Tidak Boleh Show Pada ‘Ibadah – Hakikat Hikmah Tauhid & Tashawwuf

Hakikat Hikmah Tauhid dan Tashawwuf
(al-Hikam)

Karya: Dr. Muhibbuddin Waly

Penerbit: Gunung Jati – Jakarta.

11. TIDAK BOLEH SHOW PADA ‘IBĀDAH.

 

Tentang bagaimana ajaran ‘ilmu Tashawwuf dalam mengerjakan ‘amal ‘ibādah di mana kita hamba Allah yang diperintah-Nya supaya mengerjakan perintah-perintahNya dengan sebaik-baiknya, maka ajaran Tashawwuf melarang kita “SHOW” (memperlihatkan kepada orang) demi maksud keuntungan duniawi.

Ajaran akhlāq Tashawwuf itu telah dirumuskan oleh al-Imām Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī dalam Kalam Hikmahnya yang ke-11 sebagai berikut:

  1. اِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِيْ أَرْضِ الْخُمُوْلِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لَا يَتِمَّ نَتَائِجُهُ.

Tanamkanlah wujudmu dalam bumi yang sunyi sepi, karena sesuatu yang tumbuh dari benda yang belum ditanam tidak sempurna hasilnya.

Pengertian Kalam Hikmah ini adalah sebagai berikut:

  1. Hamba Allah yang sedang berjalan dengan ‘amal ‘ibādahnya untuk menghampiri diri kepada Allah dengan ma‘rifat kepada-Nya, salah satu dari syarat-syarat sampai kepada tujuan tersebut ialah “TAWĀDHU‘”, ya‘ni tidak bermaksud apalagi berusaha supaya masyhur dikenal orang dan disebut orang namanya di mana-mana. Ia wajib menguburkan dirinya dalam bumi yang sunyi sepi. Maksudnya ia wajib tidak menonjolkan dirinya pada jalan-jalan atau sebab-sebab yang mendatangkan kemasyhuran. Ditahannya dirinya dari mencapai pangkat dan kedudukan, kursi dan jabatan dan lain sebagainya, yang membawa tersiar namanya ke mana-mana.

Kenapa demikian? Jawabnya tidak lain, sebab menyembunyikan diri dalam sikap dan perasaan adalah membantu atas terwujudnya ikhlāsh yang hakiki dan sempurna. Tetapi apabila keinginannya dan AMBISInya supaya dikenal orang, dan menarik perhatian orang, karena maksud yang tidak baik, di antaranya yang bersifat pribadi, maka hal keadaan ini akan dapat memutuskan hubungan dengan Allah disebabkan ke-ikhlāsh-annya telah berkurang, apalagi kalau rusak sama sekali.

  1. Apabila seorang hamba Allah memang sudah masyhur sejak semula, dan kemudian barulah ia mulai berjalan atas jalan yang telah diatur oleh ‘ulamā’ Tashawwuf demi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah s.w.t. maka kewajibannya adalah tawādhu‘ dan tidak berlaku sombong kepada siapa pun juga. Apabila ia berpangkat tinggi atau kaya besar, atau memegang peranan penting dalam masyarakatnya bersikap tidak merasa tinggi dirinya, tidak sok pada kedudukannya, tetapi ia beranggapan bahwa yang lebih baik padanya ialah meninggalkan apa yang telah ada padanya berupa kedudukan dan lain sebagainya. Tetapi dalam hal ini tidak boleh gegabah dan cepat-cepat mengambil keputusan tanpa berfikir antara maslahat dan mafsadah dan tanpa musyāwarah dengan gurunya, yang betul-betul menuntunnya kepada jalan yang baik itu. Apalagi kalau ia mengambil sesuatu keputusan untuk meninggalkan hal-hal di atas tanpa keidzinan dari Allah. Tetapi apabila kebalikannya, di mana kenyataan membuktikan bahwa ia harus meninggalkan sebab-sebab yang mendatangkan masyhur dan tersiarnya itu, dan ia pun berusaha agar dirinya tidak begitu menjadi perhatian orang lain demi untuk mencapai ke-ikhlāsh-an yang hakiki.
  2. Apabila ia tidak melaksanakan ajaran di atas tetapi tumbuh juga kecintaannya kepada Allah maka hasil yang diperdapat ini, walaupun bagaimana pada umumnya tidak akan sempurna, sebab benih tanaman apabila tidak ditanam di dalam bumi meskipun ia tumbuh juga, pertumbuhannya itu tidaklah sempurna, bahkan mungkin tumbuh tanaman itu lemah dan kerdil, daunnya kuning tidak berseri dan tentulah tidak ada manfaatnya sama sekali. Dan apabila benih itu sama sekali tidak menumbuhkan tanaman, maka tidak mustaḥīl pada adat, pada umumnya biji tersebut akan dimakan ayam atau bebek atau sebangsa burung atau binatang-binatang lainnya.

Demikianlah seorang hamba Allah apabila ia mengerjakan ‘amal ‘ibādah sedangkan maksudnya supaya dikenal orang maka sedikitlah kemenangan yang diperolehnya sesuai dengan besar kecil ke-ikhlāsh-annya. Karena itu sebagian ‘ulamā’ akhlāq Tashawwuf telah berkata:

مَا أَعْرِفُ رَجُلًا أَحَبَّ أَنْ يُعْرَفَ إِلَّا ذَهَبَ دِيْنُهُ وَ افْتَضَحَ.

Tidak aku kenal seorang laki-laki yang lebih dicintainya agar ia dikenal orang, terkecuali agamanya telah hilang dan ia telah mendapatkan ke-‘aib-an (pada agamannya dan akhlāqnya).

  1. Adapun manusia dalam menyembunyikan wujudnya terbagi kepada tiga macam:
  2. Hamba Allah yang telah berkuasa atasnya kepastian yang mendalam tentang “Kamaliyyahnya Allah s.w.t.” ya‘ni perasaannya diliputi bahwa yang sempurna dalam segala hal adalah Allah s.w.t. selain Allah mempunyai kekurangan-kekurangan dan tidak ada satu makhlūq pun yang sunyi dari kekurangan-kekurangan. Karena itu meski pun ia seorang kaya besar atau mempunyai kedudukan yang tinggi dan lain-lain sebagainya, semuanya itu hilang dari pandangannya dan perasaannya, demi melihat kepada kekurangan-kekuranganNya. Ia melihat bahwa apa yang dipunyai oleh makhlūq adalah terbatas dan lain-lain sebagainya. Karena itulah maksud tujuannya dalam perasaan sendiri tenggelam dan tertanam di dalam kesempurnaan Allah s.w.t. Hal keadaan ini menimbulkan kepercayaan yang kokoh bahwa semua nikmat Allah s.w.t. atasnya, adalah karena kurnia Allah dan kasih-sayangNya. Dengan sebab itu maka bersihlah ia dari rasa congkak dan sombong yang menimbulkan rasa lupa terhadap kekurangan diri sendiri.

Inilah maksud firman Allah s.w.t. menurut kacamata akhlāq Tashawwuf sebagai tersebut dalam surat an-Nūr juz 18, ayat 21:

وَ لَوْلَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَ لكِنَّ اللهَ يُزَكِّيْ مَنْ يَشَاءُ وَ اللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Dan kalaulah tidaklah kemurahan Allah dan kasih-sayangNya kepada kamu, tiadalah seorang pun di antara kamu yang bersih buat selama-lamanya, tetapi Allah mensucikan orang-orang yang dikehendaki-Nya; Dan Allah itu Maha Mendengar dan Maha Tahu.”

  1. Hamba Allah yang mendapat Taufīq dan Hidāyat Allah s.w.t. kepada jalan ma‘rifat kepada Allah, dengannya ia dapat melihat segala kebagusan Allah sebagai pencipta seluruh alam.

Dengan demikian ia melihat pula bahwa semua kebaikan yang dikerjakannya dianggapnya masih terdapat kesalahan-kesalahan bahkan tidak ada artinya. Sebab itu maka gugurlah dirinya dari pandangannya dan tumbuhlah biji hikmah dari hatinya. Berkata Nabi Allah ‘Īsā a.s. kepada sahabat-sahabatnya:

أَيْنَ تَنْبُتُ الْحَبَّةُ؟ قَالُوْا فِي الْأَرْضِ. فَقَالَ عِيْسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ كَذلِكَ الْحِكْمَةُ لَا تَنْبُتُ إِلَّا فِي الْقَلْبِ مِثْلَ الْأَرْضِ.

Di manakah tumbuhnya biji-bijian itu? Menjawab sahabat ‘Īsā: Dalam bumi. Maka berkata ‘Īsā: Nah demikianlah hikmah Allah tidak timbul kecuali dalam hati yang laksana bumi.”

Maksud hikmah dalam sabda Nabi ‘Īsā tadi ialah “‘Ilmu” dan “‘Aqīdah” yang bermanfaat bagi seorang dalam hubungannya antara dia dengan Allah s.w.t.

  1. Hamba Allah di mana lebih luas pengaruhnya nafsunya atas segala-galanya. Karena itu meskipun dia ber‘ilmu, faham dan mengerti, tetapi ia dapat dikatakan oleh keraguan-keraguannya, sehingga yang cepat terlihat padanya adalah keuntungan dirinya dan kesenangannya.

Maka hamba Allah yang ketiga ini tak dapat tidak harus mengilangkan perasaan-perasaan tersebut dengan berbagai cara apa pun saja, asal tidak terlarang dalam agama. Misalnya membatasi makanan-makanan yang menimbulkan syahwat atau yang memberatkan ia dalam mengerjakan ‘ibadah di samping juga harus membatasi diri dari pergaulan kemasyarakatan yang membawa pengaruh yang kurang baik terhadap hatinya. Dan tentulah hamba Allah itu selalu mendapat pimpinan dari gurunya yang ‘ālim dan ‘ārif. Perlu diketahui bahwa ia membatasi dirinya dari masyarakat bukan berarti karena niat menjauhkan diri dari masyarakat, tetapi adalah untuk mencari ketenangan dan ketentraman dalam menyembah Allah s.w.t. dengan arti yang luas:

Berkata Syaikh Abū-l-‘Abbās al-Mursī:

مَنْ أَحَبَّ الظُّهُوْرَ فَهُوَ عَبْدُ الظُّهُوْرِ، وَ مَنْ أَحَبَّ الْخَفَاءَ فَهُوَ عَبْدُ الْخَفَاءِ وَ مَنْ كَانَ عَبْدَ اللهِ فَسَوَاءٌ عَلَيْهِ أَظْهَرُهُ أَوْ أَخْفَاهُ.

Barang siapa yang cinta show (pamer), maka ia adalah hambanya (budaknya). Barang siapa yang cinta pada menyembunyikan diri (menjauhkan diri dari masyarakat tanpa tujuan menghampirkan diri kepada Allah), maka ia adalah budaknya. Dan barang siapa yang berta‘abbud kepada Allah (dengan tidak show dan riyā’) maka sama saja padanya apakah Allah akan hamba Allah yang menjadi teladan bagi ummat) atau Allah menyembunyikannya.”

Demikianlah pengertian Kalam Hikmah di atas. Apabila kita dapat meng‘amalkannya maka kita akan bahagia di sisi Allah dan termasuk dalam golongan hamba-hambaNya yang muttaqīn dan mendapat kesudahan yang baik di sisi Allah s.w.t.

Inikah maksud Firman-Nya dalam surat al-Qashash, juz 20, ayat 84:

تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِيْنَ لَا يُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَ لَا فَسَادًا وَ الْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ

Kampung akhirat itu kami anugerahi kepada mereka yang tidak ada maksud dan kehendak pada ketinggian (yang tidak baik) di dalam bumi dan bencana di permukaannya. Dan kesudahan yang baik adalah buat orang-orang yang memelihara dirinya (dari segala sesuatu yang tidak menguntungkannya di sisi Allah).

In syā’ Allāh mudah-mudahan kita termasuk dalam hamba-hamba Allah yang dapat meng‘amalkan akhlāq Tashawwuf seperti di atas.

Āmīn!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *