Tentang Kepedihan Maut & Panggilan Terhadap Mayat – Malaikat Izra’il a.s. – Membuka Rahasia Alam Malaikat (2/2)

MEMBUKA RAHASIA ALAM MALAIKAT
 
Oleh: Ustadz: ‘Abd-ul-Ghafūr Ayskur
 
Penerbit: CV Bintang Pelajar.

Rangkaian Pos: Malaikat Izra'il a.s. - Membuka Rahasia Alam Malaikat

Hadits-hadits Nabi yang Menyebutkan Tentang Kepedihan Maut

  1. Nabi s.a.w. pernah bersabda:

لَوْ أَنَّ أَلَمَ شَعْرَةٍ مِنْ أَلَمِ الْمَيِّتِ وَضِعَ عَلَى السَّموَاتِ وَ الأَرْضِ لَمَاتَ أَهْلُهُمَا بِإِذْنِ اللهِ تَعَالَى

Artinya:

Jika rasa sakit seujung rambut dari rasa sakit yang dialami oleh mayit, diletakkan di atas langit dan bumi, tentu penduduknya akan mati dengan idzin Allah ta‘ālā.

  1. Nabi s.a.w. pernah bersabda:

…. هُوَ قَدْرُ ثَلاَثَمِائِةِ ضَرْبَةٍ بِالسَّيْفِ….

Artinya:

(Dan sakitnya sakarat-ul-maut itu) kadar tiga ratus pukulan dengan pedang.

  1. Diriwayatkan, bahwa ketika Nabi Ibrāhīm meninggal, maka Allah ta‘ālā berfirman kepadanya: Bagaimana engkau mendapati mati hai khalīlullāh? Nabiyyullāh Ibrāhīm menjawab: Seperti besi pembakar daging, yang diletakkan pada bulu basah, kemudian ditarik.
  2. Diriwayatkan bahwa Nabi ‘Īsā a.s. yang diberi mu‘jizat dapat menghidupkan orang mati, didatangi suatu waktu oleh beberapa orang-orang kafir. Dan jika menyuruhnya menghidupkan orang yang baru mati kemungkinan bahwa orang itu belum mati. Oleh sebab itu mereka menyuruhnya menghidupkan orang yang telah lama matinya. Tantangan itu kemudian oleh Nabi ‘Īsā a.s. diterima, dan mereka disuruh memilih mayit mana yang mereka kehendaki.

Lalu mereka menunjuk mayit Sām bin Nūḥ. Maka datanglah Nabi ‘Īsā a.s. sekuburnya, untuk bersembahyang dua raka‘at dan berdoa untuk diperkenankan permohonannya. Maka dengan idzin Allah bangunlah Sām bin Nūḥ dari dalam kuburnya, dalam keadaan rambut dan jenggot yang beruban. Apa yang menyebabkan rambut dan jenggotmu beruban, padahal waktu engkau masih hidup dulu tidak demikian? Tanya Nabi ‘Īsā a.s. Lalu Sām bin Nūḥ menjawab: Aku mendengar panggilan Tuan, dan mengira kiamat telah tiba, maka tumbuh uban rambut dan jenggotku karena takut dan terkejut.

‘Īsā a,s, bertanya: Sejak berapa tahun engkau mati?

Selama empat ribu tahun yang lalu, jawab Sām, tetapi hingga kini belumlah hilang pedihnya sakaratul-maut.

Ada pun bagi orang-orang mu’min tidak demikianlah keadaannya.

Nabi s.a.w. pernah bersabda:

وَ يَخْرُجُ رُوْحُ الْمُؤْمِنِ مِنْ جَسَدِهِ كَمَا يَخْرُجُ الشَّعْرُ مِنَ الْعَجِيْنِ

Artinya:

Rūḥ seorang mu’min akan keluar dari jasadnya seperti keluarnya rambut dari adonan tepung.

 

Disebutkan, bahwa apabila Allah menghendaki mengambil ruhnya seorang mu’min, datanglah malaikat Maut dari jurusan mulutnya yang ternyata pernah digunakan untuk berdzikir. Lalu Malaikat Maut itu mengurungkan pengambilan rūḥ itu dan kembali menghadap Allah untuk melapor hasil tugasnya.

Oleh Allah lalu diperintahkan lagi untuk mengambilnya dari jurusan anggota badan lainnya. Tetapi setelah akan diambil dari jurusan tangan, dilihat di tangannya ada bekas perbuatan sedekah, bekas digunakan menyapu anak yatim, menulis ‘ilmu dan bekas memegang pedang untuk perang sabīl. Lalu si Malaikat Maut berpindah ke jurusan kaki. Tetapi setelah ada bekas telah digunakan berjalan untuk menghadiri sembahyang jamā‘ah, sembahyang ‘Īd, dan menghadiri tempat pengajian. Lalu si Malaikat Maut berpindah ke jurusan telinga. Tetapi setelah akan diambil dari jurusan telinga, dilihatnya ada bekas untuk mendengarkan pembacaan al-Qur’ān, dan dzikir. Lalu si Malaikat Maut berpindah lagi ke jurusan mata. Tetapi setelah akan diambil rūḥnya dari jurusan mata, di lihatnya ada bekas telah digunakan membaca kitab-kitab suci. Maka kembalilah Malaikat Maut menghadap Tuhannya untuk melaporkan hasil tugasnya, bahwa seluruh anggotanya telah menjadi tabu karena ‘amal-‘amal shāliḥnya.

Kemudian Allah berfirman: Tulislah Nama-Ku di atas telapak tanganmu, lalu tunjukkanlah kepada rūḥ orang mu’min itu, yang karena cinta terhadap Nama-Ku itu, ia akan keluar sendiri dari mulutnya.

Demikianlah, dengan sebab berkah Allah itu tidak terasalah kepedihan sakarat-ul-maut itu. demikian pula, ia akan terhindar dari ‘adzāb.

Di lain riwayat disebutkan: Bahwasanya Malaikat Maut sewaktu akan mencabut rūḥ dari seorang mu’min maka berkatalah ruh: Aku tidak akan ikut selagi engkau belum diperintahkan untuk urusan itu. Lalu rūḥ menuntut alamat dan tanda-tanda sambil berkata: Sesungguhnya Tuhanku telah menjadikan aku dan memasukkan aku ke dalam tubuhku, dan pada waktu itu engkau tidak ada. Ada pun sekarang engkau akan mengambil aku. Maka kembalilah Malaikat Maut kepada Allah ta‘ālā, lalu Allah berfirman: Apakah engkau telah mencabut ruh dari seorang hambaku? Malaikat Maut berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya hamba-Mu telah berkata begini dan begitu…. dan ia telah menuntut alamat dan tanda-tanda kepadaku.

Allah berfirman lagi: Sungguh benar rūḥ hamba-Ku, lalu berfirman lagi: Wahai Malaikat Maut, pergilah ke surga, ambillah Tuffah dan itulah tanda-tandaKu, maka perlihatkanlah kepada rūḥ hamba-Ku. Malaikat Maut lalu berangkat ke surga dan mengambil Tuffah yang di atasnya tertulis:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Setelah Tuffah itu diperlihatkan oleh Malaikat Maut kepada rūḥ seorang hamba tadi, keluarlah rūḥ itu dengan cepat, ni‘mat dan menjadi bersih.

Disebutkan dalam Hadits, apabila seorang hamba sudah sampai pada Naza‘, maka terdengarlah penyeru dari sisi Allah. Tinggalkan ia sampai beristirahat satu jam. Demikian pula jika rūḥ itu sudah sampai kedua lutut dan pusar. Dan jika sudah sampai pada kerongkongan, maka datanglah panggilan: Tinggalkanlah ia sampai anggota-anggota badan itu minta idzin berpisah dengan anggota badan lainnya. Maka, mata yang satu minta idzin dengan mata yang satunya sambil mengucapkan salām: As-Salāmu ‘alaikum ilā yaum-il-qiyāmati – Keselamatan semoga tetap bagimu sampai hari kiamat.

Demikian pula dua telinga, dua tangan, dua kaki. Lalu rūḥ mengucapkan selamat tinggal dengan badan. Maka kita mohon perlindungan Allah akan berpisahnya ma‘rifat dan iman dari hati.

Maka tinggallah kedua tangannya tak bergerak, kedua mata tidak bisa melihat, kedua telinga tidak bisa mendengar, dan satu tubuh yang tidak bernyawa.

Dengan keadaan di atas, sekarang bagaimana jika lisan tidak iman dan hati tidak ma‘rifat, bagaimana tingkah dan keadaan seorang hamba dalam kubur? Pada hal di sana tidak bertemu dengan seorang pun, baik ayah, ibu, anak dan saudara-saudara, tiada teman karip, tidak ada hamparan dan tiada tutup.

Jika ia tidak menyaksikan Tuhan yang Mulia, sungguh ia dalam keadaan kerugian yang amat besar.

Imām Abū Ḥanīfah berkata:

أَكْثَرُ مَا يُسْلَبُ الإِيْمَانُ مِنَ الْعَبْدِ وَقْتَ النَّزْعِ

Artinya:

Kebanyakan sesuatu yang merusak iman dari seseorang hamba adalah di waktu naza‘.

Panggilan Terhadap Mayat

Disebutkan dalam suatu riwayat, tatkala rūḥ sudah berpisah dengan tubuh, maka ia dipanggil dari langit dengan tiga kali jeritan.

Wahai anak Ādam! Apakah engkau meninggalkan dunia, ataukah dunia meninggalkan engkau?

Apakah engkau mengumpulkan dunia, ataukah dunia mengumpulkan engkau?

Apakah engkau mematikan dunia, ataukah dunia mematikan engkau?

Dan ketika mayat diletakkan di tempat untuk dimandikan, maka ia dipanggil lagi tiga kali teriakan:

Wahai anak Ādam! Manakah tubuhmu yang kuat itu? Mengapa sekarang engkau menjadi lemah/tidak berdaya?

Manakah lisanmu yang lantang dulu? Apakah yang menyebabkan engkau diam?

Manakah semua kekasihmu itu? Mengapa sekarang ia mengasingkan engkau?

Jika mayat sudah di dalam kafan, ia dipanggil tiga kali jeritan:

Wahai anak Ādam! Engkau akan pergi ke tempat yang jauh, dengan tanpa bekal.

Engkau akan keluar dari rumah engkau, dan tidak akan kembali lagi.

Engkau akan naik kuda dan tidak akan naik seperti itu lagi selama-lamanya, engkau akan menjadi penghuni rumah yang penuh kesedihan.

Ketika mayat itu dipikul di atas usungan, ia dipanggil lagi tiga kali jeritan:

Wahai anak Ādam! Sungguh bahagia jika engkau termasuk orang yang bertaubat.

Sungguh beruntung engkau, jika ‘amal engkau baik.

Sungguh beruntung engkau, jika teman engkau itu kerelaan Allah ta‘ālā.

Dan amat celaka engkau, jika teman engkau kutukan Allah. Ketika mayat diletakkan untuk disembahyangkan, ia dipanggil lagi dengan tiga kali jeritan:

Wahai anak Ādam! Semua perbuatan yang telah engkau kerjakan akan engkau ketahui. Jika ‘amal engkau baik, maka engkau akan melihat baik. jika jelek engkau akan melihat jelek.

Ketika mayat sudah diletakkan di tepi kubur, maka dipanggil lagi tiga kali teriakan:

Wahai anak Ādam! Apakah persiapan engkau di dunia untuk rumah yang sempit ini?

Kekayaan apa yang engkau persiapkan untuk kefakiran ini?

Cahaya apakah yang engkau persiapkan untuk menghadapi tempat yang gelap ini?

Dan ketika mayat sudah diletakkan di liang lahad, maka ia dipanggil lagi tiga kali jeritan:

Wahai anak Ādam! Ketika engkau berada di punggungku dulu engkau bersenda-gurau, sekarang engkau berada di perutku menangis.

Dulu engkau berada di punggungku bersuka-ria, sekarang berada di perutku menjadi susah dan duka cita.

Dulu engkau di atas punggungku bisa berbicara, sekarang engkau berada di perutku menjadi diam.

Ketika manusia/penta‘ziyah pergi/meninggalkan mayat yang sudah dikuburkan itu, lalu Allah s.w.t. berfirman: Wahai hamba-Ku, sekarang engkau dalam keadaan terpencil sendirian, mereka telah pergi dan meninggalkan engkau dalam kegelapan kubur. Pada hal kamu telah berbuat maksiat kepada-Ku karena kepentingan mereka (ya‘ni istri dan anak). Namun aku amat kasihan kepada engkau. Pada hari ini akan Ku rahmati engkau dengan sesuatu yang mengagumkan seluruh makhlūq. Dan Aku lebih kasihan kepadamu, melebihi kasih-sayang ibu kepada anaknya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *