“Bila kita sudah bertawakal, bekerja, dan sukses, masih ada lagi tuntunan agama yang perlu kita perhatikan. Ini adalah bagian dari kesempurnaan Islam – yang memberi tuntunan untuk setiap aspek kehidupan. Imām Muḥammad al-Birgawī menerangkan berbagai tuntunan untuk mengelola rezeki pemberian Allah dalam salah satu bab di kitab ath-Tharīqat-ul-Muḥammadiyyah. Mari ikuti petikan penting dari kitab itu berikut ini.
9
Syaikh Muḥammad al-Birgawī (w. 981 H).
Segala peringatan tentang godaan dan bahaya harta dunia seharusnya tidak membuat kita lupa bahwa uang, kekayaan, dan harta benda jugalah pemberian Allah. Kita dianugerahi lahan yang subur untuk digarap, ditanami, dan diairi. Karena itu, kita tanam pepohonan yang buahnya kita kumpulkan sebagai bekal, tidak hanya untuk dunia ini, namun pula untuk akhirat nanti.
Uang itu memang penting, baik untuk mengarahkan hidup kita di dunia ini maupun untuk mempersiapkan diri menghadapi hari akhir. Fisik kita, tubuh kuat dan sehat yang harus diberi makanan dan pakaian, dijaga, dirawat, dan dipelihara, adalah kendaraan untuk ruhani kita. Hanya dengan uanglah kita dapat menjamin tenaga, kesehatan, dan keamanan. Bagaimana kita dapat melindungi diri dari musuh; membantu keluarga, kawan-kawan, dan orang-orang yang membutuhkan; membayar kewajiban dan utang-utang kita; pergi berhaji; mendidik diri; membantu pembangunan sekolah, rumah sakit, jalan, dan jembatan; mengamankan masyarakat dan negeri kita; dan menyelamatkan diri dari ketergantungan kepada yang lain, kalau tidak dengan uang?
Kendati begitu, setiap orang harus bekerja dengan cara yang halal. Allah tidak akan memberi selain dari apa yang kita usahakan. Di sisi Allah, bekerja keras, memperoleh uang secara halal, dan membelanjakannya dalam kebaikan dipandang lebih baik daripada menghabiskan waktu untuk shalat sunnah, serta ibadah sunnah lainnya, hanya untuk mengharapkan keselamatan pribadi. Tuhan menilai bahwa manusia terbaik yang akan masuk surga adalah yang berbuat baik kepada orang lain.
Abu Qabsyah al-Anshārī menceritakan bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Allah memberikan kepada seseorang pengetahuan dan harta benda. Apabila ia bersyukur dan bertakwa kepada Allah, serta menyadari bahwa keluarganya dan orang-orang lainnya memiliki hak atas harta miliknya, kemudian ia berbagi ilmu dan kekayaannya itu dengan mereka, maka ia telah menyiapkan istana yang akan ia masuki di surga.” (Riwayat at-Tirmidzī).
Nabi s.a.w. bersabda kepada ‘Amr ibn al-‘Āsh bahwa bagi orang lurus dan bertaqwa, kekayaan yang diperoleh dengan halal itu merupakan pemberian istimewa dari Allah. Rasūlullāh berdoa untuk Anas ibn Mālik: “Ya Allah, tambahkanlah bagi Anas kekayaan dan jumlah anak-anaknya, jadikanlah kekayaannya itu melimpah dan bersih untuknya.” Dan tatkala Ka‘b hendak menyumbangkan hartanya kepada kaum muslim, Nabi s.a.w. bersabda: “Jangan, tahanlah sebagian kekayaanmu, karena itu merupakan karunia dari Allah kepadamu.”
Allah berfirman:
وَ وَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى
وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“… dan Tuhanmu mendapatimu dalam keadaan membutuhkan, Dia kemudian membuatmu kaya ….Maka atas nikmat yang diberikan oleh Tuhanmu itu, hendaklah kamu ungkapkan.” (adh-Dhuḥā [93]: 8 dan 11).
Sufyān ats-Tsaurī berkata: “Saat ini, kekayaan adalah pedangmu untuk menghadapi musuh-musuhmu.”
Sa‘īd ibn al-Musayyab berkata: “Tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak mau bekerja keras untuk mendapatkan uang, karena sikapnya itu membuktikan bahwa ia tidak mengakui tanggung jawabnya terhadap dunia, yang utang-utangnya itu hanya dapat ia bayar dengan uang. Ia juga tidak memedulikan orang-orang yang akan tinggal setelah ia pergi, juga tidak peduli terhadap hari akhiratnya sendiri.”
Ibn-ul-Jauzī berkata: “Apabila niatmu itu benar, mengumpulkan dan menyimpan kekayaan lebih baik daripada meninggalkannya.”
Namun, ingatlah selalu bahwa kekayaan memiliki dua sisi, sisi baik dan sisi buruk. Sisi baiknya layak dipuji dan sisi buruknya mesti dicela. Bahaya kekayaan material adalah menjadikan seseorang sombong dan melupakan Allah, kematian dan akhirat. Setelah itu, ia membangkang kepada-Nya, mengabaikan agama dan tanggung-jawabnya, serta terikat kepada dunia, tidak bermoral, mementingkan diri sendiri, dan kikir.
Memang berat untuk menyadari bahwa harta milik kita itu sebenarnya bukanlah milik kita, melainkan pemberian dari Allah sebagai pinjaman kepada kita yang harus dibelanjakan untuk kebutuhan kita dan orang lain. Keyakinan bahwa kekayaan kita adalah murni hasil usaha kita sendiri dan milik kita yang harus dipertahankan, alih-alih memperlakukannya sebagai amanat dari Allah, adalah dosa. Itu menunjukkan bahwa kita tidak percaya kepada Allah, atau bahwa kita mengecilkan kebaikan Allah sebagai pemberi rezeki kepada seluruh makhluk-Nya sehingga kita menjadi orang yang tidak bersyukur.
Allah s.w.t. berfirman:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَ لَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
“Jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sungguh ‘adzab-Ku sangatlah pedih.” (Ibrāhīm [14]: 7).
Orang yang tidak bersyukur, cepat atau lambat, akan kehilangan apa yang telah diterimanya. Salah satu tanda bahwa kita akan kehilangan harta milik kita adalah ketika kita menghambur-hamburkannya secara mubazir.
Boros dan menghambur-hamburkan harta sama berdosanya dengan kikir. Menghambur-hamburkan kekayaan, yang berarti menyia-nyiakan pemberian Allah, merupakan bentuk pelecehan kepada Allah dan kezhaliman kepada manusia. Jika kita perhatikan, lebih banyak pernyataan, baik yang dikatakan atau dituliskan, yang menentang sifat kikir ketimbang yang menentang sifat boros. Itu karena tabiat manusia cenderung menahan sesuatu ketimbang melepaskannya. Sifat kikir mencerminkan rasa takut, rasa tidak aman menyangkut masa depan. dan rasa ragu akan kebaikan Allah. Sikap ini menahan orang yang kikir terus-menerus dalam keserakahan dan kekikirannya. Perilaku boros adalah seperti keangkuhan Fir‘aun, yang menjadikan dirinya sebagai tuhan dan membangun piramida setinggi gunung untuk dirinya sendiri. Sikap boros dengan membuang-buang harta seperti itu tidaklah memberi manfaat kepada siapa pun. Sebaliknya, sikap ini justru menggiring dirinya dan orang lain pada penurunan derajatnya, baik di dunia maupun kelak di akhirat.
Allah melarang kita menghambur-hamburkan harta dengan semena-mena:
وَ لَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِيْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ قِيَامًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang lemah akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (an-Nisā’ [4]: 5).
يَا بَنِيْ آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ و كُلُوْا وَ اشْرَبُوْا وَ لَا تُسْرِفُوْا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Wahai anak-cucu Adam, kenakanlah pakaian terbaikmu apabila hendak menghadap Allah di dalam masjid. Makan dan minumlah tapi janganlah berlebih-lebihan.” (al-A‘rāf [7]: 31)
وَ آتِ ذَا الْقُرْبى حَقَّهُ وَ الْمِسْكِيْنَ وَ ابْنَ السَّبِيْلِ وَ لَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ وَ كَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوْرًا
Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Dan berikanlah dari sebagian hartamu haknya kepada keluarga-keluarga yang dekat, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sungguh pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangatlah ingkar kepada Tuhannya.” (Banī Isrā’īl [17]: 26-27).
Nabi s.a.w. bersabda: “Pada Hari Perhitungan kelak, anak-cucu Ādam tidak akan lolos ujian hingga mereka dapat menjawab empat pertanyaan: bagaimana ia mempergunakan waktunya? Apa yang ia dapatkan dari usaha dan tindakannya selama hidupnya? Bagaimana ia mempergunakan kekayaan yang diperolehnya? Dan bagaimana ia mempergunakan kesehatan dan kekuatannya?” (Riwayat at-Tirmidzī).
Berkaitan dengan hal ini, perlu dicamkan bahwa Islam mengharamkan riba, yakni kelebihan atas modal pinjaman. Menerima maupun membayar riba sama-sama haram, karena riba termasuk ke dalam bentuk pemborosan. Riba menyebabkan pembuang-buangan, terutama pada waktu pembayaran utang, dan juga ketika menerima. Sebab, setiap yang diberikan dan diambil, apabila jumlah, jenis, atau nilainya berubah antara waktu diberikan dan waktu diambil, dianggap sebagai penurunan nilai dan, karenanya, terbuang sia-sia.
Pengertian penghambur-hamburan adalah mengeluarkan uang untuk sesuatu yang darinya kau tak bisa mendapatkan imbalan, tidak menerima keuntungan atau manfaat apa pun. Juga termasuk penghambur-hamburan jika kau membuangnya ke laut, membakar atau menyobeknya, atau jika kau berjudi, mabuk-mabukan dan berfoya-foya; atau jika kau meminjamkannya dengan tidak tepat. Perilaku semacam itu bagaikan orang yang membiarkan buah yang sudah matang membusuk di pohonnya, membiarkan gandum tidak terpanen di ladangnya, membiarkan atap yang sudah bocor, membiarkan hewan ternak berkeliaran tanpa penjagaan, atau seperti orang yang tidak merawat dirinya dan keluarganya. Semua itu termasuk tindakan menghambur-hamburkan (tabdzīr) yang dilarang oleh agama.
Untuk menghindari kemubaziran, kita harus memperhatikan segala hal hingga yang paling kecil sekalipun. Kita harus menjaga harta milik kita, termasuk makanan, pakaian, buku, kertas, dari serangan kutu, kelembapan, panas dan dingin, atau dari segala hal yang mungkin merusaknya. Tidak menghabiskan makanan dan membuangnya, atau membiarkan sisa roti di atas meja merupakan dosa kemubaziran yang sering kali tidak disadari.
Termasuk dalam kemubaziran adalah makan terlalu banyak, makan ketika tidak lapar, dan banyak makan hingga kekenyangan. Makan melebihi yang dibutuhkan diperbolehkan jika kau berniat puasa keesokan harinya, atau agar tidak membuat malu tamu yang sedang lapar yang makan di meja makanmu.
Sayyidah ‘Ā’isyah menceritakan bahwa ketika ia makan dua kali sehari, Rasūlullāh mencelanya dengan mengatakan: “Hai ‘Ā’isyah, apakah kau tidak punya hal lain untuk dikerjakan selain memenuhi perutmu? Makan dua kali dalam sehari adalah penghamburan, dan Allah tidak menyukai orang yang menghambur-hamburkan pemberian-Nya.” (Riwayat al-Baihaqī).
Anas ibn Mālik meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Makan semua makanan yang menarik seleramu dianggap sebagai sikap berlebih-lebihan dalam menggunakan rezeki Allah.” (Riwayat Ibnu Mājah, al-Baihaqī, dan Ibnu Abid-Dunyā).
Juga dianggap berlebihan jika kita merasa bosan dengan sejenis makanan yang ada dan memasak hidangan lain, rewel dan pilih-pilih makanan, meninggalkan makanan pokok dan lebih memilih makanan yang lezat dan mengundang selera. Allah s.w.t. berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تُحَرِّمُوْا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَ لَا تَعْتَدُوْا إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
“Hai orang beriman, janganlah mengharamkan apa-apa yang baik yang telah dihalalkan Allah bagi kalian, dan janganlah melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (al-Mā’idah [5]: 87).
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللهِ الَّتِيْ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَ الْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِي لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ
“Katakanlah: “Siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan yang lebih baik tersedia khusus untuk mereka saja di akhirat. Demikianlah Aku jelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengerti.” (al-A‘rāf [7]: 32).
Nabi s.a.w. meminta sahabat Jābir, yang meninggalkan sisa-sisa makanan di piringnya, untuk menghabiskannya, dan bahkan menjilati jari-jarinya. Rasūlullāh menyatakan bahwa seseorang tidak mengetahui pada tetesan rezeki yang manakah berkah Allah itu berada. Ia menyatakan bahwa syaithan berdiri di samping orang yang sedang makan untuk memakan apa yang tersisa di piringnya.
Nabi s.a.w. sendiri suka membersihkan piringnya setiap kali usai makan. Rasūlullāh mengumpulkan setiap remah roti atau butiran gandum yang jatuh ke tanah, dan kemudian ditaburkan untuk dimakan burung-burung atau semut. Setiap makanan yang tersisa yang tidak layak disantap manusia hendaknya diberikan kepada binatang.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Allah peduli kepada orang yang memedulikan makhluk-Nya. Karena itu, pedulilah kepada makhluk di muka bumi ini, agar yang di langit peduli kepadamu.”
Rasūlullāh juga bersabda: “Ada pahala bagi siapa saja yang memberi minum kepada makhluk yang kehausan.”