Tuntunan untuk Mengelola Kekayaan – Syaikh Muhammad al-Birgawi – Agar Rezeki yang Mencarimu (2/2)

Rangkaian Pos: Tuntunan untuk Mengelola Kekayaan - Syaikh Muhammad al-Birgawi - Agar Rezeki yang Mencarimu

Menggunakan terlalu banyak air selagi mencuci, atau terlalu banyak minyak di lampu, terlalu banyak kayu atau arang di tungku untuk memasak atau menghangatkan badan dianggap sebagai penghamburan.

Apabila menjual, meminta bayaran kurang dari harga sebenarnya, dan apabila membeli, membayar lebih banyak dari harga sebenarnya, bahkan sekalipun kau ditipu, dianggap sebagai tindakan yang merugikan. Demikian pula halnya tinggal di rumah besar dan membayar sewa yang mahal. Meski demikian, tidak masalah bila orang dengan sengaja membayar lebih dari harga sebenarnya dengan maksud membantu secara tidak langsung orang yang menjualnya, yang tampak sangat membutuhkan.

Bahkan, membungkus dengan kain kafan lebih banyak dari yang diperlukan, atau menggunakan air lebih banyak dari yang semestinya ketika memandikan mayat, atau ketika berwudhu’, dianggap sebagai pemborosan.

Ibnu ‘Umar meriwayatkan bahwa suatu hari Nabi s.a.w. melihat Sa‘d ibn Abī Waqqāsh berwudhu dan Rasulullah berkata kepadanya: “Wahai Sa‘d, kamu sungguh boros!” Sa‘d menanyakan apakah air jadi terbuang sia-sia meskipun dipakai untuk berwudhu. Nabi s.a.w. bersabda: “Ya, sekalipun kau mempergunakan air yang mengalir di sungai.” (Riwayat Aḥmad ibn Ḥanbal).

HARUS DIMENGERTI BAHWA PEMBOROSAN ITU DOSA, BUKAN HANYA KARENA SIKAP ITU MEMBUANG-BUANG BENDA, TETAPI KARENA KEBIASAAN BURUK INI MENUNJUKKAN RUSAKNYA MORAL, TIADANYA PENGHARGAAN, KETIDAKPEDULIAN, EGOISME, KESOMBONGAN, BAHKAN TANDA KETIDAKBERIMANAN. Seseorang yang terbebaskan dari sifat-sifat yang melanggar batas ini akan selalu memiliki niat yang baik, makan dengan baik, berpakaian dengan baik, tinggal di rumah yang baik, hidup dengan baik, dan tidak membelanjakan kekayaannya pada sesuatu yang haram. Selama ia lakukan semua itu dengan tulus ikhlas, bukan untuk pamer, atau merasa lebih baik dari yang lain, dan selama ia berbagi manfaat dengan orang lain dan ia bersyukur, ia telah menempuh jalan kebaikan.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas: “Makanlah sesukamu dan berpakaianlah sekehendakmu selama kesombongan dan pemborosan tidak membuatmu melanggar batas.” (Riwayat al-Bukhārī).

Di sisi lain, membelanjakan banyak harta karena Allah dan di jalan-Nya adalah sebaik-baik perbuatan. Mujāhid berkata: “Apabila seseorang memiliki setumpuk emas setinggi gunung Abū Qubaisy dan membelanjakan semuanya di jalan Allah, itu bukanlah pemborosan. Tetapi, jika kau membelanjakan sekeping mata uang atau segenggam jagung untuk melawan kehendak Allah, maka kamu bersalah atas dosa pemborosan.”

Seseorang berkata kepada Ḥātim ath-Thā’ī: “Tidak ada kebaikan dalam pemborosan.” Ḥātim menimpalinya: “Tidak ada pemborosan dalam melakukan kebaikan.”

Kendati demikian, hendaklah kita berhati-hati agar tidak berlebih-lebihan dalam berderma. Allah berfirman:

وَ هُوَ الَّذِيْ أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوْشَاتٍ وَ غَيْرَ مَعْرُوْشَاتٍ وَ النَّخْلَ وَ الزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَ الزَّيْتُوْنَ وَ الرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَ غَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوْا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَ آتُوْا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَ لَا تُسْرِفُوْا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (al-An‘ām [6]: 141).

Para juru tafsir terkenal seperti ar-Rāzī, al-Qādhī dan az-Zamakhsyarī sepakat bahwa ungkapan “tunaikanlah haknya” berarti zakat yang harus dibayarkan oleh setiap muslim, yaitu seperempat puluh bagian dari yang diperolehnya, juga sedekah sunnah, dan sumbangan untuk kebaikan. Ungkapan “janganlah berlebih-lebihan” merujuk kepada pembelanjaan kekayaan itu untuk perbuatan baik selain itu. Menurut sumber yang dapat dipercaya: “janganlah berlebih-lebihan, karena Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” turun tatkala Tsābit ibn Qais membagi-bagikan semua kekayaannya kepada orang miskin, dan tidak menyisakan sedikit pun untuk keluarganya. Sedangkan ‘Abd-ur-Razzāq meriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa sebab turunnya ayat ini adalah ketika Mu‘ādz ibn Jabal memberikan semua hasil panen kurmanya kepada orang-orang miskin dan melupakan kebutuhan keluarganya. Jābir ibn ‘Abdullāh dan Ibnu Mas‘ūd menyebutkan keterangan lain. Menurut keduanya, ayat ini diturunkan tatkala seorang anak kecil datang kepada Rasūlullāh dan mengatakan bahwa ibunya menginginkan sesuatu dari Rasūlullāh, tetapi Rasūlullāh tidak memiliki apa yang dimintanya.

“Berarti ibuku menghendaki pakaian yang engkau pakai,” ujar anak itu.

Rasūlullāh pun membuka pakaiannya dan memberikannya kepada si anak. Akibatnya, setelah itu Rasūlullāh tidak mengenakan pakaian yang layak untuk pergi ke masjid sehingga menarik perhatian orang-orang. Ketika itulah Allah menurunkan ayat tersebut.

Abū Hurairah menceritakan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Apabila kalian hendak membantu orang-orang atau memberikan sedekah, berilah lebih dari yang dibutuhkannya. Tetapi terlebih dahulu perhatikanlah kebutuhan keluargamu yang lebih luas, yaitu orang-orang yang hidupnya menjadi tanggung-jawabmu. Sesungguhnya, tangan yang memberi lebih baik dari tangan yang menerima. Mulailah berbuat baik dengan memenuhi kebutuhan orang-orang yang berada di bawah tanggung-jawab kalian.” (Riwayat al-Bukhārī).

Abū Hurairah juga menceritakan bahwa seseorang menemui Nabi s.a.w. dan berkata: “Aku punya sekeping uang untuk disedekahkan.”
Nabi s.a.w. bersabda: “Gunakanlah itu untuk dirimu.”
“Aku masih punya keping lainnya,” jawabnya.
Berikanlah kepada anak-anakmu.”
Ketika ia mengatakan bahwa untuk kebutuhan itu ia masih punya sekeping lain, Nabi mengatakan: “Belanjakanlah untuk kepentingan rumah tanggamu.
Orang itu bilang bahwa untuk itu pun ia masih punya yang lainnya.
Berikanlah kepada orang yang melayanimu.”
“Tatkala ia mengatakan bahwa untuk itu ia masih punya yang lainnya, Nabi s.a.w. bersabda: “Aku serahkan kepadamu untuk melakukan apa yang ingin kau lakukan dengannya.” (Riwayat al-Baghawī).

Al-Bukhārī mengatakan bahwa apabila seseorang tidak kaya dan keluarganya tidak terpelihara dengan layak, atau ia punya utang, yang pertama harus dilakukannya adalah membayar utang. Kemudian, ia harus memenuhi kebutuhan keluarganya, baru kemudian mencoba membantu yang lain. Sebab, Allah akan melemparkan kembali ke muka orang semacam itu apa yang ia sedekahkan kepada orang lain, karena seorang pengutang tidak berhak menyedekahkan uang kepada orang lain untuk menunjukkan kemurahan hatinya. Abul-Laits as-Samarqandī dalam kitabnya: Tanbīh-ul-Ghāfilīn, mengutip perkataan Ibrāhīm ibn Adham bahwa seseorang yang punya utang tidak berhak mengolesi rotinya dengan mentega. Seorang ulama seperti Ibnu Ḥajar al-‘Asqalanī dan Ibn-ul-Baththāl sepakat bahwa haram hukumnya bagi seorang yang punya utang untuk memberikan sedekah hingga ia membayar dulu semua utangnya.

Ath-Thabarī dan para ulama lainnya sepakat bahwa memberikan harta untuk bersedekah dibolehkan jika kita sehat jasmani dan rohani, tidak punya utang kepada yang lain, baik uang atau benda lain, tidak punya tanggungan, yang merasa yakin bahwa kita dapat menanggung beban meski tidak punya uang. Apabila salah satu keadaan itu tidak terpenuhi, maka akan lebih baik jika kita mempergunakan kekayaan itu untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga. Bahkan, para ulama yang mendasarkan pandangannya ini kepada pendapat Sayyidinā ‘Umar menyatakan bahwa Allah tidak akan menerima tindakan berlebihan semacam ini sebagai suatu perbuatan baik.

Setelah kita membahas berbagai aspek pemborosan dan kemubaziran serta berbagai akibat mudaratnya, kini marilah kita mengkaji cara menghindari kemubaziran.

Apabila kau dihinggapi penyakit ini, mungkin kesadaranmu akan bisa bangkit dengan membaca dan memercayai penjelasan yang telah kami sampaikan berkenaan dengan akibat buruk pemborosan dan kemubaziran. Namun, jika ternyata kau merasa tidak mampu menghindarinya, carilah seseorang yang dekat dan kau percayai untuk menjadi pengurus dan pengelola semua urusanmu, termasuk pengelolaan harta kekayaanmu.

Biasanya, salah satu dari enam sebab berikut inilah yang menyulitkan penyembuhan orang yang dijangkiti penyakit boros.

Pertama, kesombongan, yakni keyakinan bahwa kita dapat melakukan apa saja atas kekayaan kita karena semua itu kita peroleh dengan usaha kita sendiri. Sikap ini menunjukkan tidak adanya keimanan kepada Allah sebagai Tuhan pemberi rezeki.

Kedua, kemunafikan dalam wujud keangkuhan, yang mendorong seseorang membelanjakan lebih banyak dari kesanggupannya dengan maksud agar diperhatikan dan dikagumi orang-orang.

Ketiga, kemunafikan dalam wujud kepura-puraan, yang mendorong orang menutupi ketadaksanggupan dan kemalasannya dengan membelanjakan uang lebih banyak daripada kemampuan menghasilkannya.

Keempat, keterikatan kepada kehidupan dunia, yang membuat seseorang cenderung hidup mengikuti standar tinggi dengan mengatasnamakan “kehidupan yang baik.”

Kelima, kebodohan, yang menyebabkan seseorang tidak dapat membedakan antara boros dan murah hati. (Memang, dalam banyak kasus, kedua sikap ini sulit dibedakan).

Keenam, kedunguan dan lemah pikiran. Kedunguan sering kali merupakan bawaan lahir. Ketidaknormalan semacam ini biasanya mewujud dalam sikap tidak bertanggung-jawab, dan kadang-kadang dalam tindakan yang berlebih-lebihan, termasuk di antaranya membelanjakan harta tanpa kendali. Allah memerintahkan kita agar tidak membiarkan orang semacam ini mengelola sendiri keuangan dan kekayaannya, tetapi mengangkat seseorang yang dapat dipercaya untuk menjadi walinya, yang secara resmi menanggungjawabi kekayaan mereka. Allah berfirman:

وَ لَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا وَ ارْزُقُوْهُمْ فِيْهَا وَ اكْسُوْهُمْ وَ قُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang lemah pikirannya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja untuk makanan dan pakaian (dari harta itu) dan katakanlah kepada mereka itu kata-kata yang baik.” (an-Nisā’ [4]: 5).

Termasuk dalam kelompok orang yang lemah pikiran adalah ahli waris yang mendapatkan bagian warisnya, namun kemudian menghambur-hamburkannya tanpa perhitungan, karena ia memperolehnya tanpa susah payah, atau karena dipengaruhi kawan-kawannya yang buruk, yang memanfaatkan kebodohannya. Allah juga melarang orang beriman menjadikan orang-orang yang berperilaku buruk sebagai teman atau pelindung mereka.

Kadang-kadang orang yang sempurna jasmani dan ruhaninya pun dapat terjatuh ke dalam pengaruh buruk jabatan tinggi yang diraihnya. Politikus, pejabat negara, ataupun para pemimpin agama yang keras hati dan tak kenal belas kasihan cenderung bersikap boros agar dipuji dan dihormati oleh orang-orang di sekitar mereka. Mereka menghambur-hamburkan harta rakyat, organisasi, dan negara yang seharusnya mereka jaga dan kelola dengan amanah.

Pemborosan yang diakibatkan oleh sakit mental hanya dapat dicegah dengan mengangkat seorang pengelola untuk menjaga kekayaannya agar tidak dihambur-hamburkan.

Seorang lemah mental yang mewarisi harta dari orangtuanya yang kaya raya harus ditolong dan dijauhkan dari orang-orang yang berperilaku buruk dan dijauhkan dari tempat-tempat yang dapat menggiringnya ke dalam kesesatan.

Orang yang tidak tahu perbedaan antara boros dan murah hati harus diberi pemahaman tepat tentang apa yang baik dan yang buruk.

Orang yang suka foya-foya dan memamerkan kekayaannya dapat diingatkan dengan hukuman yang telah menunggu orang-orang munafik di akhirat.

Kepada orang yang berambisi mengejar kesenangan hidup duniawi, ingatkanlah bahwa ia telah mengorbankan kebahagiaan abadi di akhirat demi kesenangan dan kegembiraan sejenak di dunia.

Kepada orang lemah yang mencoba menyembunyikan kemalasan dan kegagalannya dengan memboroskan hartanya, ingatkanlah untuk bekerja keras demi memenuhi kebutuhan dirinya. Allah berfirman:

وَ أَنْ لَّيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“….dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya sendiri.” (an-Najm [53]: 39).

Diceritakan dari Anas ibn Mālik dan Sayyidah ‘Ā’isyah bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Aku berlindung kepada Allah dari bencana kemalasan.” (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim).

Orang yang malas harus bergabung dengan orang jujur yang suka bekerja keras dan dengan lingkungan yang dapat mendorongnya bekerja.

Orang sombong yang mengingkari karunia Allah baru akan sadar bila Allah menarik apa yang telah diberikan kepadanya dan membiarkannya papa, tidak memiliki apa-apa dan kesepian.

Semoga Allah menganugerahi kita kemampuan untuk menyadari dampak buruk sikap menyia-nyiakan karunia-Nya. Dan bagi mereka yang terhinggapi penyakit ini, semoga Allah menganugerahi mereka kearifan, kekuatan, dan petunjuk untuk melawan sifat buruk ini. Hanya Allah-lah penolong terbaik. Dialah satu-satunya Dzāt yang memudahkan segala kesulitan yang dihadapi setiap makhluk-Nya.

“Bagaimana engkau percaya kepada apa yang kau miliki padahal itu semua akan hilang, dan bagaimana engkau tidak percaya kepada Allah padahal Dia tidak akan pernah hilang? Wahai yang bergantung pada makhluk dan sebab, (mengapa) engkau menafikan kekuatan dan keagungan Allah di dunia dan akhirat. Wahai yang percaya kepada yang kau miliki, (mengapa) engkau menafikan kekayaan-Nya di dunia dan akhirat.”‘Abd-ul-Qādir al-Jailānī.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *