Hati Senang

Tanwir-al-Qulub | Bagian Kedua-Bab 10 : Tawakal Tafwidh dan Ikhlas (2/4)

Menerangi Qalbu Manusia Bumi, Manusia Langit Pengarang : Syaikh Muhammad Amin Al Kurdi An Naqsyabandiy Penerbit : Pustaka Hidayah , Bandung

(lanjutan)

Seorang ‘arif berkata, “Suatu hari di dalam pengembaraan, aku berjalan mendahului kafilah. Lalu kulihat di depanku ada seseorang, maka aku pun segera menyusulnya. Ternyata orang yang kulihat itu seorang perempuan, dia berjalan perlahan tersaruk-saruk dengan sebatang tongkat di tangan. Aku mengira ia kelelahan, lalu aku memasukkan tanganku ke dalam saku dan mengeluarkan dua puluh dirham. Aku berkata kepadanya, ‘Ambillah dan tunggu dulu di sini sampai kafilah menyusulmu. Dengan uang ini, sewalah kendaraan, lalu datang kepadaku malam nanti agar aku dapat memperbaiki keadaanmu.” Perempuan itu memberi isyarat dengan tangannya ke udara. Tiba-tiba di telapak tangannya tergenggam setumpuk dinar. Kemudian dia berkata, “Engkau mengambil beberapa dirham dari saku, sedang aku mengambil beberapa dinar dari alam gaib.”

Abu Sulaiman ad-Darani meriwayatkan bahwa di Makkah dia pernah melihat seseorang yang tidak memakan apapun selain seteguk air zamzam selama beberapa hari. Suatu hari, Abū Sulaiman bertanya kepadanya, “Bagaimana menurutmu jika air zamzam kering. Apa yang akan engkau minum?” Dia berdiri dan mencium kepala Abū Sulaimam seraya menjawab, “Mudah-mudahan Allah Ta’ala memberimu balasan kebaikan, sebab engkau telah memberiku bimbingan. Ternyata sejak berhari-hari aku menghamba pada zamzam.” Setelah itu dia pun pergi.

Ibrahim al-Khawash bercerita bahwa di perjalanan menuju kota Syam dia melihat seorang pemuda yang baik budi. Si pemuda bertanya kepada Ibrahim, “Persahabatan apa yang engkau perlukan dariku?” Ibrahim menjawab, “Aku lapar.” Si pemuda berkata, “Bila engkau lapar, aku akan lapar bersamamu.” Empat hari berlalu, kemudian mereka mendapat sesuatu. Ibrahim berkata kepadanya, “Kemarilah!” Si pemuda menjawab, “Aku akan menahan lapar. Aku tidak akan mengambil perantara.” Ibrahim berkata lagi kepadanya, “Wahai anak muda, perutmu telah tipis.” Si pemuda menjawab, “Wahai Ibrahim, jangan bersikap sombong, karena sesungguhnya yang berhak menilai adalah Maharaja Yang Maha Melihat. Tawakallah!” Si pemuda melanjutkan, “Tingkat tawakal yang paling rendah adalah: engkau mengembalikan segala sumber kefakiran kepada dirimu. Janganlah engkau meninggikan dirimu kecuali kepada Dzat Yang pada-Nya terdapat kecukupan.”

Abu Ali ar-Rudzabāri menuturkan, “Bila baru lima hari tidak makan dan minum sang fakir berkata aku lapar, suruh agar pergi ke pasar, dan suruh juga dia agar bekerja dan berusaha.”

Abu Turab an-Nakhsyabi pernah melihat seorang sufi yang sedang menjulurkan tangannya ke karung gandum untuk makan, padahal dia baru tiga hari tidak makan. Maka Abū Turab pun berkata kepadanya, “Tasawuf tidak pantas untukmu, pergilah ke pasar!”

Khudzaifah al-Mar’asyi pernah berkhidmat kepada Ibrahim ibn Adham dan menemaninya. Dia pernah ditanya, “Apa yang membuat engkau kagum kepada Ibrahim ibn Adham?” lalu dia bercerita, “Selama beberapa hari kami berada di jalanan kota Makkah. Kami sama sekali tidak mendapatkan makanan. Kemudian kami memasuki kota Kufah, lalu beristirahat di masjid yang agak rusak. Ibrahim ibn Adham memandangku dan berkata, ‘Wahai Khudzaifah, kulihat engkau lapar.’ Aku menjawab, ‘Sebagaimana yang syaikh lihat. Dia berkala lagi, ‘Coba ambilkan tinta dan kertas. Aku pun segera mengambilkannya. Lalu dia menulis:

Bismillahirrahmanirrahim

Engkaulah yang dituju dalam segala kondisi

dan Engkau pula yang disyaratkan dengan semua makna

Aku orang yang memuji, bersyukur dan berzikir

Aku orang yang lapar, tersia-sia dan telanjang

Itu semua berjumlah enam, dan aku menjamin setengahnya

Maka jadilah engkau sebagai penjamin yang setengah lagi, wahai Sang Pencipta

Sanjunganku pada selain engkau terbakar nyala api,

Maka jauhkan hamba kecil-Mu dari api neraka

Maka apakah engkau ingin untuk tidak membebaniku masuk neraka?

Bagiku, neraka seperti pertanyaan

Kemudian Ibrahim ibn Adham memberikan tulisannya kepadaku.

Dia berkata, ‘Pergilah, dan jangan kau ikatkan hatimu kepada selain Allah. Lalu berikanlah tulisan ini pada orang yang pertama engkau jumpai. Lalu aku pergi. Orang yang pertama aku jumpai adalah seorang pengendara keledai betina. Aku pun memberikan tulisan itu kepadanya. Setelah mengambil dan membacanya, dia bertanya sambil menangis, ‘Apa yang dilakukan oleh si pemilik tulisan ini? Aku menjawab, ‘Dia berada di masjid si fulān.’ Kemudian dia memberiku sekantung berisi enam ratus dinar.

Kemudian aku bertemu dengan seorang lelaki lainnya, dan aku bertanya kepadanya, ‘Siapakah penunggang keledai betina itu?’ lelaki itu menjawab, ‘Seorang Nasrani. Kemudian aku kembali menemui Ibrahim ibn Adham dan menceritakan kisahnya. Ibrahim ibn Adham berkata, ‘Engkau jangan menyentuh uang itu, sebab satu jam kemudian pemiliknya akan datang. Setelah satu jam berlalu, si Nasrani pemilik keledai betina itu datang dengan tiba-tiba. Dia menundukkan kepala di depan Ibrahim ibn Adham, lalu masuk Islam.

Ciri orang yang tawakal adalah tidak meminta, tidak menolak pemberian, dan tidak kikir. Kondisi ruhani paling sempurna orang yang bertawakal adalah berada di hadapan Allah seperti mayit di tangan orang yang memandikannya, tidak memiliki gerak dan pengaturan sendiri, melainkan tergantung Sang Pengatur. Abū ad-Darda’ berkata, “Puncak keimanan adalah ikhlas, tawakal dan berserah diri secara total kepada Allah Azza wa Jalla.”

Di dalam maqamat (tingkatan-tingkatan ruhaniah), tidak ada satu pun tingkat yang lebih mulia daripada tawakal. Sungguh, tawakal kepada Allah dapat membuat hamba dicintai. Sementara penjaminan diri (tafwidh) kepada Allah, dapat membuatnya mendapat hidayah. Dengan hidayah Allah, hamba akan selaras dengan ridha-Nya. Dan kalau hamba sudah selaras dengan ridha-Nya, dia berhak menerima kemuliaan (karamah) dari Allah. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, berserah diri kepada segala keputusan (qadha)-Nya, menjaminkan segala urusan kepada-Nya, dan ridha kepada ketentuan (qadar)-Nya, maka dia dianggap sebagai orang yang telah benar-benar menegakkan agama, memperindah iman dan keyakinan, menyempurnakan kedua tangan dan kakinya untuk mengupayakan kebaikan dan menegakkan akhlak-aklılak yang salih yang berfungsi memperbaiki urusan hamba.

Sebaliknya, orang yang diragukan dalam hal tawakal, diragukan pula keimanannya, karena keimanan selalu bersama-sama dengan tawakal. Barangsiapa mencintai ahli tawakal, sungguh dia telah mencintai Allah Ta’ala.

Awal tawakal adalah mengenal bahwa al-Wakil (Allah-ed.) sungguh Maha-agung dan Mahabijaksana. Apabila hamba yang hina menyaksikan bahwa Sang Maharaja nan Mahamulia sungguh bijak melakukan pengaturan dan menentukan ukuran; di sisi-Nya gudang segala sesuatu, dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya, dan tidaklah Dia menurunkannya ke dunia melainkan dengan ketentuan yang telah diketahui, lalu dia menyaksikan bahwa al-Wakil itu menggenggam semua ubun-ubun para raja; bagi-Nya semua gudang langit, meliputi semua

(bersambung)

 

Laman Terkait

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.