BAB XXI
KEUTAMAAN BERDZIKIR KEPADA ALLAH TA‘ALA
Allah berfirman:
فَاذْكُرُوْنِيْ أَذْكُرْكُمْ وَ اشْكُرُوْا لِيْ وَ لَا تَكْفُرُوْنِ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada Aku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (al-Baqarah [2]: 152).
Ulama berselisih mengenai tafsir ayat tersebut. Ada banyak penafsiran dari mereka:
Dan sungguh ingat Allah itu lebih besar. Demikian penjelasan Syaikh ‘Abd-ul-Qadir.
Nabi s.a.w. bersabda:
ذِكْرُ اللهِ عَلَمُ الْإِيْمَانِ وَ بَرَائَةٌ مِنَ النِّفَاقِ وَ حِصْنٌ مِنَ الشَّيْطَانِ وَ حِرْزٌ مِنَ النِّيْرَانِ
“Dzikir kepada Allah itu bendera iman, kebebasan dari kemunafikan, lindungan dari setan dan penjaga dari neraka.”
Bebas dari kemunafikan, sebab orang yang berdzikir itu berarti dia beriman kepada Allah dan membenarkan-Nya. Konon jika dzikir sudah meresap dalam hati, maka setan yang mendekat jatuh pingsan. Seperti orang pingsan ketika didekati setan. Orang-orang bertanya: “Ada apa dengan dia?” Mereka menjawab: “Dia terkena setan.” Demikian penjelasan Syaikh ‘Abd-ul-Qadir.
Nabi s.a.w. bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ: الذِّكْرُ الْخَفِيُّ
“Dzikir paling utama itu dzikir yang samar.”
Syaikh ‘Abd-ul-Qadir mengatakan bahwa dzikir samar itu tidak dilaporkan oleh malaikat, sebab mereka tidak mengetahuinya. Karena itu dzikir samar itu antara hamba dan Tuhannya.
Dalam riwayat Baihaqi dari ‘A’isyah r.a. disebutkan:
“Dzikir yang tidak didengar oleh malaikat penjaga amal itu melebihi dzikir yang didengar mereka dengan tujuh puluh kali lipat.”
Munawi mengatakan: “Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan Nabi dengan dzikir tersebut adalah berpikir mengenai ciptaan Allah dan nikmat-Nya. Namun hal yang tersirat dengan cepat adalah dzikir hati.”
Alqami mengatakan: “Barangkali yang dikehendaki oleh Nabi adalah berpikir dan merenung mengenai makhluk ciptaan Allah, mengambil hukum agama dan menggambarkan masalah ilmu fikih yang bergolak dalam hati. Karena itu Nabi bersabda: “Yang tidak didengar oleh malaikat penjaga amal.” Yakni malaikat yang diserahi untuk menulis amal perbuatan. Dan Nabi tidak bersabda: “Dzikir yang tidak dapat dilihat (diketahui) malaikat Ḥafazhah. Adapun dzikir khafi itu mempunyai nilai tambah, karena dalam segala permasalahannya diperhitungkan lebih memberikan manfa‘at dan dapat menambah keimanan serta memurnikan ke-Esa-an Allah.
Nabi s.a.w. bersabda:
أَشَدَّ الْأَعْمَالِ ثَلَاثٌ: ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى عَلَى كُلِّ حَالٍ وَ مُوَاسَاةُ الْأَخِ مِنْ مَالِكٍ. وَ إِنْصَافُ الْفَقِيْرِ الْبَائِسِ مِنْ نَفْسِكَ
“Amal yang paling berat itu tiga: dzikir kepada Allah ta‘ala atas setiap keadaan, menolong saudara dari hartamu dan memenuhi hak orang muslim yang memerlukan secara penuh.”
Maksudnya dzikir kepada Allah pada setiap ruang dan waktu. Memenuhi hak orang miskin artinya menjadikan dirimu sebagai pelayan orang miskin yang baru tertimpa kesulitan.
Nabi s.a.w. bersabda:
عَلَامَةُ حُبِّ اللهِ حُبُّ ذِكْرِ اللهِ وَ عَلَامَةُ بُعْضِ اللهِ بُعْضُ ذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ
“Tanda cinta Allah adalah cinta dzikir kepada Allah. Tanda murka Allah adalah benci dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla.” (H.R. Baihaqi dari Anas bin Malik).
Munawi berkata: “Tanda mencintai Allah adalah suka kepada dzikir Allah. Sebab jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia mengingatnya. Jika Dia mengingatnya, maka Dia membuat dia suka dzikir kepada-Nya. Dan sebaliknya.”
Nabi bersabda meriwayatkan dari Allah ta‘ala:
أَنَا مَعَ عَبْدِيْ إِذَا ذَكَرَنِيْ وَ تَحَرَّكَتْ بِيْ شَفَتَاهُ
“Aku beserta hamba-Ku jika dia ingat Aku dan kedua bibirnya bergerak dengan Aku.”
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam Bulūgh-ul-Marām: “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan di-shaḥīḥ-kan oleh Ibnu Hibban. Bukhari menyebutkannya sebagai hadits mu‘allaq.” Yaitu hadits yang dibuang sebagian dari awal sanadnya.
Hakim berkata: “Hadits di atas dan hadits yang serupa itu berbicara mengenai dzikir yang dilakukan dengan kesadaran dan sungguh-sungguh, bukan dzikir disertai lupa. Hakekat dzikir adalah hal itu. Pada waktu dzikir tak ada yang diingat, selain Allah. Tidak ingat diri sendiri, apalagi orang lain. Itulah dzikir yang murni, dzikir hati. Jika seseorang sibuk oleh sesuatu, maka dia lupa akan lainnya. Hal ini bisa terjadi pada manusia. Jika seorang lelaki menghadap seorang raja dalam hidupnya, maka karena takutnya saat itu dia tidak ingat selain raja. Lalu bagaimana dengan Sang Maha Raja?”
Nabi s.a.w. bersabda:
ذِكْرُ اللهِ تَعَالَى بِالْغَدَاةِ وَ الْعَشِيِّ أَفْضَلُ مِنْ ضَرْبِ السُّيُوْفِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
“Dzikir kepada Allah ta‘ala pada pagi hari dan sore itu lebih utama daripada pukulan pedang-pedang di jalan Allah.”
Dalam ‘Ihya’ disebutkan bahwa Nabi bersabda: “Sungguh dzikir kepada Allah
‘azza wa jalla di pagi dan sore hari itu lebih utama daripada menghancurkan pedang di jalan Allah dan daripada memberikan harta benda karena derma.”
Nabi s.a.w. bersabda:
أَفْضَلُ الذِّكْرِ: لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ
“Dzikir paling utama adalah: Lā ilāha ilallallāh.”
Dalam riwayat Dailami dari Anas dituturkan: “Dzikir kepada Allah itu menjadi obat hati.”
Yakni obat luka hati, obat bagi penyakit yang ada di hati karena kegelapan dosa dan lupa.
Nabi s.a.w. bersabda:
اُذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا خَامِلًا، قِيْلَ وَ مَا الذِّكْرُ الْخَامِلُ؟ قَالَ: الذِّكْرُ الْخَفِيُّ
“Dzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang rendah (suaranya).” Nabi ditanya: “Apakah dzikir rendah (suaranya) itu?” Nabi menjawab: “Dzikir rahasia.””
(H.R. ‘Abdullah bin Mubarak dari Dhamrah bin Habib).
Yakni dzikir rahasia itu lebih baik daripada dzikir dengan terang-terangan, sebab dzikir rahasia itu aman dari riya’ dan sejenisnya. Ini menurut sekelompok ahli tasawwuf untuk selain pemula. Kalau bagi pemula, dzikir keras itu lebih berguna. Nabi memerintahkan setiap orang dengan sesuatu yang lebih berguna dan maslahat baginya.
Nabi s.a.w. bersabda:
أَفْضَلُ الْعِبَادِ دَرَجَةً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الذَاكِرُوْنَ اللهَ كَثِيْرًا
“Hamba paling utama derajatnya di sisi Allah di hari Qiamat adalah mereka yang yang banyak dzikir kepada Allah dengan banyak.” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Sa‘id al-Khudri).
Ulama berbeda pendapat tentang orang-orang yang banyak berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah. Abu Husain al-Wahidi menyebutkan bahwa Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang dimaksudkan dzikir kepada Allah dengan banyak itu dzikir kepada Allah setelah shalat baik pagi maupun sore, ketika di tempat tidur, setiap kali bangun tidur, akan berangkat pagi dan sore hari dari rumah.” Mujahid berkata: Seseorang tidak akan termasuk orang-orang yang dzikir Allah dengan banyak, sampai dia dzikir Allah ketika berdiri, duduk dan berbaring.”
‘Atha’ berkata: “Barang siapa shalat lima waktu dengan sesungguhnya, maka dia termasuk dalam firman Allah: “Dan orang-orang yang dzikir Allah dengan banyak.” Lalu ‘Atha’ berkata: “Jika dia selalu membaca dzikir yang resmi ketika pagi, sore, waktu yang berbeda malam dan siang, maka dia termasuk mereka yang dizkir Allah dengan banyak.” Dzikir-dzikir tersebut dalam kitab ‘Amal-ul-Yaumi wal-Lailah. Demikian penjelasan ‘Azizi dalam as-Sirāj-ul-Munīr.
Nabi s.a.w. bersabda:
خَيْرُ الذِّكْرِ الذِّكْرُ الْخَفِيُّ وَ خَيْرُ الْعِبَادَةِ أَخَفُّهَا وَ خَيْرُ الرِّزْقِ مَا يَكْفِيْ
“Dzikir terbaik itu dzikir rahasia. Dan ibadah terbaik itu ibadah paling ringan. Rezeki terbaik itu apa yang mencukupi.” (H.R. Ahmad, Ibnu Hibban dan Baihaqi dari Sa‘d bin Malik dan Ibnu Abu Waqqash).
Dalam sebagian riwayat disebutkan: “Dzikir yang dirahasiakan.” Yakni dzikir yang tidak ditampakkan kepada orang lain. Ini lebih utama daripada dzikir keras. Dalam beberapa hadits lain disebutkan bahwa keras itu lebih utama. Maka keduanya dikompromikan, bahwa merahasiakan itu lebih utama dari segi aman dari riya’ atau mengganggu orang shalat misalnya. Sedangkan dzikir keras itu lebih utama jika tidak khawatir riya’. Rezeki yang mencukupi artinya rezeki secukupnya. Sanad hadits di atas shaḥīḥ.