Tentang bagaimana ajaran ‘ilmu Tashawwuf dalam mengerjakan ‘amal ‘ibādah di mana kita hamba Allah yang diperintah-Nya supaya mengerjakan perintah-perintahNya dengan sebaik-baiknya, maka ajaran Tashawwuf melarang kita “SHOW” (memperlihatkan kepada orang) demi maksud keuntungan duniawi.
Ajaran akhlāq Tashawwuf itu telah dirumuskan oleh al-Imām Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī dalam Kalam Hikmahnya yang ke-11 sebagai berikut:
“Tanamkanlah wujudmu dalam bumi yang sunyi sepi, karena sesuatu yang tumbuh dari benda yang belum ditanam tidak sempurna hasilnya.”
Pengertian Kalam Hikmah ini adalah sebagai berikut:
Kenapa demikian? Jawabnya tidak lain, sebab menyembunyikan diri dalam sikap dan perasaan adalah membantu atas terwujudnya ikhlāsh yang hakiki dan sempurna. Tetapi apabila keinginannya dan AMBISInya supaya dikenal orang, dan menarik perhatian orang, karena maksud yang tidak baik, di antaranya yang bersifat pribadi, maka hal keadaan ini akan dapat memutuskan hubungan dengan Allah disebabkan ke-ikhlāsh-annya telah berkurang, apalagi kalau rusak sama sekali.
Demikianlah seorang hamba Allah apabila ia mengerjakan ‘amal ‘ibādah sedangkan maksudnya supaya dikenal orang maka sedikitlah kemenangan yang diperolehnya sesuai dengan besar kecil ke-ikhlāsh-annya. Karena itu sebagian ‘ulamā’ akhlāq Tashawwuf telah berkata:
مَا أَعْرِفُ رَجُلًا أَحَبَّ أَنْ يُعْرَفَ إِلَّا ذَهَبَ دِيْنُهُ وَ افْتَضَحَ.
“Tidak aku kenal seorang laki-laki yang lebih dicintainya agar ia dikenal orang, terkecuali agamanya telah hilang dan ia telah mendapatkan ke-‘aib-an (pada agamannya dan akhlāqnya).”
Inilah maksud firman Allah s.w.t. menurut kacamata akhlāq Tashawwuf sebagai tersebut dalam surat an-Nūr juz 18, ayat 21:
وَ لَوْلَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَتُهُ مَا زَكَا مِنْكُمْ مِّنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَ لكِنَّ اللهَ يُزَكِّيْ مَنْ يَشَاءُ وَ اللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
“Dan kalaulah tidaklah kemurahan Allah dan kasih-sayangNya kepada kamu, tiadalah seorang pun di antara kamu yang bersih buat selama-lamanya, tetapi Allah mensucikan orang-orang yang dikehendaki-Nya; Dan Allah itu Maha Mendengar dan Maha Tahu.”
Dengan demikian ia melihat pula bahwa semua kebaikan yang dikerjakannya dianggapnya masih terdapat kesalahan-kesalahan bahkan tidak ada artinya. Sebab itu maka gugurlah dirinya dari pandangannya dan tumbuhlah biji hikmah dari hatinya. Berkata Nabi Allah ‘Īsā a.s. kepada sahabat-sahabatnya:
أَيْنَ تَنْبُتُ الْحَبَّةُ؟ قَالُوْا فِي الْأَرْضِ. فَقَالَ عِيْسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ كَذلِكَ الْحِكْمَةُ لَا تَنْبُتُ إِلَّا فِي الْقَلْبِ مِثْلَ الْأَرْضِ.
“Di manakah tumbuhnya biji-bijian itu? Menjawab sahabat ‘Īsā: Dalam bumi. Maka berkata ‘Īsā: Nah demikianlah hikmah Allah tidak timbul kecuali dalam hati yang laksana bumi.”
Maksud hikmah dalam sabda Nabi ‘Īsā tadi ialah “‘Ilmu” dan “‘Aqīdah” yang bermanfaat bagi seorang dalam hubungannya antara dia dengan Allah s.w.t.
Maka hamba Allah yang ketiga ini tak dapat tidak harus mengilangkan perasaan-perasaan tersebut dengan berbagai cara apa pun saja, asal tidak terlarang dalam agama. Misalnya membatasi makanan-makanan yang menimbulkan syahwat atau yang memberatkan ia dalam mengerjakan ‘ibadah di samping juga harus membatasi diri dari pergaulan kemasyarakatan yang membawa pengaruh yang kurang baik terhadap hatinya. Dan tentulah hamba Allah itu selalu mendapat pimpinan dari gurunya yang ‘ālim dan ‘ārif. Perlu diketahui bahwa ia membatasi dirinya dari masyarakat bukan berarti karena niat menjauhkan diri dari masyarakat, tetapi adalah untuk mencari ketenangan dan ketentraman dalam menyembah Allah s.w.t. dengan arti yang luas:
Berkata Syaikh Abū-l-‘Abbās al-Mursī:
مَنْ أَحَبَّ الظُّهُوْرَ فَهُوَ عَبْدُ الظُّهُوْرِ، وَ مَنْ أَحَبَّ الْخَفَاءَ فَهُوَ عَبْدُ الْخَفَاءِ وَ مَنْ كَانَ عَبْدَ اللهِ فَسَوَاءٌ عَلَيْهِ أَظْهَرُهُ أَوْ أَخْفَاهُ.
“Barang siapa yang cinta show (pamer), maka ia adalah hambanya (budaknya). Barang siapa yang cinta pada menyembunyikan diri (menjauhkan diri dari masyarakat tanpa tujuan menghampirkan diri kepada Allah), maka ia adalah budaknya. Dan barang siapa yang berta‘abbud kepada Allah (dengan tidak show dan riyā’) maka sama saja padanya apakah Allah akan hamba Allah yang menjadi teladan bagi ummat) atau Allah menyembunyikannya.”
Demikianlah pengertian Kalam Hikmah di atas. Apabila kita dapat meng‘amalkannya maka kita akan bahagia di sisi Allah dan termasuk dalam golongan hamba-hambaNya yang muttaqīn dan mendapat kesudahan yang baik di sisi Allah s.w.t.
Inikah maksud Firman-Nya dalam surat al-Qashash, juz 20, ayat 84:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِيْنَ لَا يُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَ لَا فَسَادًا وَ الْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ
“Kampung akhirat itu kami anugerahi kepada mereka yang tidak ada maksud dan kehendak pada ketinggian (yang tidak baik) di dalam bumi dan bencana di permukaannya. Dan kesudahan yang baik adalah buat orang-orang yang memelihara dirinya (dari segala sesuatu yang tidak menguntungkannya di sisi Allah).”
In syā’ Allāh mudah-mudahan kita termasuk dalam hamba-hamba Allah yang dapat meng‘amalkan akhlāq Tashawwuf seperti di atas.
Āmīn!