PASAL 2
TATA-CARA BERBICARA DENGAN ORANG LAIN
فَيَنْبَغِي اقْتِصَارُ ذِي الْأَخَيَارِ | عَلَى الْمُفِيْدِ خَشْيَةَ الْإِكْثَارِ |
Memperpanjang berita/kata yang tidak dibutuhka merupakan larangan menurut orang ahli balāghah.
Contoh berita yang singkat seperti (زَيْدٌ عَالِمٌ) yang diucapkan kepada khālī-dzihni (orang yang tahu hukum dan tidak ragu), tidak usah menggunakan perabot (alat) taukīd.
فَيُخْبِرُ الْخَالِيْ بِلَا تَوْكِيْدٍ | مَا لَمْ يَكُنْ فِي الْحُكْمِ ذَا تَرْدِيْدٍ |
فَحَسَنٌ وَ مُنْكِرُ الْأَخَبَارِ | حَتْمٌ لَهُ بِحَسَبِ الْإِنْكَارِ |
Artinya:
“Maka bagi mutakallim khālī dzihni, memberi berita dengan tanpa taukīd. Selama menurut hukum tidak mempunyai ragu-ragu. Kalau mukhathab ragu, maka sebaiknya memakai taukīd,
Adapun bagi orang yang mengingkari berita, maka wajib memakai taukīd dengan memperhitungkan keingkarannya.”
Contoh bagi mungkir: (إِنَّ زَيْدًا عَالِمٌ).
Contoh bagi yang amat mungkir: (إِنَّ زَيْدًا لَعَالِمٌ).
Selain dengan taukīd, dapat diperkuat dengan lām qasam, qasam dan lain sebagainya.
كَقَوْلِهِ إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُوْنَ | فَزَادَ بَعْدُ مَا اقْتَضَاهُ الْمُنْكِرُوْنَ |
Artinya:
“Seperti firman Allah s.w.t.: Sesungguhnya kami diutus kepada kamu sekalian. Maka mutakallim menambah alat taukīd sesudah memperhatikan kondisi mukhāthabnya yang diperlukan sesuai dengan keingkarannya.”
Contoh lain seperti perkataan utusan Nabi ‘Īsā a.s. yang pertama kali: (إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُوْنَ), kemudian kedua kalinya: (رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُوْنَ).
لِلَّفْظِ الْاِبْتِدَاءِ ثُمَّ الطَّلَبِ | ثُمَّتَ الْإِنْكَارِ الثَّلَاثَةِ انْسُبِ |
Artinya:
“Menisbatkanlah kamu bagi ketiga macam itu dengan: kalām ibtida’ untuk yang pertama, lalu kalām thalabi untuk yang kedua, dan kalām ingkāri untuk yang ketiga.”
Sistem pemberitaan tiga macam tersebut, itu sesuai dengan tuntutan zhāhir-nya (muqtadhā-zhāhir-nya).
وَ اسْتُحْسِنَ التَّأْكِيْدُ إِنْ لَوْحَتْ لَهُ | بِخَبَرٍ كَسَائِلٍ فِي الْمَنْزِلَةْ |
Artinya:
“Dan dianggap baik memakai taukīd, jika kamu mengisyaratkan akan taukīd itu kepada mukhāthab, sebab ada khabar yang pada derajatnya seperti orang bertanya.”
Maksudnya: dianggap baik memakai alat taukīd dalam menyampaikan berita kepada khālī-dzihni. Bila ia memperlihatkan sikap bertanya atau tanda-tanda keraguan.
Contohnya seperti firman Allah s.w.t. kepada Nabi Nūḥ a.s.:
وَ لَا تُخَاطِبْنِيْ فِي الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا
Artinya:
“Janganlah engkau berdoa kepada-Ku mengenai orang-orang zhalim itu.”
Lalu Allah melanjutkan firman-Nya: (إِنَّهُمْ مُغْرَقُوْنَ)= “sesungguhnya mereka ditenggelamkan”. Dengan menggunakan taukīd (إِنَّ) dan jumlah ismiyyah.
وَ الْحَقُوْا أَمَارَةَ إِلْإِنْكَارِ بِهِ | كَعَكْسِهِ لِنُكْتَةٍ لَمْ تَشْتَبِهْ |
Artinya:
“Dan ulama menyamakan akan tanda-tanda ingkar kepada ingkar, demikian sebaliknya yaitu yang mungkir dianggap mengaku, sebab ada tandanya masing-masing.”
Adapun contoh ada tanda ingkar padahal tidak, seperti kata sya‘ir:
جَاءَ شَقِيْقٌ عَارِضًا رُمْحَةً | إِنَّ بَنِيَّ عَمِّكَ فِيْهِمْ رِمَاحٌ |
Artinya:
“Telah datang saudara kandung sambil melintangkan tombaknya, padahal dia tahu, sesungguhnya pada anak-anak pamanmu mempunyai tombak yang banyak.”
Sedangkan contoh yang mungkir dianggap mengaku, seperti kata orang: (الْإِسَلَامُ حَقٌّ), seharusnya memakai taukīd: (إِنَّ الْإِسْلَامَ حَقٌّ) atau (إِنَّ الْإِسْلَامَ لَحَقٌّ).