Tanda-tanda Tertutup Mata Hati – Hakikat Hikmah Tauhid & Tashawwuf

Hakikat Hikmah Tauhid dan Tashawwuf
(al-Hikam)

Karya: Dr. Muhibbuddin Waly

Penerbit: Gunung Jati – Jakarta.

5. TANDA-TANDA TERTUTUP MATA HATI.

 

Mengenai masalah ini, Maulānā al-Imām Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī telah merumuskan dalam Kalam Hikmah beliau yang ke-4 sebagai berikut:

5. اِجْتِهَادُكَ فِيْمَا ضُمِنَ لَكَ وَ تَقْصِيْرُكَ فِيْمَا طُلِبَ مِنْكَ دَلِيْلٌ عَلَى انْطِمَاسِ الْبَصِيْرَةِ مِنْكَ.

Kegiatan engkau pada menghasilkan sesuatu yang telah terjamin untuk engkau, di samping itu engkau meninggalkan sesuatu di mana engkau telah dituntut (diperintahkan pada mengerjakannya) adalah menunjukkan atas (telah) butanya (tertutup) mata hati engkau.”

Sebelum kita menerangkan keterangan yang dimaksud di dalam Kalam Hikmah ini maka lebih dulu hendaknya kita ketahui beberapa perkataan yang tertera di dalamnya.

  1. Perkataan “IJTIHĀD” maksudnya di sini ialah bersungguh-sungguh atau giat tanpa kenal letih dan lelah, di mana seluruh kekuatan kita diarahkan untuk memperoleh sesuatu yang tertuju. Jadi tidak dimaksudkan dengan ijtihād di sini seperti yang umum dipakai dalam ‘ilmu hukum Islam (AL-FIQH-UL-ISLĀMĪ).
  2. Perkataan “TAQSHĪR” maksudnya ialah meninggalkan sesuatu yang dimaksud disebabkan kelalaian dan kurang perhatian, atau tidak mengerjakan sesuatu dengan sempurna sesuai seperti apa yang dikehendaki tentangnya, tegasnya mengerjakan sesuatu setengah-setengah tanpa perhatian yang bulat.

Perkataan “Al-BASHĪRAH” dan bagaimana perbedaannya dengan perkataan “AL-BASHAR” Syaikh-ul-Islām Syaikh ‘Abdullāh Syarqāwī berkata tentang definisinya sebagai berikut:

عَيْنٌ فِي الْقَلْبِ تُدْرِكُ الْأُمُوْرَ الْمَعْنَوِيَّةَ كَمَا أَنَّ الْبَصَرَ يُدْرِكُ الْأُمُوْرَ الْمَحْسُوْسَةَ.

“AL-BASHĪRAH” (mata hati) ialah: “Sesuatu yang disebut dengan mata di dalam hati yang dapat menangkap segala sesuatu yang sifatnya ma‘nawiyyah (yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra yang lima atau sebagainya), sebagaimana bahwasanya “AL-BASHAR” mata jasmaniyyah dapat menangkap (dengan penglihatan) segala sesuatu yang bersifat Ḥissī (ditangkap oleh panca indra).

(Lihat Kitab Syarḥ-ul-Ḥikam oleh Syaikh Syarqāwī halaman 7 pada pinggir Syarḥ-ul-Ḥikam oleh Ibnu ‘Ibād (‘Abbād) ar-Radī (Rundī).

Dari keterangan ini dapat kita fahami bahwa apabila mata kita dapat melihat segala sesuatu yang mungkin dilihat, maka mata hati kita melihat segala sesuatu yang tidak mungkin dilihat oleh penglihatan mata kepala sendiri. Inilah perbedaan antara AL-BASHĪRAH dan AL-BASHAR.

Kalam Hikmah ini memberikan pengertian kepada kita agar kita jangan begitu mementingkan diri dalam mencari rezeki yang telah dijamin oleh Allah s.w.t.

Kita boleh berusaha, bahkan seterusnya berusaha mencari rezeki yang halal, tetapi kita dianjurkan agar jangan sampai lupa diri, sehingga seluruh perhatian kita, kita tumpahkan untuk hidup. Karena apabila seluruh kekuatan kita, perhatian dan perasaan kita semuanya untuk ini, maka pasti akan mengakibatkan kurang kesungguhan kita dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban kita terhadap ajaran agama.

Betapa tidak. Allah s.w.t. dengan kurnia-Nya dan dengan kebaikan-Nya telah menjamin rezeki-rezeki hamba-hambaNya, karena itu Allah s.w.t. telah berfirman dalam surat al-‘Ankabūt juz 21 ayat 60 sebagai berikut:

وَ كَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللهُ يَرْزُقُهَا وَ إِيَّاكُمْ وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Dan berapa banyaknya binatang yang tidak membawa rezekinya sendiri, Tuhan yang memberinya makan dan memberi kamu, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Tahu.”

Kemudian dalam surat Thāhā juz 16 ayat 132 Allah berfirman:

وَ أْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَ اصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَ الْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

Dan suruhlah pengikut engkau bersembahyang dan tetap mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepada engkau, (hanya) Kami yang memberi engkau rezeki dan akibat (yang baik) adalah untuk (orang yang) memelihara diri dari kejahatan.”

Dua ayat ini memberikan pengertian kepada kita bahwa dalam masalah rezeki kita tidak boleh susah sebab sudah ada dalam jaminan Allah s.w.t., asal saja kita berusaha sesuai dengan ketentuan-ketentuan dari tingkatan-tingkatan keadaan kita masing-masing seperti telah diterangkan dalam Kalam Hikmah sebelumnya, maka imbalan dari pada itu ialah Allah s.w.t. menuntut kita untuk melaksanakan ‘amal ‘ibādah berupa kewajiban-kewajiban kita terhadap Allah s.w.t. dan mengerjakan ‘amal-‘amal kebajikan lain-lain seperti yang telah digariskan oleh ajaran-ajaran agama kita. Dengan ‘amal ‘ibādah kita bisa sampai kepada kebahagiaan di akhirat yang kekal (baqā’). Dan dengan ‘amal ‘ibadah pula kita bisa dekat kepada Allah s.w.t. Berfirman Allah s.w.t. dalam surat adz-Dzāriyāt juz 27 ayat 52:

وَ مَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ.

Tidak Aku ciptakan jinn dan manusia selain supaya mereka itu berta‘abbud (mengerjakan ‘ibādah) kepada-Ku.

Dalam ayat 57 dan ayat 58 kemudian Allah s.w.t. melanjutkan Firman-Nya:

مَا أُرِيْدُ مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ وَ مَا أُرِيْدُ أَنْ يُطْعِمُوْنِ. إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ

Sesungguhnya Allah, Dia adalah pemberi rezeki mempunyai kekuatan yang teguh (luar biasa).

Dari ayat-ayat ini jelaslah bagi kita, bahwa Allah tidak meminta kepada kita sesuatu seperti yang kita perlukan di dalam hidup dan kehidupan kita. Tetapi Allah menjadikan kita manusia pada khususnya dengan hikmah supaya kita berterima kasih kepada-Nya dengan jalan beribadah, tegasnya mematuhi segala perintah-perintahNya dan menjauhi segala larangan-laranganNya.

Perlu kita ketahui tanda-tanda orang yang tenggelam dalam berusaha pada apa yang telah dijamin oleh Allah, tanda-tandanya ialah:

التَّأَسُّفُ عَلَى الْغَائِبِ.

  1. AT-TA’ASSUFU ‘ALAL-GHĀ’IBI

Ya‘ni timbul penyesalan, apabila sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan dicabut kembali oleh-Nya, apakah dengan jalan hilang dicuri orang, dibinasakan dengan datangnya kebanjiran, atau musnah ditelan api dan lain-lain sebagainya.

 

فَقْدُ التَّقْوَى فِي التَّحْصِيْلِ.

  1. FAQD-UT-TAQWĀ FIT-TAḤSHĪLI

Ya‘ni tidak ada taqwā dalam hati dan tindak-tanduk pada menghasilkan rezeki yang dicari.

Pendeknya asal uang masuk, haram dan halal ditelan semua.

الْغَفْلَةُ عَنِ الْحُقُوْقِ الْمُتَأَكِّدَةِ فِي السَّبَبِ.

  1. AL-GHAFLATU ‘ANIL-ḤUQŪQ-IL-MUTA’AKKIDATI FIS-SABABI

Ya‘ni lalai dari kewajiban yang menjadi hak kita yang tak dapat tidak pada sebabnya ada rezeki itu. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa saking asyiknya ia dengan perusahaannya atau pekerjaannya sehingga lupa sembahyang dan puasa dan lain-lain sebagainya.

Kemudian tanda-tanda bagi hamba-hamba Allah yang tidak pusing dan tenggelam dalam pekerjaannya, tetapi biasa saja sehingga meskipun ia berusaha tetapi ada batas-batasnya, maka tanda-tandanya ialah 3 pula:

 

الرِّضَا بِالْوَاقِعِ

  1. AR-RIDHĀ BIL-WĀQI‘.

Ya‘ni ridhā (senang dan pasrah) pada aya yang menjadi.

Apabila ia mendapat untung besar maka bersyukur kepada Allah s.w.t. dan apabila tidak, apabila ia mendapat cobaan dari Tuhan sehingga ia jatuh rugi misalnya, maka ia bersabar dan menyerahkan dirinya kepada Allah s.w.t.

 

التَّقْوَى فِي الطَّلَبِ.

  1. AT-TAQWĀ FITH-THALABI.

Ya‘ni selalu taqwā kepada Allah dalam usaha mencari rezeki yang halal.

 

حِفْظُ الْأَدَبِ فِي الْأَسْبَابِ.

  1. ḤIFDH-UL-ADABI FIL-ASBĀBI.

Ya‘ni selalu memelihara cara-cara yang baik tindak-tanduk yang bagus, tidak memfitnah orang, tidak sentimen dan sakit hati, tidak aniaya kepada orang lain dan lain sebagainya di dalam pekerjaannya dalam berusaha demi rezeki yang halal itu.

Maka dengan ini teranglah bagi kita siapakah orang-orangnya yang dalam usaha-usahanya dalam menghasilkan rezeki, ia diridhai oleh Allah atau kebalikannya.

Kesimpulan:

Kalam Hikmah di atas dalam pengertiannya menyuruh kita supaya kita tetap memelihara hati kita agar selalu mendapat limpahan-limpahan petunjuk dan tuntunan Allah dalam seluruh persoalan hidup yang kita hadapi. Karena itu meskipun kita di dalam hidup ini berusaha mengatasi hidup dan kehidupan dengan mencapai rezeki yang halal, maka janganlah kita lupa pada Allah dengan persoalan yang kita hadapi dengan jalan mematuhi ajaran-ajaran agama-Nya.

Dan apabila kebalikannya maka ini adalah dalil, bahwa hati kita telah buta dan tertutup, sehingga kebenaran dan keadilan dalam arti yang luas gelap dan tidak kelihatan.

Akhirnya kebahagiaan yang kekal abadi yang menjadi cita-cita para hamba-Nya yang shāliḥ akan sirna dan lenyap sama sekali.

NA‘ŪDZU BILLĀHI MIN DZĀLIK.

1 Komentar

  1. Zainal Abidin berkata:

    Mantap, semangat uploadnya min

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *