Syukur dan Sabar: Mana Lebih Utama? – Imam al-Ghazali – Agar Rezeki yang Mencarimu (2/4)

Rangkaian Pos: Bersyukur Agar Nikmat Terus Terulur - Imam al-Ghazali - Agar Rezeki yang Mencarimu

Syukur dan Sabar: Mana Lebih Utama?

Ada yang mengatakan, orang yang bersyukur itu lebih utama. Dalilnya firman Allah:

وَ قَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (Saba’ [34]: 13). Di sini Allah mengategorikan mereka sebagai kelompok super khusus (akhashsh-ul-khawāsh). Allah juga berfirman saat memuji Nūḥ a.s.:

إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُوْرًا

Sesungguhnya dia adalah hamba yang banyak bersyukur.” (al-Isrā’ [17]: 3). Allah pun berfirman tentang Ibrāhīm a.s.:

شَاكِرًا لِأَنْعُمِهِ

Dia mensyukuri nikmat-nikmatNya.” (an-Naḥl [16]: 121).

Syukur lebih utama juga karena syukur itu dalam konteks nikmat dan keselamatan. Sehingga ada yang mengatakan, orang yang diberi nikmat lalu bersyukur lebih disukai ketimbang orang yang diberi ujian lalu bersabar.

Namun, ada yang mengatakan, orang yang bersabar itu lebih utama. Sebab, sabar itu lebih sulit, maka pahalanya pun lebih besar, dan tingkatannya lebih tinggi. Allah ta‘ālā berfirman:

إِنَّا وَجَدْنَاهُ صَابِرًا نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyūb) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba.” (Shād [38]: 44). Allah juga berfirman:

وَ اللهُ يُحِبُّ الصَّابِرِيْنَ

Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (Ᾱli ‘Imrān [3]: 146).

Menurut saya, sebenarnya orang yang bersyukur itu tentu juga menjadi orang yang bersabar, dan orang yang bersabar itu tentu juga menjadi orang yang bersyukur. Alasannya, orang bersyukur yang berada di negeri penuh ujian, pastilah tak luput dari ujian yang menuntut agar ia bersabar dan tak berputus asa. Sebab, syukur itu adalah mengagungkan Sang Pemberi nikmat hingga pengagungan ini mencegah orang dari mendurhakai-Nya, sedangkan berputus asa itu termasuk sikap durhaka (maksiat). Sementara, orang yang bersabar juga tak luput dari nikmat, seperti saya jelaskan sebelumnya bahwa kesulitan itu sebetulnya juga merupakan nikmat. Maka, jika seseorang bersabar atas kesulitan itu, ia pun sejatinya juga bersyukur karena ia menahan diri untuk tidak berputus asa sebagai bentuk takzimnya kepada Allah. Ini jelas adalah syukur, karena merupakan sikap takzim yang mencegah sikap durhaka.

Selain itu, orang yang bersyukur mencegah dirinya dari sikap kufur, sehingga ia pun bersabar dalam menghindari kemaksiatan, dan membuat dirinya bersyukur serta bersabar dalam menunaikan ketaatan. Maka, orang ini pun pada hakikatnya juga menjadi orang yang sabar. Sementara, orang yang bersabar mengagungkan Allah hingga rasa takzimnya mencegahnya dari berputus asa terhadap apa yang menimpanya, dan membuat dirinya bersabar. Dengan begitu ia telah bersyukur kepada Allah, dan pada hakikatnya ia pun menjadi orang yang syukur.

Selain itu pula, dalam upaya sungguh-sungguh untuk menahan diri dari sikap kufur, ada kesulitan yang menuntut kesabaran orang yang bersyukur. Sedangkan, hidayah dan keterjagaan (‘ishmah) orang yang bersabar adalah nikmat yang menuntutnya bersyukur. Salah satunya tidak menafikan yang lainnya.

Lagi pula, yang mendorong sikap syukur dan sabar adalah kecerdasan yang sama, yakni kecerdasan istiqāmah, menurut sebagian ulama. Karenanya, kami katakan bahwa salah satunya tidak menafikan yang lainnya. Pahamilah kalimat ini. Semoga Allah memberi petunjuk.

Bersyukur dengan Sebenar-benarnya.

Hendaklah engkau bersungguh-sungguh melewati tantangan mudah yang menuntun pada keselamatan, manfaat, dan pertolongan yang besar ini. Dan renungkanlah dua hal penting ini:

Pertama, nikmat itu hanya diberikan kepada siapa yang tahu arti pentingnya, dan yang tahu arti pentingnya hanyalah orang yang bersyukur. Dalilnya adalah firman Allah ketika mengisahkan orang-orang kafir dan membantah mereka:

لِّيَقُوْلُوْا أَهؤُلَاءِ مَنَّ اللهُ عَلَيْهِمْ مِّنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِيْنَ

Mereka (orang kaya itu) berkata: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah?” (Allah berfirman): “Tidakkah Allah telah mengetahui tentang mereka yang bersyukur (kepada-Nya)?” (al-An‘ām [6]: 53). Orang-orang yang bodoh itu mengira bahwa nikmat besar dan karunia mulia itu hanya diberikan kepada siapa yang paling banyak hartanya dan paling bagus keturunan atau nasabnya, maka mereka pun berkata: Seperti apa keadaan orang-orang fakir itu, baik yang hamba atau merdeka, yang diberi nikmat agung ini menurut anggapan kalian, tapi tidak menurut anggapan kami. Maka mereka pun berkata dengan sombong dan mengolok: “Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah?” Maka Allah pun menjawab mereka dengan kritikan pedas: “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang mereka yang bersyukur (kepada)-Nya?” Maksudnya: Allah hanya memberikan nikmat-Nya kepada siapa yang mengetahui nilai nikmat itu, dan yang mengetahui nilainya hanyalah orang yang memberi perhatian semestinya kepada nikmat itu, lebih memilihnya ketimbang yang selainnya, dan tidak menghiraukan kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi untuk meraihnya, serta tetap mensyukuri nikmat itu. Allah tahu kalau orang-orang lemahlah yang mengetahui nilai nikmat ini, dan terus mensyukurinya. Sehingga, mereka lebih berhak atas nikmat ini daripada kalian orang-orang yang kafir. Kekayaan, kehormatan, ketenaran, status, dan keningratan kalian tidaklah relevan. Kalian menganggap nikmat terbesar adalah kekayaan, harta benda, dan tingginya nasab, bukan agama, ilmu, kebenaran, dan pengetahuan agama. Kalian berbangga-bangga dengan itu. Apakah kalian tidak mengerti bahwa kalau bukan karena karunia-Nya kalian tidak akan menerima agama ini, ilmu ini, dan kebenaran ini? Itu karena kalian meremehkan agama ini dan sedikit sekali memberi perhatian kepadanya. Sementara orang-orang dhu‘afā’ rela berkorban nyawa dan menumpah darah di atas jalan agama ini, tanpa peduli apa yang hilang dari mereka dan siapa yang memusuhi mereka. Ini agar kalian tahu bahwa merekalah yang mengetahui nilai nikmat ini. Hati mereka mengagungkannya. Hilangnya segala sesuatu selainnya, terasa ringan buat mereka. Mereka siap menanggung beban kesulitan di dalamnya. Mereka menghabiskan seluruh umur untuk mensyukurinya. Karena itu, merekalah yang patut mendapat karunia mulia dan nikmat yang agung ini. Kami pun berikan nikmat iman kepada mereka, dan bukan kepada kalian.

Demikian pula Allah memberikan nikmat tertentu dari nikmat-nikmat agama untuk setiap kelompok umat manusia, berupa ilmu atau amal. Engkau dapati mereka menjadi manusia yang paling mengerti arti penting nikmat ini, yang paling mengagungkannya, yang paling bersungguh-sungguh dalam berusaha mendapatkannya, yang paling memuliakannya, dan yang paling ajek (tetap; teratur; tidak berubah) dalam mensyukurinya. Adapun orang-orang yang Allah haramkan itu bagi mereka, itu adalah karena sedikitnya perhatian dan pengagungan mereka kepada nikmat ini.

Sekiranya pengagungan ilmu dan ibadah di hati orang-orang jalanan dan orang-orang pasar sama seperti di hati para ulama dan ahli ibadah, mengapa mereka memprioritaskan pasar ketimbang ilmu padahal mudah saja mereka meninggalkannya. Tidakkah engkau menyadari bahwa seorang fakih bila berhasil memecahkan masalah yang sulit, betapa senang hatinya, bersuka cita dan melimpah rasa gembiranya, sampai-sampai kalau mungkin ia menemukan seribu dinar, rasanya tak sebanding dengan itu? Mungkin saja ia menekuni sebuah masalah agama, lalu memikirkannya selama satu tahun, atau bahkan sepuluh tahun, dua puluh tahun atau lebih, dan tidak merasa jenuh atau bosan, sampai mungkin Allah memberinya pemahaman tentang masalah itu, ia akan menganggapnya karunia teragung dan nikmat terbesar, dan memandang dirinya karena itu sangat kaya dan mulia. Mungkin saja ia menjelaskan masalah ini ke orang pasar atau pelajar yang malas, yang ia anggap sama termotivasinya untuk menuntut ilmu dan mencintai ilmu, maka orang itu tak sungguh-sungguh mendengarkannya, dan mungkin bila bahasannya menjadi panjang, orang itu bosan atau malah ketiduran, dan kalaupun masalah ini jelas baginya, ia tak akan menganggapnya sebuah masalah besar.

Demikian pula orang yang sudah bertobat, kembali ke jalan Allah. Betapa keras ia berusaha dan membiasakan diri dengan latihan ibadah, menahan diri dari berbagai syahwat dan kelezatan, mengatur gerak dan diamnya badan, dengan harapan agar Allah menyempurnakan baginya shalat dua rakaatnya – dari segi adab dan taharahnya! Betapa khusyuk ia menundukkan diri di hadapan Allah dengan harapan agar Allah memberinya satu momen munajat yang manis dan memuaskan! Kalau ia berhasil untuk itu sekali saja dalam sebulan, ataupun dalam setahun, atau bahkan seumur hidupnya, ia menganggapnya sebagai pemberian terbesar dan nikmat teragung. Betapa ia senang dan bersyukur kepada Allah dan tak memedulikan kesulitan apa saja yang sudah menderanya, hasrat malam hari yang ia tahan, dan berbagai kelezatan yang ia hindarkan.

Lalu engkau melihat orang yang menyangka ia semangat beribadah, senang kalau mendapatkan sesuatu dari ibadah itu. Kalau ia harus mengurangi sesuap makanan dari makan siangnya, atau menahan dari berucap satu kata yang tak berguna, atau menahan kantuk satu jam saja, demi melaksanakan ibadah itu secara baik, ia pun tidak rela dan kesal hati. Kalaupun terkadang ia bisa melaksanakan ibadah dengan baik, ia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang penting, dan tidak banyak bersyukur karenanya. Ia justru sangat senang dan bangga ketika mendapatkan uang, makan yang enak-enak, atau tidur nyenyak, lalu ia pun berucap: “Alhamdulillah, ini adalah karunia Allah.” Apakah sama orang-orang lalai yang malas dengan orang-orang sadar yang berusaha keras? Oleh karena itu, orang-orang miskinlah yang diistimewakan dengan kebaikan ini. Merekalah yang berhasil merengkuhnya. Begitulah Allah Yang Maha Bijak dan Maha Tahu mengatur perkara. Inilah penjelasan firman-Nya: “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang mereka yang bersyukur (kepada-Nya)?” Pahamilah ini. Ketahuilah bahwa tidak ada yang menghalangimu untuk melakukan kebaikan apa pun yang engkau harapkan kecuali dirimu sendiri. Maka cobalah untuk mengerti nilai nikmat Allah ta‘ālā, dan agungkanlah nikmat itu semestinya, sehingga engkau berhak memperoleh dan merasakannya, kemudian Allah terus memberikannya kepadamu.