ‘uzlah Rasūlullāh s.a.w. di gua Ḥirā’ dan ‘uzlah Ashḥāb-ul-Kahfi sebagaimana tersebut di atas.
  2. ‘Uzlah dengan hati saja, tetapi tubuh jasmaniyyah kita tetap bergaul dengan manusia, hatinya bergaul dengan Allah tetapi tubuhnya dalam masyarakat pergaulan manusia.

‘Uzlah tingkatan ini adalah ‘uzlah orang yang dapat menyelamatkan imannya dan agamanya, meskipun bergaul dengan siapa saja. Hamba-hamba Allah dalam tingkatan ini dapat diketahui seperti Waliyyah Allāh Rābi‘ah al-‘Adawiyyah. Beliau berkata dalam perasaan hati yang menghadap kepada Allah s.w.t.:

وَ لَقَدْ جَعَلْتُكَ فِي الْفُؤَادِ مُحْدِثِيْ
وَ أَبَحْتُ جِسْمِيْ مَنْ أَرَادَ جُلُوْسِيْ
فَالْجِسْمُ مِنِّيْ لِلْجَلِيْسِ مُؤَانِسٌ
وَ حَبِيبُ قَلْبِيْ فِي الْفُؤَادِ أَنِيْسِيْ.

Sungguh aku jadikan Engkau dalam hatiku berbicara dan berdialog.
Sedangkan tubuhku aku biarkan duduk dengan siapa yang ingin duduk bersama saya.
Maka tubuhku berjinak-jinak dengan orang yang duduk di sampingnya.
Tetapi kecintaan hatiku tertambat dengan halus gemulai di dalam hati.”

Kesimpulannya apabila kita ingin supaya kita bersih dari dosa-dosa lahiriyyah dan seluruh penyakit hati, maka wajib kita ‘uzlah dan hijrah dari makhlūq, apakah dengan hati dan tubuh. Pilihlah mana yang lebih sesuai dengan kekuatan kita.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *