(lanjutan)
Fath al-Mushiliy1 mengatakan, “Bukankah orang yang sakit jika tidak diberi makan, minum, dan obat akan mati?” Orang-orang mengatakan, “Ya, benar.” Kemudian al-Mushiliy melanjutkan ucapannya, “Demikian juga dengan hati, apabila tidak diberi hikmah dan ilmu selama tiga hari, akan mati.”
Imam al-Ghazali mengatakan, “Benar apa yang dikatakannya (al-Mushiliy) karena sesungguhnya makanan hati adalah ilmu dan hikmah. Dengan keduanyalah hati menjadi hidup, sebagaimana nutrisi tubuh adalah makanan. Barangsiapa tidak memiliki ilmu maka hatinya sakit dan pasti mati, tetapi dia tidak merasakannya. Karena cinta dan kesibukan kepada dunia menghilangkan kepekaannya. Kita berlindung kepada Allah dari waktu terbukanya segala penutup. Sesungguhnya manusia itu tidur, dan mereka baru terbangun ketika mati.” Demikian keterangan dalam kitab al-Ihya.
Al-Imam al-‘Allamah Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih mengatakan dalam kitab Fath Bashair al-Ikhwan2, “Ketahuilah bahwa agama ini, awal dan akhirnya, lahir dan batinnya, mesti disertai dengan ilmu dan amal. Ilmu, meskipun sebagiannya merupakan perantara, adalah pokok dan petunjuk agama. Bagi seorang mukmin, ilmu adalah pembantu dan kawannya, dan merupakan cara dan jalannya menuju setiap kebaikan dunia dan akhirat. Bahkan bagi orang yang mengharap keridhaan Allah dan beribadah kepada-Nya dengan sebenarnya, tidak ada sesuatu yang lebih utama untuk beribadah kepada Allah dibanding memahami agama.”
Seorang faqih lebih ditakuti oleh setan daripada seribu orang abid (ahli ibadah). Keutamaan seorang faqih dibanding seorang abid adalah seperti keutamaan Nabi Saw. dibandingkan selainnya. Barangsiapa yang mendapatkan ilmu dan bertakwa kepada Allah dengannya, berarti dia telah mencapai keutamaan dan kebahagiaan yang paling mulia. Barangsiapa yang oleh Allah mendapatkan kebaikan, maka dia diberi pemahaman dikehendaki oleh-Nya dalam masalah agama. Orang yang terbaik di masa jahiliah adalah orang yang terbaik pula di masa Islam apabila mereka memiliki pemahaman.”
Al-Imam al-Arif billah Ahmad bin Hasan al-Attas, semoga Allah memberikan dengan beliau, berkata: “Seseorang jika diluaskan ilmunya, diluaskan pula pengetahuannya. Dan jika diluaskan pengetahuannya, diluaskan pula wawasannya. Dan jika diluaskan wawasannya, diluaskan pula kesaksiannya. Dan jika diluaskan kesaksiannya, diluaskan pula pemberiannya. Al-Imam as-Suyuthi3dalam kitabnya, al-Iklil, berkenaan dengan firman Allah,
“Dan Ia mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya,“(QS.al-Baqarah: 31)
mengatakan, “Ketika Allah ingin menampakkan keutamaan Adam, Dia tidak menampakkannya melainkan dengan ilmu. Seandainya di alam ini terdapat sesuatu yang lebih utama daripada ilmu, tentu keutamaan Adam akan ditampakkan dengannya, bukan dengan ilmu. Demikian pula, Dia memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam adalah karena keutamaan ilmu.”
Ath-Thibi4 mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu bahasa memiliki kedudukan di atas berhias dengan ibadah. Maka bagaimana pula dengan ilmu syariah?”
Al-‘Allamah Ibnul-Qayyim5 mengatakan dalam Zad al- Ma’ad, “Sesungguhnya ilmu termasuk salah satu sebab kelapangan dada. Karena ilmu melapangkan dada dan meluaskannya, dan menjadi lebih luas daripada dunia. Adapun kejahilan menyebabkan kesempitan, batasan, dan belenggu. Setiap kali bertambah luas ilmu seseorang, maka bertambah lapang dan luas pula dadanya. Tetapi hal ini tidak untuk setiap ilmu, tetapi ilmu yang diwariskan dari Rasulullah Saw. dan itulah ilmu yang bermanfaat. Karena itu, pemiliknya menjadi orang yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling bagus akhlaknya, dan paling baik kehidupannya.”
Beliau juga mengatakan, “Di antara sebab-sebab kelapangan dada adalah selalu berzikir kepada Allah dalam setiap keadaan dan tempat. Zikir mempunyai pengaruh yang sangat mengagumkan dalam melapangkan dada dan membahagiakan hati. Sedangkan lalai-yakni dari mengingat Allah-mempunyai pengaruh dalam menyempitkan, membelenggu, dan menyiksanya.“
Sebab lainnya adalah berbuat baik dan memberikan manfaat kepada manusia sesuai kemampuannya dengan harta, kedudukan, tenaga, dan bentuk-bentuk kebaikan lainnya. Karena orang yang dermawan dan suka berbuat baik adalah orang yang paling lapang dadanya, paling baik jiwanya, dan paling bahagia hatinya. Adapun orang yang kikir yang tak suka berbuat baik adalah orang yang paling sempit dadanya, paling susah kehidupannya, dan paling besar kesulitan dan dukacitanya.
Selain itu sebabnya adalah keberanian. Karena orang yang berani, lapang dadanya dan luas hatinya. Sedangkan orang yang penakut, paling sempit dadanya dan paling terbatas hatinya, tidak memiliki kebahagiaan, kesenangan, kenikmatan, kecuali sekadar kenikmatan hewani. Adapun kesenangan dan kenikmatan jiwa tak ada pada orang yang penakut, sebagaimana tak ada pula pada orang yang kikit. Wallahu a’lam.
(bersambung)