Syarat-syarat Mendapatkan Syafa‘at – Mengetuk Pintu Syafa’at

Mengetuk Pintu Syafā‘at
Oleh: Syafiqul Anam al-Jaziriy
 
Penerbit: Pustaka Group

Syarat-syarat Mendapatkan Syafā‘at

 

Secara umum tak mudah bagi manusia untuk mendapatkan syafā‘at terlebih jika hal yang mereka lakukan hanya sekedar ingin mencari syafā‘at demi kepentingan tertentu atau pribadinya. Pada dasarnya, syafā‘at yang ditetapkan dalam syarī‘at itu harus memenuhi dua syafā‘at.

  • – Adanya idzin dari Allah kepada orang yang memberikan syafā‘at.
  • – Adanya keridhāan terhadap orang yang diberikan syafā‘at.

Syafā‘at tersebut tidak dapat diberikan tanpa adanya idzin dari Allah ‘azza wa jalla, baik itu merupakan syafā‘at kepada selain beliau.

Hal ini dikarenakan idzin dari Allah berkaitan dengan orang yang memberikan syafā‘at, orang yang diberikan syafā‘at, serta waktu diberikannya syafā‘at itu. Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan syafā‘at kecuali orang yang telah diberikan idzin oleh Allah, dan tidak pula ada seorang pun yang diberikan syafā‘at kecuali orang yang telah diidzinkan untuk diberi syafā‘at, sebagaimana firman Allah s.w.t. yang berbunyi:

Siapakah yang dapat memberi syafā‘at di sisi Allah tanpa idzin-Nya” (al-Baqarah : 255).

Tidak seorang pun yang akan memberi syafā‘at kecuali sesudah ada idzin dari-Nya.” (QS. Yūnus: 3).

Pada hari itu tidak berguna syafā‘at, kecuali (syafā‘at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi idzin kepadanya dan Ia telah meridhāi perkataannya.” (QS. Thāhā: 109).

Dan tiadalah berguna syafā‘at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diidzinkan-Nya memperoleh syafā‘at itu….” (QS. Saba’: 23).

Dari ayat-ayat tersebut dapat dibuktikan secara global syarat idzin Allah bagi terlaksananya syafā‘at. Akan tetapi, dari ayat-ayat tersebut tidak dapat disimpulkan ciri-ciri orang yang mendapatkan idzin-Nya. Namun, terdapat ayat-ayat lain yang dapat memberikan penjelasan secara gamblang mengenai syarat-syarat yang harus dipernuhi oleh kedua belah pihak; yaitu sang pemberi syafā‘at dan yang berhak di- syafā‘at-i. Allah s.w.t. berfirman: “Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafā‘at, akan tetapi orang yang dapat memberi syafā‘at adalah orang yang mengakui yang hak dan mereka mengetahuinya.” (QS. Zukhruf: 86)

Mungkin maksud dari (مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ) “orang yang mengakui yang hak” adalah para saksi perbuatan yang berkat petunjuk Ilahi mengetahui perbuatan dan niat pelakunya, dan mereka dapat memberikan kesaksian tehadap cara dan kualitas perbuatan tersebut. Sebagaimana atas dasar kesesuaian predikat dan subjeknya, dapat pula dikatakan bahwa para pemberi syafā‘at harus memiliki pengetahuan sedemikian rupa sehingga mereka dapat menentukan orang-orang yang berhak mendapatkan syafā‘at dari mereka. Setidak-tidaknya mereka yang memenuhi kedua syarat itu adalah para Imām Ma‘shūm a.s.

Dari sisi lain, dari sebagian ayat dapat dipahami pula bahwa orang-orang yang memberi syafā‘at adalah mereka yang diridhāi oleh Allah s.w.t.

Dan mereka itu tidak dapat memberi syafā‘at kecuali orang-orang yang diridhāi Allah” (al-Anbiyā’: 28).

Berapa banyak malaikat di langit yang syafā‘at mereka tidak berguna sedikit pun kecuali setelah Allah memberikan idzin kepada orang yang dikehendaki dan diridhāi-Nya” (an-Najm: 26).

Jelas bahwa maksud dari “orang yang di-syafā‘at-i itu diridhāi oleh Allah” tidak berarti seluruh ‘amal mereka itu diridhāi oleh-Nya. Karena jika demikian, tentu mereka tidak lagi membutuhkan syafā‘at. Maksudnya agama dan iman orang tersebut diridhāi oleh Allah s.w.t., sebagaimana riwayat-riwayat menafsirkan demikian.

Di tempat lain, sebagian ayat menyebutkan sifat-sifat orang yang tidak berhak syafā‘at, seperti dinyatakan melalui lisan orang-orang musyrik:

Maka kami tidak mempunyai pemberi syafā‘at seorang pun.” (QS. asy-Syu‘arā’: 100).

Dalam surat al-Muddatstsir ayat 40-48, ketika para pendosa ditanya tentang sebab mereka masuk ke dalam neraka, disebutkan bahwa mereka telah meninggalkan shalat, tidak memberi makan orang-orang miskin, dan mendustakan Hari Pembalasan. Setelah itu, al-Qur’ān mengatakan: “Maka tidak bermanfaat untuk mereka syafā‘at para pemberi syafā‘at.”

Dari ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang-orang musyrik dan orang-orang yang mengingkari Hari Kiamat, tidak menyembah Allah, tidak membantu orang-orang miskin, dan tidak konsisten pada ‘aqīdah-‘aqīdah yang benar, tidak akan mendapatkan syafā‘at selamanya. Begitu juga, sambil mencermati istighfār Rasūlullāh s.a.w. di dunia sebagai syafā‘at, dan tertolaknya istighfār beliau untuk orang-orang yang takabbur, enggan beristighfār, dan enggan memohon syafā‘at dari beliau, dapat dipahami pula bahwa para pengingkar syafā‘at pun tidak akan mendapatkan syafā‘at. Hal ini juga terdapat di dalam riwayat-riwayat.

Alhasil, pemberi syafā‘at yang mutlak dan sejati, selain harus mendapat idzin dari Allah s.w.t, tentu bukanlah pelaku maksiat dan memiliki kemampuan menentukan tingkat ketaatan dan maksiat orang lain, dan para pengikut setia pemberi syafā‘at ini dapat membantu mereka meraih tingkat-tingkat yang lebih rendah dari syafā‘at, seperti saat para pengikut itu digolongkan bersama para syuhadā’ dan shiddīqīn.

Di samping itu, orang yang berhak mendapatkan syafā‘at, selain idzin dari Allah s.w.t., harus benar-benar beriman kepada Allah, para nabi dan Hari Kiamat, serta kepada setiap apa yang diturunkan kepada Nabi Muḥammad s.a.w., di antaranya adalah mempercayai syafā‘at itu sendiri, bahwa syafā‘at adalah hak, dan hendaknya ia tetap berada di dalam keimanannya hingga akhir hidupnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *